Tafsir

Pendapat Mufassir tentang Siapa Pendiri Ka’bah dan Kapan Didirikan?

Ahad, 25 Juni 2023 | 17:30 WIB

Pendapat Mufassir tentang Siapa Pendiri Ka’bah dan Kapan Didirikan?

Ka'bah di Masjidil Haram Makkah di tengah jamaah haji 2023. (Foto: Media Center Haji)

Ka’bah adalah bangunan berbentuk kubus yang menjadi pusat ibadah seluruh umat Islam di dunia. Ka’bah juga diketahui sebagai bangunan tertua yang pertama kali didirikan atas wujud kemuliaan dan keberkahan. Dari sana, dapat dimaknai bahwa Ka’bah merupakan kesatuan arah kiblat umat Islam dalam menyembah dan mengesakan Allah Swt. Oleh sebab itu, Ka’bah kemudian dikenal dengan sebutan Baitullah (rumah Allah) dan al-baitul al-atiq (bangunan tertua).


KH Syafi’i Hadzami dalam bukunya Taudhihul Adillah menjelaskan bahwa maksud Baitullah (rumah Allah) bukan diartikan Allah bersemayam di Ka’bah. Akan tetapi, hal itu merupakan idhafah bait li at-tasyrif, yakni penyandaran kata ‘rumah’ kepada ‘Allah’ untuk memuliakan. Dengan begitu, sebutan ‘rumah Allah’ dalam Ka’bah diartikan sebagai rumah yang banyak dilimpahkan padanya rahmat Allah Swt. (Syafi’i Hadzami, Taudhihul Adillah: Fatwa-fatwa Muallim KH Muhammad Syafi’i Hadzami, Buku 5, [Jakarta, PT Elex Media Komputindo, 2010] halaman 119).


Dalam surat Ali Imran ayat 96, Allah Swt berfirman:


اِنَّ اَوَّلَ بَيْتٍ وُّضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِيْ بِبَكَّةَ مُبٰرَكًا وَّهُدًى لِّلْعٰلَمِيْنَۚ


Artinya: “Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia adalah (Baitullah) yang (berada) di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam.”


Ayat tersebut ditafsirkan banyak ulama bahwa kata ‘rumah’ (بيت) menunjukkan sebuah rumah yang pertama kali dibangun untuk tujuan ibadah para manusia. Rumah tersebut memiliki keberkahan (مباركا), meliputi rahmat dan ampunan dari Tuhan, serta sebagai petunjuk bagi seluruh alam. Petunjuk bagi seluruh alam ini dimaknai sebagai kesatuan arah kiblat dalam shalat mereka. Sehingga, umat Islam dari penjuru dunia akan selalu terpusat pada arah yang sama dalam rangka ibadah, kiblat itulah bernama Ka’bah yang berada di kota Makkah.


Timbul pertanyaan, sejak kapan Ka’bah berdiri? Siapa yang membangun Ka’bah? Pertanyaan ini menimbulkan penafsiran yang beragam di kalangan ulama. Dengan begitu, adakalanya kita kembali mengkaji dan mencermati penafsiran para ulama tentang makna Bakkah dalam surat Ali Imran ayat 96 yang sebagaimana telah disebutkan di atas.


Syekh Mansur Ali Nasef menjelaskan makna Bakkah ialah sebuah rumah pertama yang Allah letakkan untuk tempat ibadah para manusia di Bumi. Rumah tersebut adalah Bakkah, yakni Makkah. Disebut Bakkah, karena manusia berkerumun di sana, atau karena tempat itu mematahkan leher orang-orang yang sombong. (Mansur Ali Nasef, al-Taj al-Jami’ li al-Usul fi Ahadits al-Rasul, bab Fadl al-Masajid al-Tsalasah, [Lebanon, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2011], halaman 214).


Prof Quraish Shihab juga menambahkan bahwa kata Bakkah dapat dipahami sebagai tempat melaksanakan Thawaf di mana terdapat di Ka’bah. Kata ini diambil dari akar kata Bahasa Arab yang berarti ‘ramai’ dan ‘berkerumun’. Adapun Makkah, maka ia menunjuk pada kota Makkah secara keseluruhan, atau dinamakan kota Haram. Artinya, Bakkah terdapat di kota Makkah. Alih-alih demikian, ada juga yang memahami Bakkah itu dalam arti kota Makkah. Karena, dialek mim (م) dan ba’ (ب) sama, keduanya terucapkan melalui pendempetan bibir atas dan bibir bawah. (M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Volume II, [Ciputat, Lentera Hati, 2002], halaman 158).


Riwayat lain, datang dari Ikrimah dan Maimun ibn Mihran yang mengatakan bahwa Ka’bah dan sekitarnya disebut Bakkah, melewati batas itu disebut Makkah. Lalu, riwayat dari Abu Shalih, Ibrahim an-Nakha’i, dan Muqatil ibn Hayyan yang mengatakan bahwa Bakkah itu adalah letak bertempatnya Ka’bah (موضع البيت) dan selain tempat itu adalah Makkah. Itulah sebabnya kenapa Makkah disebut dengan banyak nama, antara lain: Bakkah, al-Bait al-Atiq, al-Bait al-Haram, al-Balad al-Amin, Umm al-Qura, al-Qadis, al-Muqaddasah, Ka’bah, dan lain-lain. (Ismail ibn Umar ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Jilid 2, QS Ali Imran: 96, [Riyadh, Dar al-Thayyibah, 1999] halaman 78).


Selanjutnya, Ka’bah dalam perkembangan tafsir, memiliki beberapa versi dalam pendiriannya. Ada pendapat bahwa Ka’bah didirikan oleh malaikat, pendapat lain mengatakan bahwa Nabi Adam sebagai pendiri pertama, lalu pendapat lain juga menyebut Nabi Ibrahim sebagai pendirinya.


Sebut saja Imam al-Suyuti dalam Tafsir al-Jalalain, ia menjelaskan bahwa Ka’bah ini mula-mula dibangun oleh malaikat, sebagai berikut:


بناه الملائكة قبل خلق آدم ووضع بعده الأقصى وبينهما أربعون سنة كما في حديث الصحيحين وفي حديث " أنه أول ما ظهر على وجه الماء عند خلق السماوات والأرض زبدة بيضاء فدحيت الأرض من تحته"


Artinya: “Baitullah ini didirikan oleh malaikat sebelum diciptakannya Adam dan setelah itu diletakkan Masjid Al-Aqsa dan jarak antara keduanya 40 tahun sebagaimana tersebut dalam kedua hadis sahih. Pada sebuah hadis lain disebutkan bahwa Ka’bah yang mula-mula muncul di permukaan air ketika langit dan bumi ini diciptakan sebagai buih yang putih, maka dihamparkan tanah bumi dari bawah Ka’bah.” (Jalaluddin al-Suyuti, Tafsir al-Jalalain, QS Ali Imran: 96, [Surabaya, Dar al-Ilm, tanpa tahun], halaman 57).


Pada penafsiran lain, disebutkan bahwa Ka’bah didirikan oleh Nabi Adam as. Syekh Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid li Kasyf Ma’na Qur’an al-Majid menyebutkan hadis Nabi Saw yang bersabda:


(روي أنه صلى الله عليه وسلم سئل عن أول بيت وضع للناس فقال المسجد الحرام ثم بيت المقدس وسئل كم بينهما فقال أربعون سنة) أي أن آدم بنى الكعبة ثم بنى الأقصى وبين بنائهما أربعون سنة


Artinya: “Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw ditanya tentang rumah Ibadah pertama yang dibangun untuk manusia, Nabi bersabda; “Masjidil Haram, lalu Masjid Al-Aqsa.” Kemudian ditanya berapa jarak antara keduanya, Nabi bersabda; “40 tahun.” (HR Bukhari-Muslim). Syekh Nawawi menjelaskan hadis tersebut: “yakni Nabi Adam yang membangun Ka’bah kemudian Masjid Al-Aqsa, antara kedua pendirian tersebut adalah 40 tahun.” (Nawawi al-Bantani, Tafsir Marah Labid li Kasyf Ma’na Qur’an al-Majid, QS Ali Imran: 96, [Surabaya, Dar al-Ilmi, tanpa tahun], halaman 110).


Menurut Syekh Nawawi, Baitullah ini diletakkan pertama kali sebagai kiblat para nabi, rasul, dan orang-orang mukmin sebagai arah shalat mereka. Sebab, kewajiban shalat sudah lazim terbebani pada seluruh nabi berdasarkan firman Allah Swt dalam surat Maryam ayat 58, yang berbunyi:


اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيّٖنَ مِنْ ذُرِّيَّةِ اٰدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوْحٍۖ وَّمِنْ ذُرِّيَّةِ اِبْرٰهِيْمَ وَاِسْرَاۤءِيْلَۖ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَاۗ اِذَا تُتْلٰى عَلَيْهِمْ اٰيٰتُ الرَّحْمٰنِ خَرُّوْا سُجَّدًا وَّبُكِيًّا


Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yakni para nabi keturunan Adam, orang yang kami bawa (dalam kapal) bersama Nuh, keturunan Ibrahim dan Israil (Ya’qub), serta orang yang telah Kami beri petunjuk dan Kami pilih. Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah Yang Maha Pengasih, mereka tunduk, sujud, dan menangis.”

 

Kemudian Syekh Nawawi memberikan komentar:


فدلّت الآية على أن جميع الأنبياء عليهم السلام كانوا يسجدون لله والسجدة لا بد لها من قبلة فلو كانت قبلة شيث وإدريس ونوح عليهم السلام موضعا آخر سوى الكعبة لبطل قوله تعالى "إن أول بيت وضع للناس للذي ببكة" فوجب أن يقال أن قبلة أولئك الأنبياء المتقدمين هي الكعبة فدل هذا أن هذه الجهة كانت أبدا مشرفة مكرمة


Artinya: “Ayat ini menunjukkan bahwa seluruh para nabi telah sujud kepada Allah Swt dan sujud itu semestinya memiliki arah kiblat. Jika kiblatnya Nabi Syits, Idris, dan Nuh, berada di tempat selain Ka’bah, maka batallah firman Allah Swt; “sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia berada di Bakkah” (QS Ali Imran ayat 96). Oleh sebab itu, patut dikatakan bahwa Ka’bah adalah arah kiblat seluruh para nabi. Hal ini menunjukkan bahwa arah kiblat ke Ka’bah itu tetap dimuliakan selamanya.” (al-Bantani, Tafsir Marah Labid li Kasyf Ma’na Qur’an al-Majid, QS Ali Imran: 96, halaman 111).


Pada sisi lain, penafsiran bahwa Ka’bah didirikan Nabi Ibrahim as datang salah satunya dari Imam Ibn Katsir. Ketika menafsirkan lafaz Bakkah, Ibn Katsir menghendaki maknanya adalah Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim. Penafsiran tersebut dikuatkan dengan ungkapan Sayyidina Ali ra yang berkata:


حدثنا أبي, حدثنا الحسن بن الربيع, حدثنا أبو الأحوص, عن سماك, عن خالد ابن عرعرة قال : قام رجل إلى علي فقال: ألا تحدّثني عن البيت : أهو أول بيت وضع في الأرض؟ قال: لا, ولكنه أول بيت وضع فيه البركة مقام إبراهيم, ومن دخله كان آمنا


Artinya: “Dari Khalid ibn Ar’arah berkata; seorang laki-laki berdiri lalu menghampiri Ali ra dan bertanya, “berkenankah engkau menceritakan kepadaku tentang Baitullah, apakah ia merupakan rumah yang mula-mula dibangun di bumi?” Ali menjawab, “tidak, tetapi Baitullah merupakan rumah yang pertama dibangun mengandung berkah, yaitu Maqam Ibrahim. Barang siapa yang memasukinya, maka amanlah dia.” (Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Jilid 2, QS Ali Imran: 96, halaman 78).


Menurut Ibn Katsir, ungkapan Sayyidina Ali itu menunjukkan bahwa Ka’bah dibangun oleh Nabi Ibrahim, bukan dibangun oleh Nabi Adam, atau para malaikat, sebagaimana ditafsirkan oleh orang lain. Sebab, yang dimaksud dengan sebutan ‘rumah pertama’ (أول بيت) itu adalah rumah yang dibangun atas naungan berkah untuk tujuan ibadah. Dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, ia mengutip ungkapan Hasan al-Basri, Mathar al-Warraq, dan Sa’id ibn Jubair, sebagaimana ditarjih Ibn Jarir dalam tafsirnya:


هكذا قال الحسن البصري ومطر الوراق وسعيد بن جبير وهو الذي رجحه ابن جرير في تفسيره, وهو الذي لا شك فيه لأن الحال في قوله : (مباركا) ]آل عمران : 96[ دال على ذالك كأنه قال: أول بيت وضع على البركة : أي حال كونه مباركا للذي ببكة, وهذا لا ينفي أن يكون وضع قبله بيوت كثيرة للمسلمين وغير ذالك فدل ذالك على أن إبراهيم عليه السلام هو أول من بنى المسجد الحرام


Artinya: “Tiada keraguan lagi bahwa kata ‘Mubaraka’ (مباركا) [QS Ali Imran: 96] itu menunjukkan Baitullah sebagai rumah yang pertama kali dibangun atas keberkahan, yakni rumah yang di dalamnya memiliki berkah itulah Bakkah. Hal ini tidak menafikan bahwa sudah ada rumah-rumah sebelum masa itu, yang dibangun untuk pemukiman kaum muslim dan lainnya. Maka, hal tersebut menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim adalah orang pertama yang membangun Masjidil Haram.” (Ibn Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, bab ‘Bina’ al-Masjid al-Haram’ [Lebanon, Bayt Afkar Dauliyah, tanpa tahun] halaman 85).


Lalu, bagaimana dengan redaksi hadis Nabi Muhammad Saw tentang pendirian Masjidil Haram dan Masjid al-Aqsa berjarak 40 tahun, sebagaimana hadis yang sudah disebutkan di atas (HR Bukhari-Muslim)? Konon, Nabi Sulaiman yang disebut-sebut sebagai sosok pendiri Masjid al-Aqsa. Namun, jika diambil penafsiran Ibn Katsir bahwa Nabi Ibrahim yang membangun Ka’bah, pasti akan terjadi masalah. Karena, jarak antara Nabi Ibrahim dengan Nabi Sulaiman terpaut ribuan tahun.


Permasalahan ini sebetulnya sudah dijawab dengan kalimat yang panjang oleh Ibn Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah. Kendati demikian, penulis lebih tertarik mengutip ungkapan Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Zaad al-Ma’ad yang berkata:


فقال: معلوم أن سليمان بن داود هو الذي بنى المسجد الأقصى, وبينه وبين إبراهيم أكثر من ألف عام, وهذا من جهل هذا القائل, فإن سليمان إنما كان له من المسجد الأقصى تحديده, لا تأسيسه, والذي أسسه هو يعقوب بن إسحاق صلى الله عليهما وآلهما وسلم بعد بناء إبراهيم الكعبة بهذا المقدار


Artinya: “Berkata seseorang, “maklum diketahui bahwa Nabi Sulaiman yang mendirikan Masjid al-Aqsa, tapi jarak antara Sulaiman dan Nabi Ibrahim itu ribuan tahun.” Ini adalah ucapan orang jahil. Sebab, Nabi Sulaiman hanya merenovasi Al-Aqsa, bukan mendirikannya. Orang yang mendirikan Al-Aqsa adalah Nabi Ya’qub as setelah Ka’bah dibangun oleh Nabi Ibrahim dengan ukurannya.” (Ibn Qayyim al-Jauziyah, Zaad al-Ma’ad fi Hadyi Khair al-‘Ibad, (Lebanon, Al-Resalah Publishers, 2009], halaman 15).


Berdasarkan pemaparan di atas, sangat jelas terjadi perbedaan penafsiran perihal berdirinya Ka’bah dan siapa yang membangunnya. Hal tersebut mencerminkan perbedaan yang patut dihargai. Karena, perbedaan adalah rahmat dari Allah Swt. Yang jelas, Ka’bah dan sekelilingnya meliputi tanah Haram, baik Makkah dan Madinah, adalah tempat mulia yang disepakati sebagai Ijma para ulama. Sebagaimana ungkapan Syekh Nawawi dalam Nur adz-Dzalam:


قد انعقد الإجماع على أن مكة والمدينة أفضل البقاع واتفق الأئمة الثلاثة على أن مكة أفضل من المدينة وعكس مالك والخلاف في غير البقعة الشريفة التي تضمنت أعضاءه صلى الله عليه وسلم وإلا فهي أفضل من السموات والأرض جميعا قطعا


Artinya: “Ijma ulama menetapkan bahwa Makkah dan Madinah adalah sebidang tanah yang paling mulia. Para Imam yang tiga (Imam Abu Hanifah, Imam asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal) sepakat bahwa Makkah lebih utama daripada Madinah. Berbeda dengan Imam Malik yang berpendapat sebaliknya, yaitu Madinah lebih utama. Perbedaan ini terkait pada selain sebidang tanah mulia yang di sana terdapat jasad Nabi Muhammad Saw. Adapun sebidang tanah tersebut (yang terdapat jasad Nabi Saw) itu lebih utama dari seluruh langit dan bumi secara pasti.” (al-Bantani, Nur adz-Dzalam syarh Aqidah al-‘Awwam, [Surabaya, Dar al-Ilmi, tanpa tahun], halaman 28). Wallahu A’lam.


Ahmad Rifaldi, alumnus Pondok Pesantren Al-Awwabin Depok, Jawa Barat