Tafsir

Pengertian Fatayat dan Budak Perempuan dalam Al-Qur’an

Kam, 19 September 2019 | 16:45 WIB

Pengertian Fatayat dan Budak Perempuan dalam Al-Qur’an

Ilustrasi: alarabiya.net

Dilihat dari makna leksikal, arti dari kata fatayat adalah perempuan muda. Untuk laki-laki biasa disampaikan dengan diksi al-fata. Pada penjelasan terdahulu, lafal fatayât, ada yang dihubungkan dengan lafal raqabah dengan didahului oleh harfu jarrin “min” yang berfungsi sebagai bayan dari milkul yamîn. Ayat tersebut adalah sebagai berikut:

وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلًا أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُم ۚ بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ ۚ فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنكُمْ ۚ وَأَن تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya, “Barang siapa di antara kamu yang tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka dihalalkan menikahi perempuan yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki, yakni fatayat kalian yang beriman. Allah Maha Mengetahui akan keimananmu. Sebagian dari kalian adalah berasal dari sebagian yang lain (sama-sama keturunan Nabi Adam alaihissalam). Oleh karena itu nikahilah mereka dengan seizin sayyidnya. Berikan kepada mereka maskawin dengan baik. Mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, dan bukan pezina serta bukan pula perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami), tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka hukuman bagi mereka adalah setengah dari hukuman wanita-wanita merdeka (yang tidak bersuami). Kebolehan menikahi hamba sahaya itu adalah bagi orang-orang yang takut terhadap kesulitan dalam menjaga diri (dari perbuatan zina). Tetapi jika kamu bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.” (Surat An-Nisa’ ayat 25).

Ada beberapa persoalan yang hendak diungkap dalam tulisan ini. Pertama, menjelaskan korelasi diksi fatayât dengan milkul yamîn. Kedua, menjelaskan gambaran pola pernikahannya milkul yamin. Kedua obyek permasalahan ini akan disajikan dalam bentuk membandingkan makna ayat satu dengan ayat yang lain sehingga ditemukan kekorelasian makna.

Korelasi Fatayât dan Konsep Milkul Yamîn
Ada dua surat yang menggunakan diksi fatayât di dalam Al-Qur’ân, yaitu Surat An-Nisâ ayat 25 dan Surat An-Nûr ayat 33. Ditilik dari segi urutan turunnya, Surat An-Nisa ayat 25 lebih dulu turun dibanding Surat An-Nûr ayat 33.

Perbedaan dari kedua ayat ini adalah jika di dalam Surat An-Nisa ayat 25, Allah SWT menjadikan lafal fatayât sebagai bayan (penjelas) dari milkul yamin secara langsung tanpa ada kalimat pemisah. Namun, pada Surat An-Nûr ayat 33, ada jeda pemisah antara kedua lafal “milkul yamin” dengan “fatayât.” Tema ayat membicarakan hal yang sama yaitu mengenai laki-laki yang tidak punya biaya untuk menikah. Lebih jelasnya simak Surat An-Nûr ayat 33, berikut ini:

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا ۖ وَآتُوهُم مِّن مَّالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ ۚ وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِّتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَمَن يُكْرِههُّنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِن بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya, “Orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kehormatan (‘iffah) dirinya sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Jika hamba sahaya yang kamu miliki (milkul yamîn) menginginkan perjanjian (kebebasan), maka hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka. Jika kamu mengetahui ada kebakan pada mereka. Janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu (fatayât) untuk melakukan pelacuran (baghy), sedang mereka sendiri menginginkan kesucian karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Barang siapa memaksa mereka, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) setelah dipaksanya mereka (oleh tuannya),” (Surat An-Nûr ayat 33).

Di dalam ayat ini, disinggung dua hal yang berkaitan dengan tema kita:
 
1.    Milkul yamîn bisa mengajukan akad kitâbah, yaitu akad mengajukan diri menebus dirinya dengan jalan mengangsur.

2.    Setelah berbicara mengenai pernikahan, dan akad kitâbah milkul yamîn, lalu ayat berbicara mengenai ketidakbolehan menjadikan fatayât sebagai obyek pelacuran (baghy).

Jika di dalam Surat An-Nisâ ayat 25 disinggung mengenai kebolehan menikahi milkul yamîn yang mukmin dan diperjelas dengan “min” bayani, lalu disambung dengan penjelasan kebolehan menikahi milkul yamîn yang beriman milik orang lain, nah di dalam Surat An-Nûr ini tiba-tiba tidak diperbolehkan memaksa fatayât sebagai obyek pelacuran.

Mengapa terjadi perubahan bentuk penyampaian lafal dibanding Surat An-Nisa ayat 25 sebelumnya? Dalam hemat penulis, seolah kedua ayat telah mengisyaratkan bahwa ada ketersambungan makna antara milkul yamîn, fatayât, akad kitâbah, pernikahan, dan pelacuran (baghy). Sebaiknya kita langsung masuk saja pada kajian pola pernikahan hamba sahaya.

Pola Pernikahan Hamba Sahaya
Memaksa pelacuran merupakan penyerahan milkul yamîn (fatayât) kepada orang lain dengan sebuah imbalan (iwadh budhu’). Imbalan ini jika dilalui lewat proses pernikahan, maka dinamakan sebagai mas kawin (mahar).
 
Mungkin dulu di zaman Rasulullah SAW, ada yang menyalahgunakan bahwa kebolehan menikahi perempuan hamba sahaya milik orang lain (milkul yamîn) adalah dipandang sebagai menjadikan budak sebagai pelacur, atau memang benar ada perilaku yang kemudian menyalahgunakan pernikahan tersebut sebagai paket menghalalkan pelacuran berbalut pernikahan. Hampir mirip dengan kejadian di beberapa tempat di Indonesia yang masyhur dengan istilah kawin kontrak. Mari kita cek dalam hadits riwayat tafsirnya!

Al-Qurthuby, di dalam kitab tafsirnya menukil adanya dua hadits yang menjadi sebab turunnya ayat ini. Kedua hadits tersebut mengisahkan perempuan jâriyah milik Abdullah bin Ubay. Hadits berikut ini diriwayatkan oleh dua orang sahabat sekaligus.

روي عن جابر بن عبد الله ، وابن عباس - رضي الله عنهم - أن هذه الآية نزلت في عبد الله بن أبي ، وكانت له جاريتان إحداهما تسمى معاذة ، والأخرى مسيكة ، وكان يكرههما على الزنا ويضربهما عليه ابتغاء الأجر وكسب الولد ؛ فشكتا ذلك إلى النبي - صلى الله عليه وسلم - فنزلت الآية فيه وفيمن فعل فعله من المنافقين . ومعاذة هذه أم خولة التي جادلت النبي - صلى الله عليه وسلم - في زوجها

Artinya, “Diriwayatkan dari sahabat Jabir bin Abdillah, dan Ibnu ‘Abbâs RA, bahwa ayat ini (Surat An-Nûr ayat 33) diturunkan atas kasus Abdullah bin Ubay. Ia memiliki dua jâriyah bernama Mu’âdzah dan Musîkah. Suatu ketika, ia memaksa kedua jariyah ini untuk melakukan zina dengan jalan menyuruhnya agar memungut upah dari hasil perzinaannya itu dan menghasilkan keturunan. Lalu keduanya mengadu kepada Baginda Nabi SAW, lalu turunlah ayat ini menjelaskan tentang perbuatannya dan perbuatan sejumlah orang munafiq. Mu‘âdzah ini adalah ibunya Khaulah yang pernah mendebat Nabi SAW tentang persoalan suaminya,” (Al-Qurthûby, Tafsir Al-Qurthuby, sumber: http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/qortobi/sura24-aya33.html).

Dalam hadits yang lain, masih dari sahabat Jâbir yang dinukil oleh Al-Qurthuby dari Kitab Shahih Muslim, ia menjelaskan bahwa kedua perempuan jâriyah itu adalah Musîkah dan Amîmah. Keduanya mengadu kepada Rasûlullah SAW, lalu turun Surat An-Nûr ayat 33 ini (ولاتكرهوا فتياتكم).

Perlu dicatat bahwa hadits di atas, ternyata juga dicatut oleh At-Thabary, At-Baghawy, Ibnu Katsîr, dan As-Sa’di dalam Kitab Tafsir mereka. Al-Baghawy di dalam kitabnya, ketika menafsirkan لتبتغوا عرض الحياة الدنيا, ia menjelaskan:

أي : لتطلبوا من أموال الدنيا ، يريد من كسبهن وبيع أولادهن

Artinya, “Untuk mencari harta dunia dengan menghendaki hasil dari pekerjaan zinanya serta menjual anaknya (yang diperoleh dari hasil zina tersebut),” (Al-Baghawy, Tafsir Al-Baghawy, Sumber: http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/baghawy/sura24-aya33.html#baghawy).

Al-Qurthuby juga menjelaskan hal senada sebagai berikut:

قوله تعالى : لتبتغوا عرض الحياة الدنيا أي الشيء الذي تكسبه الأمة بفرجها والولد يسترق فيباع . وقيل : كان الزاني يفتدي ولده من المزني بها بمائة من الإبل يدفعها إلى سيدها

Artinya, “Firman Allah SWT: لتبتغوا عرض الحياة الدنيا yakni sesuatu yang diperoleh dari hasil pekerjaan amat dengan farjinya, dan anak (hasil zina) yang bisa dijadikan budak untuk maksud dijual. Disampaikan bahwa (di masa itu), laki-laki pezina menebus anak hasil zina dari amat yang diajaknya berzina dengan harta sebesar 100 ekor onta yang diserahkan kepada sayyid perempuan amat tersebut,” (Al-Qurthuby, Tafsir Al-Qurthuby, Sumber: http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/qortobi/sura24-aya33.html#qortobi)

Yang menarik adalah, ketika penggalan ayat di atas didahului oleh إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا. Para mufassir sepakat memaknai bahwa:

إن أردن تحصنا راجع إلى الفتيات ، وذلك أن الفتاة إذا أرادت التحصن فحينئذ يمكن ويتصور أن يكون السيد مكرها ، ويمكن أن ينهى عن الإكراه وإذا كانت الفتاة لا تريد التحصن فلا يتصور أن يقال للسيد لا تكرهها ؛ لأن الإكراه لا يتصور فيها وهي مريدة للزنا . فهذا أمر في سادة وفتيات حالهم هذه . وإلى هذا المعنى أشار ابن العربي فقال : إنما ذكر الله تعالى إرادة التحصن من المرأة لأن ذلك هو الذي يصور الإكراه ؛ فأما إذا كانت هي راغبة في الزنا لم يتصور إكراه ، فحصلوه

Artinya, “Lafal in aradna tahashshunan, (kata ganti ayat ini) adalah kembali kepada fatayât (hamba sahaya) sehingga ayat seolah bermakna ‘bila hamba sahaya tersebut menghendaki dirinya terjaga,’ maka dari sini seolah ayat menggambarkan suatu kondisi: 1) si sayyid suatu ketika benar-benar memaksa hamba sahayanya untuk melakukan zina, dan 2) ada kemungkinan melarangnya berbuat pemaksaan, namun dalam kondisi ketika si hamba sahaya tersebut tidak menghendaki dirinya terjaga (sehingga ia melakukan zina), maka tidak tergambar di sana bahwa si sayid sebagai telah melakukan pemaksaan, karena perempuan sahaya tersebut menghendaki sendiri berlaku zina. Jadi, perintah larangan ini berkaitan dengan relasi sayid dengan hamba sahayanya. Senada dengan makna ini, Ibnul ‘Araby menyampaikan penafsirannya bahwasanya penyebutan yang disampaikan oleh Allah Ta’ala (lewat firman-Nya), yang berkaitan dengan “kehendak menjaga diri dari perempuan hamba sahaya” tersebut adalah dikarenakan ada kasus yang acap menuju ke arah pemaksaan. Adapun bila kondisi perempuan hamba sahaya tersebut terbiasa berzina, maka hal itu tidak bisa disebut sebagai pemaksaan,” (Al-Qurthuby, Tafsir Al-Qurthuby, Sumber: http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/qortobi/sura24-aya33.html#qortobi)

Dari penafsiran terakhir, lafal tahasshunan menggambarkan tiga hal, yaitu:
1)    Ada kalanya perempuan hamba sahaya menjalin relasi pernikahan dengan si sayyid, 

2)    Ada kalanya pula perempuan hamba sahaya tersebut menikah dengan laki-laki hamba sahaya sesamanya, oleh karenanya ia disebut muhshanât, dan 

3)    Ada kalanya perempuan hamba sahaya tersebut dinikahi oleh laki-laki merdeka yang bukan sayyidnya, oleh karenanya ia juga bisa disebut sebagai muhshanât (Surat An-Nisa ayat 25) sebagaimana tercermin dari lafal ۚ فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ (maka nikahilah perempuan sahaya tersebut dengan seizin sayyidnya).

Penafsiran ini rupanya memiliki keeratan hubungan dengan ayat lain Surat An-Nur ayat 32. Allah SWT berfirman::

وأنكحوا الأيامى والصالحين من عبادكم إن أردن تحصنا

Artinya, “Nikahkanlah perempuan-perempuan lajang itu dan hamba-hamba yang saleh dari budak kalian, jika mereka menghendaki terjaga (tahasshunan),” (Surat An-Nûr ayat 32).

Lafal tahasshunan dalam Surat An-Nur ayat 32 di atas, seolah menggambarkan kehendak terjaga akibat pernikahan. Nah, untuk kasus perempuan amat yang berhubungan dengan sayyidnya dan menikah dengan lelaki hamba sahaya yang sederajat dengannya, maka tidak ada kesulitan dalam memahami pola hukumnya, karena hal ini sudah mafhum dalam wilayah fiqih. Jika mereka melahirkan anak, maka si hamba saya tersebut beralih statusnya sebagai ummul walad bila pasangannya merupakan sayyid dari si sahaya tersebut.

Namun, masalah timbul ketika perempuan itu menikah dengan laki-laki merdeka lain, maka dalam hal ini memungkinkan lahir tiga kemungkinan pembacaan kondisi sebagai buah dari pemahaman terbalik (mafhum mukhalafah) apa yang digambarkan oleh Surat An-Nisa ayat 33 di atas, yaitu:

1)    Si perempuan hamba sahaya masih menjadi milik dari tuannya karena pernikahannya tidak dapat membuat statusnya sebagai yang merdeka.

2)    Anak yang diperoleh dari hasil pernikahan adalah masih milik tuan dari perempuan amah. Bila suaminya (yang terdiri dari laki-laki merdeka) menghendaki anak tersebut, maka ia harus menebusnya.

3)    Kondisi relasi antara perempuan amah dan laki-laki merdeka yang lain ini bila tidak melalui jalur akad pernikahan, maka keduanya bisa disebut pelaku zina. Had dari perempuan hamba sahaya yang melakukan zina ini adalah separuh dari perempuan merdeka (sebagaimana tergambar dari Surat An-Nisa ayat 33).

Jika menilik dari kasus pernikahan perempuan amah dan laki-laki merdeka lain yang bukan sayyidnya, nampak ada unsur kerancuan (mubham) antara pelacuran dan pernikahan. Mungkin disebabkan karena hal ini pula, Surat An-Nisâ ayat 33 dinasakh (dihapus hukumnya) oleh keberadaan Surat An-Nûr ayat 32 sehingga hukum terakhir yang berlaku atas pernikahan kedua insan beda status ini adalah sebagaimana tergambar dalam Surat An-Nûr ayat 32 dan 33.

Walhasil, simpulan dari kajian ini adalah:
 
1.    Yang dimaksud sebagai fatayât pada kedua ayat (Surat An-Nisa ayat 25 dan Surat An-Nûr ayat 33 di atas adalah termasuk bagian dari milkul yamîn, jâriyah, dan amah.

2.    Ada dua kondisi perempuan hamba sahaya (fatayât) di atas, yaitu sebagai perempuan tahasshun (terjaga) dan adakalanya pula sebagai pelaku zina.

3.    Untuk perempuan hamba sahaya yang terjaga, ada dua kemungkinan ia bisa memelihara diri dari menjaga farjinya dan dibenarkan oleh syariat, yaitu a) ia hanya berhubungan dengan sayyidnya, dan b) ia bisa menikah dengan lelaki hamba sahaya. Sementara itu untuk pernikahannya dengan laki-laki lain yang merdeka, keberadaannya dinasakh oleh Surat An-Nûr ayat 32. Besar kemungkinan ini adalah bagian dari saddud dzarî'ah (antisipatif) guna menghindari dampak lebih buruk dalam harta dan penjagaan keturunan.

Perlu dicatat bahwa, untuk keberadaan benar tidaknya Surat An-Nur ayat 32 sebagai penasakh Surat An-Nisa’ ayat 25, penulis belum menemukan sumber rujukan. Mungkin dalam hal ini penulis perlu menelaah kitab lain. Semoga Allah SWT menunjukkan kita semua! Wallahu a‘lam bis shawâb.
 
 
Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jawa Timur.