Syariah

Upaya Konservasi Lingkungan di Balik Ibadah Haji

Sen, 10 Juni 2024 | 15:00 WIB

Upaya Konservasi Lingkungan di Balik Ibadah Haji

Ilustrasi jamaah haji. (Foto: NU Online/Freepik)

Ibadah haji yang menjadi rukun Islam yang kelima, sejatinya bukan hanya sebatas hubungan seorang hamba dengan Tuhannya. Melainkan juga terdapat pelajaran dan hikmah besar agar manusia memperhatikan dan merawat lingkungan di sekeliling mereka.

 

Selama ini, umat Islam memahami predikat haji mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah setelah mampu menata niat dan memenuhi rukun dan syarat yang ada. Seseorang dikatakan hajinya diterima biasanya ditandai dengan adanya transformasi akhlak ke arah yang lebih baik. Pandangan tersebut tentu memang benar adanya.

 

Di sisi lain, terkadang umat Islam hanya membatasi persoalan akhlak hanya pada hubungannya dengan Allah dan hubungannya kepada sesama manusia. Ada satu hal yang kadang terlupakan yakni bagaimana juga terjadi peningkatan akhlak kepada alam dan lingkungan sekitar.

 

Penting diketahui, bahwa ibadah haji bukan terletak pada penunaian rangkaian ritual sakral semata, mengerjakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Namun, hendaknya tiap muslim mampu memandang esensi besar yang tersimpan di balik perintah dan larangan tersebut.

 

Haji dan kesadaran lingkungan 

Salah satu larangan yang ada ialah diharamkannya membunuh hewan di Tanah Haram (Makkan dan Madinah) dan memakannya. Hal ini seperti yang tertera dalam kitab Fathul Qarib.

 

(قَتْلُ الصَّيْدِ) الّبَرِّيِّ الْمَأْكُوْلِ أَوْ مَا فِيْ أَصْلِهِ مَأْكُوْلً مْنْ وَحْشٍ وَطَيْرٍ. وَيَحْرُمُ أَيْضًا صَيْدُهُ، وَوَضْعُ الْيَدِ عَلَيْهِ وَالتَّعَرُّضُ لِجُزْئِهِ وَشَعْرِهِ وَرِيْشِهِ

Artinya: “(Haram pula membunuh hewan buruan) darat yang halal dimakan sesuatu yang aslinya dimakan binatang atau burung. Dilarang juga memburunya, menyentuhnya, atau mengambil bagian, rambut, atau bulunya.” (Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib Syarh Matan At-Taqrib, [Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2005], halaman. 155)

 

Hadirnya konsekuensi hukum haram merupakan buah pikir para ulama dari dua ayat yang secara eksplisit menyebutkan itu dalam Al-Qur’an. Tepatnya pada surah Al-Maidah ayat 1 dan 96, sebagaimana berikut:

 

 يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِۗ اُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ الْاَنْعَامِ اِلَّا مَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّى الصَّيْدِ وَاَنْتُمْ حُرُمٌۗ اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ 

 

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji! Dihalalkan bagimu hewan ternak, kecuali yang akan disebutkan kepadamu (keharamannya) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendak.”

 

اُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهٗ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِۚ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًاۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْٓ اِلَيْهِ تُحْشَرُوْنَ 

 

Artinya: “Dihalalkan bagi kamu hewan buruan laut dan makanan (yang berasal dari) laut sebagai kesenangan bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) hewan buruan darat selama kamu dalam keadaan ihram. Bertakwalah kepada Allah yang hanya kepada-Nya kamu akan dikumpulkan

 

Larangan tersebut tidak hanya berlaku di Tanah Haram, tapi juga di luar tempat tersebut selagi mereka dalam kondisi berihram. Hal yang sama juga berlaku bagi mereka yang sudah selesai masa hajinya, seperti yang disebutkan Imam An-Nawawi Al-Bantani dalam Mirqatus Shu’udu At-Tashdiq ala Syarh Sullamut Taufiq.

 

Menariknya, tidak hanya dilarang membunuh hewan darat buruan, bahkan mereka pun juga dilarang merusak tanaman yang berada di sana. Siapapun yang melakukannya akan mendapatkan dosa dan wajib baginya membayar kaffarat atau fidyah. Adapun mengenai hewan laut memang terjadi perselisihan para ulama.

 

Rasulullah bersabda:

 

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ، وَإِنِّي أُحَرِّمُ الْمَدِينَةَ، حَرَامٌ مَا بَيْنَ حَرَّتَيْهَا وَحِمَاهَا كُلُّهُ، لَا يُخْتَلَى خَلاهَا، وَلا يُنَفَّرُ صَيْدُهَا، وَلا تُلْتَقَطُ لُقَطَتُهَا، إِلا لِمَنْ أَشَارَ بِهَا، وَلا تُقْطَعُ مِنْهَا شَجَرَةٌ إِلا أَنْ يَعْلِفَ رَجُلٌ بَعِيرَهُ، وَلا يُحْمَلُ فِيهَا السِّلاحُ لِقِتَالٍ

 

Artinya: “Sesungguhnya Ibrahim telah menjadikan Makkah suci, dan Aku menjadikan Madinah suci, semua tempat bebas dan tempat berteduhnya adalah suci Kecuali orang yang memberi petunjuk, dan tidak ada pohon yang boleh ditebang kecuali ada orang yang memberi makan untanya, dan tidak ada senjata yang boleh mengangkat senjata di sana untuk berperang.” (Imam Ahmad, Musnad Ahmad, [Muassasah Ar-Risalah, 2001], Juz 2, halaman 267)

 

Dua kota tersebut dikhususkan langsung oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad, kemudian dijuluki sebagai “Tanah Haram” yang berarti tanah yang disucikan. Sehingga tidak dibenarkan segala macam bentuk perbuatan yang dapat mengganggu dan menodai stabilitas keduanya. Unsur-unsur kehidupan di dalamnya terlarang untuk dirusak kecuali ada syarat-syarat ketat yang memperbolehkannya.

 

Syeikh Ali Jum’ah menyebutkan hadits di atas dalam kitabnya, Bi’ah wal Hifazu ‘Alaiha Min Manzhum Al-Islamiy. Baginya, hadits di atas sebagai dasar perintah bagi tiap orang untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Dari hadits ini pula dipahami sebagai bentuk upaya penjagaan lingkungan yang diterapkan Nabi di Makkah yang kemudian dikenal dengan sebutan konservasi lingkungan atau cagar alam di era kini. (Ali Jum’ah, Bi’ah wal Hifazu ‘Alaiha Min Manzhum Al-Islamiy, [Kairo: Wabil Ash-Shoib, 2009], Cet. I, halaman 119-120)

 

Konservasi yang diinginkan Islam bukan hanya sebatas menjaga manusia, hewan, dan tumbuhan dari kerusakan dan kematian. Lebih dari itu, termasuk juga membendung mereka dari ketakutan dan mampu menciptakan rasa aman bagi siapapun masuk yang masuk ke dalam Tanah Haram.

 

Sejarah juga memperlihatkan bahwa Nabi menetapkan daerah-daerah yang tidak boleh dilanggar untuk membatasi aliran-aliran air, fasilitas-fasilitas dan kota-kota. Di dalam kawasan haram fasilitas umum seperti sumur dilindungi dari kerusakan. Disediakan pula ruang untuk menjaga sumur, melindungi airnya dari polusi, dan menyediakan tempat istirahat bagi ternak dan ruang bagi fasilitas-fasilitas irigasi (Mangunjaya, Aspek Syariah: Jalan Keluar dari Krisis Ekologi, [Jurnal Ulumul Quran, 1998, No. 1/VII] halaman 1-11).

 

Salah satu yang dapat dirasakan hingga sekarang ialah sumur zam-zam, yang penuh khasiat dan manfaat bagi peminumnya. Sumur tersebut menjadi suguhan wajib bagi para jamaah haji maupun umrah yang datang ke sana. Kita melihat bahwa sumur tersebut dijaga secara turun temurun sejak ditemukan kembali oleh Abdul Muthallib. Begitu juga pada sumur-sumur lain yang masih tewarisi dan dinikmati sampai kini.

 

Dari sini, menjadi sangat penting bagi para jamaah haji untuk sadar bahwa ibadahnya selama di Makkah dan Madinah juga sebagai upaya membangkitkan kesadaran untuk melestarikan lingkungan. Bukan hanya menikmati wisata religi semata, tapi juga ikut andil dalam upaya konservasi lingkungan baik flora maupun fauna. Turut serta dalam menjaga keseimbangan ekologis.

 

Walhasil, Ibadah haji sebagaimana dikemukakan di awal mengandung pesan penting agar tiap orang cinta dan peduli dengan lingkungannya. Tidak hanya menjalin hubungan baik kepada Allah dengan ibadah saja tapi juga membentuk relasi yang sehat terhadap lingkungan. Menjadi pribadi yang bermoral dan aktif dalam menjaga dan menciptakan lingkungan yang ramah. Wallahu a'lam.

 

Muhammad Izharuddin, Mahasantri STKQ Al-Hikam.