Syariah

Zakat Perusahaan: Ketentuan dan Cara Menghitungnya

Jum, 15 Oktober 2021 | 06:00 WIB

Zakat Perusahaan: Ketentuan dan Cara Menghitungnya

Penghitungan zakat perusahaan bisa tergantung dengan apakah perusahaan itu didirikan melalui modal sendiri, dan kadang pula didirikan dengan modal syirkah alias modal patungan.

Hukum asal zakat adalah berlaku atas harta niaga yang bisa dikembangkan (al-nama). Dengan demikian, setiap adanya ra’su al-mal (modal niaga) yang mengalami perputaran untuk tujuan pengembangan, maka berlaku ketentuan wajib zakat baginya ketika telah mencapai haul (1 tahun Hijriah) dan nishab (standar dengan nishab emas dan perak).

 

Adapun maksud dari perputaran ini bisa bermacam-macam: adakalanya diniagakan lagi secara langsung atau adakalanya untuk proses produksi dengan tujuan akhir diniagakan, sebagaimana berlaku atas perusahaan (shina’ah). Sebuah hadits dari Samurah bin Jundub mengatakan:

 

إن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم كان يأمرنا أن نُخرِج الصدقةَ مِن الذي نُعِدُّ للبيع

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan kita untuk mengeluarkan zakat dari harta yang disiapkan untuk niaga”(HR Abu Dawud).

 

Pertanyaannya: bagaimana cara penghitungan zakat perusahaan ini?

 

Sebuah perusahaan, kadang didirikan melalui modal sendiri, dan kadang pula didirikan dengan modal syirkah alias modal patungan.

 

Zakat Perusahaan Modal Pribadi

Jika perusahaan itu berasal dari modal sendiri maka yang harus dicari tahu terlebih dulu adalah apakah pemiliknya merupakan pihak yang wajib zakat atau tidak. Sebab salah satu syarat wajib zakat adalah bila pemilik perusahaan adalah seorang mukallaf, yang berarti dia harus seorang muslim.

 

Untuk pemilik yang bukan muslim maka harta yang dikeluarkan oleh perusahaannya tidak bisa disebut sebagai zakat, kendati diatasnamakan sebagai zakat. Terus sebagai apa? Sudah barang pasti masuk dalam rumpun bantuan sosial, pemberian, dan lain sebagainya. Yang pasti, tidak bisa dikelompokkan sebagai zakat, atau bahkan sedekah, sebab keduanya harus diawali dengan niat ibadah.

 

Berikutnya adalah menghitung ‘urudl al-tijarah (harta niaga). Maksud dari urudl al-tijarah ini adalah:

 

ولا يصير العرض للتجارة إلا بشرطين أحدهما: أن يملكه بعقد فيه عوض كالبيع والإجارة والنكاح والخلع والثاني: أن ينوي عند العقد أنه تَمَلَّكَه للتجارة

“Tidak dihitung sebagai harta niaga kecuali adanya dua syarat: pertama, jika harta itu dimiliki melalui akad pertukaran dengan wasilah harga, seperti jual beli, nikah, dan khulu’. Kedua, jika harta itu dimiliki dengan niat untuk niaga” (Abu Ishaq al-Syairazy, al-Madzhab fi al-Fiqhi al-Syafii, Damaskus: Dar al-Fikr, tt., juz 6, h. 48).

 

Hampir senada, Al-Hajawi al-Hanbali di dalam al-Iqna’ menjelaskan bahwa syarat harta masuk dalam kategori urudl al-tijarah adalah:

 

فشروط زكاة عروض التجارة ثلاثة: أن يكون المال مكتسبًا بمعاوضة، وأن يكون تَمَلُّكُه بغرض بيعه، وأن يكون بيعُه بغرض الربح فيه أو المنفعة التجارية

“Syarat urudl tijarah ada tiga, yaitu (1) jika harta itu diperoleh melalui akad pertukaran, (2) untuk mendapatkan harta itu, ada tujuan untuk menjualnya kembali, dan (3) jika penjualannya disertai tujuan untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat darinya.” (al-Hajawy, al-Iqna’, Kairo: Dar al-Ma’rifah, tt., juz 1, h. 275).

 

Jika mencermati dua ketentuan di atas, maka harta yang bisa dikategorikan sebagai ‘urudl al-tijarah dalam operasional perusahaan adalah mencakup:

 
  1. Semua bahan hasil proses produksi perusahaan yang sudah meliputi barang jadi sehingga penghitungannya meliputi harga jual jadi kepada pihak konsumen
  2. Semua bahan baku produksi perusahaan yang diniatkan untuk diolah, dan dihitung berdasar hasil harga beli bahan
  3. Semua laba yang diperoleh oleh perusahaan selama satu tahun proses produksi
  4. Semua piutang lancar perusahaan yang masuk kategori bisa ditagih dan diharapkan kepastiannya, adalah masuk bagian dari harta yang wajib dizakati. Adapun untuk piutang tidak lancar, maka hal itu dikecualikan dari bagian ‘urudl al-tijarah karena sifat lemahnya kepemilikan
  5. Semua utang perusahaan yang berkaitan dengan proses produksi merupakan yang dihitung sebagai pengurang urudl al-tijarah di muka.
  

Perusahaan Modal Bersama

Jika sebuah perusahaan didirikan atas dasar syirkah, maka yang perlu dilakukan pertama kali adalah mengidentifikasi peserta syirkah tersebut, adakah yang bukan termasuk wajib zakat.

 

Pertama, bila ternyata ada salah satu peserta syirkah yang bukan wajib zakat, maka penghitungan zakat perusahaan bagi peserta wajib zakat adalah dinilai berdasar nisbah modal/saham yang dimiliki oleh anggota yang wajib zakat. Misalnya, pihak wajib zakat itu mengakuisisi modal 60%, dan total harta produksi perusahaan (urudl al-tijarah) mencapai 20 miliar, maka besaran zakat yang harus dikeluarkan oleh pihak wajib zakat itu adalah 2.5% dari 60%-nya 20 miliar.

 

Kedua, adapun bila seluruhnya merupakan pihak wajib zakat, maka teknik penghitungannya mengikuti teknik penghitungan perusahaan dengan modal mandiri. Alhasil, tidak ada keraguan mengenai penghitungannya.

 

Ketiga, bagaimana bila perusahaan itu didirikan oleh pihak yang bukan wajib zakat? Dalam hal ini, kembali pada pengertian bahwa zakat itu merupakan ibadah, sehingga pelakunya harus pihak yang wajib zakat. Adapun pihak yang bukan wajib zakat, maka pengeluaran harta darinya, tidak bisa dikategorikan sebagai zakat. Wallahu a’lam bish shawab.

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur