Tafsir

Sya’ban dan Penegasan Umat Moderat

Rab, 24 Maret 2021 | 04:01 WIB

Sya’ban dan Penegasan Umat Moderat

Ilustrasi bulan Sya'ban. (NU Online)

Salah satu peristiwa penting yang terjadi di bulan Sya’ban adalah peralihan arah kiblat umat Islam yang semula menghadap ke arah Baitul Maqdis di Palestina, beralih ke arah Ka’bah di kota Makkah. Peristiwa bersejarah ini juga sekaligus menjadi simbol bahwa umat Islam adalah umat moderat. Bagaimana penjelasannya? Mari kita simak penjelasan dari para mufassir.


Secara historis, menurut Abu Hatim al-Busti peristiwa peralihan arah kiblat terjadi pada hari Selasa di bulan Sya’ban.


وقال أبو حاتم البستي : صلى المسلمون إلى بيت المقدس سبعة عشر شهرا وثلاثة أيام سواء ، وذلك أن قدومه المدينة كان يوم الاثنين لاثنتي عشرة ليلة خلت من شهر ربيع الأول ، وأمره الله عز وجل باستقبال الكعبة يوم الثلاثاء للنصف من شعبان.


“Abu Hatim al-Busti mengatakan, ‘Orang muslim pernah shalat menghadap Baitul Maqdis selama 17 bulan tiga hari. Hal ini berdasarkan perhitungan Rasulullah saw tiba di Madinah pada Senin, tanggal 12 bulan Rabi’ul awwal. Kemudian Allah swt memerintahkan Nabi saw untuk mengganti arah kiblat ke Ka’bah pada hari Selasa pertengahan bulan Sya’ban.” (Tafsir Ibnu Katsir, Vol. 1, hlm. 272).


Lebih rinci lagi, seorang sejarawan Safyurrahman al-Mubarakfuri menjelaskan, peralihan arah kiblat terjadi di bulan Sya’ban tahun 2 H bertepatan dengan tahun 624 M. Peristiwa ini juga sebagai upaya untuk memfilter orang-orang munafik dalam tubuh umat Islam.


و في هذه الأيام- في شعبان سنة 2 هـ الموافق فبراير 624 م، أمر الله تعالى بتحويل القبلة من بيت المقدس إلى المسجد الحرام، وأفاد ذلك أن الضعفاء والمافقين من اليهود الذين كانوا قد دخلوا في صفوف المسلمين، لإثارة البلبلة انكشفوا عن المسلمين ورجعوا إلى ما كانوا عليه، وهكذا تطهرت صفوف المسلمين عن كثير من أهل الغدر والخيانة.


“Pada hari-hari seperti ini, yakni di bulan Sya’ban tahun 2 H bertepatan dengan bulan Februari tahun 624 M, Allah memerintahkan agar arah kiblat dialihkan dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram. Hal ini menginformasikan bahwa kaum lemah (iman) dan orang-orang munafik dari kalangan orang-orang Yahudi yang sudah menyusup ke dalam barisan kaum Muslimin untuk melakukan instabilitas. Penyusupan mereka kini telah terbongkar dan mereka kembali ke golongan mereka semula. Dengan begitu pasukan muslim terbebas dari orang-orang licik dan para penghianat.” (Rahiq al-Maktum, hlm. 181)


Di antara hikmah yang bisa dipetik dari peralihan arah kiblat itu untuk menunjukkan bahwa agama Islam menekankan moderatisme dalam beragama. Salah satu ayat Al-Qur’an yang menyinggung tentang kiblat adalah surat Al-Baqarah [2]: 143. Di sisi lain, ayat ini menyinggung soal umat moderat (ummatan wasathan).


وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ


“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah [2]: 143)


Berangkat dari ayat ini, beberapa mufassir mengatakan bahwa Ka’bah dan moderasi beragama dalam Islam memiliki hubungan yang sangat erat. Secara geografis Ka’bah merupakan simbol moderasi beragama bagi umat Islam. Mengapa demikian?


Menurut An-Naisaburi, kiblat Nabi Musa (agama Yahudi) adalah Barat, dan kiblat Nabi Isa (agama Nasrani) adalah Timur. Sedangkan kiblat Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad (agama Islam) adalah di tengah-tengah antara Barat dan Timur dengan menghadap Ka’bah. Belum lagi Ka’bah merupakan pusat Bumi. Dengan kata lain, kiblat umat Islam ada di tengahnya tengah-tengah.


وأيضاً المغرب قبلة موسى، والمشرق قبلة عيسى، وبينهما قبلة إبراهيم ومحمد، وخير الأمور أوسطها؛ وأيضاً الكعبة سرة الأرض ووسطها، وأمة محمد وسط {وكذلك جعلناكم أمة وسطاً}. والوسط بالوسط أولى.


“Demikian pula, Barat adalah kiblat Nabi Musa, sementara Timur adalah kiblat Nabi Isa. Di antara dua kiblat itu terdapat kiblat Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad. (Kita tahu) Sesuatu paling baik adalah yang paling tengah-tengah. Belum lagi Ka’bah merupakan pusat bumi. Umat Muhammad adalah umat moderat (وكذلك جعلناكم أمة وسطاً). Tengah-tengah yang berada di tengah-tengah itu lebih utama.” (Gharaib al-Quran wa Raghaib al-Furqan, Vol. 2, hlm. 40)

 
Tidak hanya secara geografis posisi arah kiblat saja, tetapi secara ajaran, umat Islam juga merupakan umat moderat. Jika dibandingkan, agama Nasrani telah berlebihan terhadap nabi mereka. Nabi Isa mereka anggap sebagai tuhan. Sementara Yahudi telah membunuh para nabi dan mendistorsi kitab suci mereka.


Berikut menurut An-Naisaburi, masih terkait tafsir ayat di atas.


وقيل: المراد بالوسط ههنا أنهم متوسطون في الدين بين المفرط والمفرّط والغالي والمقصر في شأن الأنبياء لا كالنصارى حيث جعلوا النبي صلّى الله عليه وسلم ابناً وإلهاً، ولا كاليهود حيث قتلوا الأنبياء وبدلوا الكتب


“Dikatakan, yang dimaksud dengan ‘al-wasath’ dalam ayat ini adalah, umat Islam merupakan umat yang moderat dalam beragama. Antara melampaui batas dan bersikap ceroboh dalam persoalan nabi. Tidak seperti agama Nasrani yang menjadikan nabinya sebagai anak tuhan dan tuhan itu sendiri. Juga tidak seperti agama Yahudi yang telah membunuh nabi-nabi mereka dan menditorsi kitab suci.” (Gharaib al-Quran wa Raghaib al-Furqan, Vol. 2, hlm. 42)


Berbeda dengan umat agama Nasrani dan Yahudi. Umat Islam mengimani Nabi mereka sebagai Nabi. Tidak hanya itu, umat Islam juga mengimani seluruh nabi-nabi yang ada.


An-Naisaburi melanjutkan,


والحكمة في ذلك تمييز أمة محمد صلى الله عليه وسلم في الفضل عن سائر الأمم حيث يبادرون إلى تصديق الله تعالى وتصديق جميع الأنبياء والإيمان بهم جميعاً، فهم بالنسبة إلى غيرهم كالعدل بالنسبة إلى الفاسق


“Hikmah hal itu adalah untuk membedakan umat Nabi Muhammad saw dalam karena keunggulan yang dimilikinya dibanding umat-umat lain. Umat Islam telah membenarkan Allah ta’ala (sebagai Tuhan) dan meyakini kenabian (kenabian) semua nabi serta mengimaninya. Oleh karena itu, dibanding dengan umat lain, laksana perbandingan orang fasiq dengan orang adil.” (Gharaib al-Quran wa Raghaib al-Furqan, Vol. 2, hlm. 42)


Muhammad Abror, Mahasantri Ma’had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta, alumnus Pesantren KHAS Kempek Cirebon