Syariah

Tetangga Terlibat Konflik Hak Akses Jalan, Ini Kajian Islamnya

Sel, 9 Agustus 2022 | 17:00 WIB

Tetangga Terlibat Konflik Hak Akses Jalan, Ini Kajian Islamnya

Seorang warga yang merasa terusik oleh ulah tetangganya menutup akses jalan.

Beredar video dari salah satu kanal youtube media TV Nasional tentang seorang warga Pulogadung yang menolak memberi akses jalan masuk bagi tetangganya. Padahal, akses jalan masuk itu merupakan satu-satunya akses yang biasa dilalui sebelumnya.


Perkaranya sebenarnya sepele, yaitu karena merasa terusik akibat ulah sang tetangga. Puncaknya, pemilik tanah yang merasa telah berkorban dengan memberi jalan akses, mencabut kembali akses tersebut dan membangun tembok setinggi 2 meter.


Dasar yang digunakan adalah sertifikat hak milik tanah keluaran Tahun 1978 dan diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) atas nama mendiang ayahnya. Nah, bagaimana syara’ memandang hal tersebut? Simak ulasannya berikut ini!


Pertama, Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, bahwa:


من كانَ يُؤمن بِاللَّه، واليَوْم الآخر؛ فَليُكرم ضَيفه، ومن كانَ يُؤمن بِاللَّه، واليَوْم الآخر؛ فَليُكرم جاره، ومن كانَ يُؤمن بِاللَّه، واليَوْم الأُخَر؛ فَلْيقل خيرا، أو ليصمت. رَواهُ سَلمَة بن وهرام: عَن عِكْرِمَة، عَن ابْن عَبّاس
ذخيرة الحفاظ ٤/‏٢٣٨١ — ابن القيسراني (ت ٥٠٧)


Artinya, "Barang siapa beriman pada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya ia muliakan tamunya. Dan barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia mulyakan tetangganya. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata baik atau sebaiknya diam.” HR. Salamah ibn Wahram dari Ikrimah dari Ibn Abbas radliyallahu ‘anhum. (Dzakhiratu al-Huffadz li al-Qaysarany, Juz IV, halaman 2381).


Kedua, asal terjadinya praktik jual beli tanah petak, adalah meniscayakan lengkap dengan adanya jalan akses (al-mamarr) menuju petak tanah yang dijual. Hanya menjual petak tanah saja, tanpa disertai akses menuju ke lokasi lahan yang dijual dapat membatalkan akad jual beli khususnya bila masih diharapkan barang itu kembali oleh penjual.. 


أن حق المرور معلوم لتعلقه بمحل معلوم وهو الطريق البناية شرح الهداية ٨/‏١٧٠ — بدر الدين العيني (ت ٨٥٥)


Artinya, “Sesungguhnya hak melintas merupakan kemakluman dan senantiasa dikaitkan dengan suatu tempat yang ma’lum pula, yakni menuju akses jalan raya.” (Al-Binayah Syarhu al-Hidayah li Badaruddin al-Aini, Juz 8 halaman 170).


Syamsu al-Aimmah Al-Sarakhsy menjelaskan: 


أن بيع رقبة الطريق على أن يكون للبائع فيه حق المرور جائز بخلاف بيع حق المرور بانفراده
المحيط البرهاني في الفقه النعماني ٧/‏١٤٩ — ابن مَازَةَ (ت ٦١٦)


Artinya, “Sesungguhnya menjual fungsi jalan sebagai akses disertai syarat bagi penjual berupa hak untuk melintas adalah boleh. Hal ini berbeda dengan praktik jual beli hak melintas saja (maka tidak boleh).” (al-Muhith al-Burhany fi al-Fiqh al-Nu’many li al-Mazah, juz VII, halaman 149)


Ketiga, berdasarkan urf yang berlaku bahwa setiap kali masyarakat Indonesia menjual suatu tanah, adalah pasti ada akses masuknya. Bukan hanya tanah perumahan, bahkan petak sawah pun juga ada akses menuju ke lokasi. Tanpa adanya akses masuk, adalah suatu kemustahilan bagi lakunya barang yang dijual.


Alhasil, urf jual beli disertai akses menempati derajatnya norma dasar yang menghendaki dipatuhi sebab kedudukannya yang menyerupai nash syara’.


الثابت بالعرف كالثابت بالنص


Artinya, "Sesuatu yang berjalan sebagai urf, adalah menempati derajatnya berlaku sebagai nash.”


Keempat, status Jalan Akses menuju Perumahan atau perkampungan, adalah buah dari akad shuluh. 


Secara syara’, jalan akses masyarakat bisa dikelompokkan sebagai 2, yaitu (1) jika bukan thariqu al-nafidz (gang), maka pasti ada dalam bentuk (2) al-darb al-musytarak (jalan umum). Kedua tipe akses jalan ini merupakan buah dari akad shuluh (rekonsiliasi syariah). 


Thariq al-nafidz atau gang, adalah sebuah jalan yang dibangun atas dasar kerelaan warga pemilik asalnya untuk digunakan sebagai jalur akses menuju darb al-musytarak (jalan umum). Perelaan ini dilakukan melalui mekanisme shuluh ibra’, yaitu perelaan penuh tanpa syarat. 


فالإبراء اقْتِصاره من حَقه على بعضه ولا يجوز على شَرط


Artinya, “Shuluh ibra’ adalah suatu iqrar yang memberikan penegasan pemangkasan hak pihak yang beriqrar atas sebagian hak lainnya.” (Kifayat al-Akhyar, juz I, halaman 260).


Karena dilakukan dengan tanpa syarat maka akad yang berlaku dalam shuluh ibra’, sejatinya adalah akad hibah.


 صلح هو بيع، وصلح هو إبراء، وصلح هو هبة
كفاية النبيه في شرح التنبيه ١٠/‏٥٣ — ابن الرفعة (ت ٧


Artinya, “Shuluh adalah akad jual beli. Shuluh juga merupakan akad pembebasan. Selain itu shuluh juga merupakan hibah.” (Kifayatu al-Nabih fi Syarhi al-Tanbih li Ibn Rif’ah, Juz X, halaman 53).


Hibah adalah akad pindah milik (tamalluk) tanpa adanya ganti berupa ‘iwadl (harga).


الهبة تملك بالعقد والقبض معًا 
بحر المذهب للروياني ٦/‏١٥٧ — الروياني، عبد الواحد (ت ٥٠٢) – كتاب الإقرار


Artinya, "Hibah adalah akad pindah milik yang terangkai dari akad dan sekaligus penguasaan secara bersama-sama.” (Bahru al-Madzhab li al-Ruyany, Juz 6, halaman 157).


Larangan yang berlaku atas hibah, adalah tidak boleh dicabut kembali sebab bertentangan dengan sabda Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: 


لا يحل للرجل أن يعطى العطية فيرجع فيها إلا الوالد فيما يعطى ولده
المجموع شرح المهذب ١٥/‏٣٨٢ — النووي (ت ٦٧٦) –


Artinya, “Tidak halal bagi seorang laki-laki mencabut kembali pemberian kepada orang lain kecuali pemberiannya orang tua kepada anaknya.” (Majmu’ Syarah Muhaddzab li al-Nawawy, juz XV, halaman 383).


Imam Nawawi juga meriwayatkan, sabda Baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam:


ومثل الرجل يعطى العطية ثم يرجع فيها كمثل المكلب أكل حتى إذا شبع قاء ثم رجع في قيئه) أخرجه أحمد والبخاري ومسلم وأبو داود والترمذي وصححه، وكذلك ابن حبان والحاكم وصححاه وقد استدل بالحديث على تحريم الرجوع في الهبة، لان القئ حرام فالمشبه به مثله


Artinya, "Perumpamaan seoang laki-laki menyerahkan suatu pemberian kemudian dicabut kembali adalah menyerupai anjing yang memakan sesuatu hingga kenyang, kemudian dimuntahkan kembali kemudian dijilatinya muntahan itu.” HR Imam Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Al-Tirmidzy. Hadits dishahihkan oleh Al-Tirmidzy, Ibnu Hibban dan Hakim. Berbekal hadits ini dapat diketahui hukum haramnya mencabut kembali suatu hibah sebagaimana disindir melalui haramnya menjilat kembali muntahan.” (Majmu’ Syarah Muhaddzab li al-Nawawy, juz XV, halaman 383).


Alhasil, pihak yang mendaku sebagai pemilik tanah, ahli warisnya, atau pemilik baru, tidak memiliki kewenangan untuk mencabut kembali suatu akses jalan yang telah diberikan atau bahkan menutup akses. Pernyataan ketidakbolehan menunjukkan makna haram melakukannya. 


Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur