Hikmah

Ibrahim at-Taimi dan Teladan Meluangkan Waktu Mencocokkan Ucapan dan Perbuatan

Rab, 10 Maret 2021 | 00:30 WIB

Ibrahim at-Taimi dan Teladan Meluangkan Waktu Mencocokkan Ucapan dan Perbuatan

Imam Ibrahim at-Taimi (w. 92/95 H) adalah ahli fiqih dan hadits dari kalangan tabi’in. (Ilustrasi: Pinterest)

Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal mencatat sebuah riwayat tentang Imam Ibrahim at-Taimi yang selalu meluangkan waktu untuk mencocokkan perkataan dan perbuatannya. Berikut riwayatnya:

 

حدثنا عبد الله حدثنا من سمع عبد الرحمن بن مهدي عن سفيان عن أبي حيان التيمي عن إبراهيم التيمي قال: ما عرضت عملي علي قولي إلا خشيت أن أكون مكذبًا

 

Abdullah bercerita kepada kami, seseorang yang mendengar Abdurrahman bin Mahdi bercerita kepada kami, dari Sufyan, dari Abu Hayyan at-Taimi, dari Ibrahim at-Taimi, ia berkata:

 

“Tidaklah aku memeriksa (atau mencocokkan) amalku dengan ucapanku melainkan (karena) aku takut menjadi pendusta.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 434)

 

****

 

Melakukan investigasi “diri” seharusnya menjadi wacana dan kegiatan harian manusia. Jika belum mampu, mingguan atau bulanan pun tak mengapa. Asalkan masih meluangkan waktu. Ini penting karena manusia adalah makhluk yang tidak statis, terlalu sering terombang-ambing di antara kebaikan dan keburukan. Bahayanya, jika keburukan telah menjadi rutinitas, kebaikan akan tertekan. Koreksi diri menjadi jauh dari memungkinkan.

 

Imam Ibrahim at-Taimi (w. 92/95 H) selalu melakukan koreksi diri. Meluangkan waktu untuk menelaah ucapan dan amalnya. Ia melakukan studi komparatif atas keduanya. Membandingkannya, ‘apakah ada ketimpangan dan ketidakseimbangan di antara keduanya.’ Ia juga melakukan investigasi (pemeriksaan) terhadap keduanya untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh. Setelah itu, ia melakukan adjustment (penyetelan dan penyesuaian) di antara keduanya. Semuanya berasal dari ketakutannya menjadi pendusta.

 

Bagi Imam Ibrahim at-Taimi, ahli fiqih dan hadits dari kalangan tabi’in, ketidaksesuaian antara ucapan (baik) dan amal adalah dusta. Jika dibiarkan akan menjadi kebiasaan. Karena itu, ia mencegahnya dengan melakukan komparasi, investigasi, dan adjutsment. Ia tidak berhenti hanya di titik komparasi dan investigasi saja, tapi melanjutkannya hingga proses adjustment (penyesuaian).

 

Gambaran sederhananya begini. Setelah melakukan komparasi dan investigasi, ternyata banyak ditemukan ketidaksesuaian antara ucapan dan amalnya. Misalnya, ia pernah mengatakan bahwa menghina orang lain adalah perbuatan hina. Setelah dilakukan uji komparasi dan investigasi, ia tidak menemukan kesesuaian. Karena itu ia melakukan adjusment atau perbaikan, agar ketimpangan antara ucapan dan amalnya semakin mengecil.

 

Jika seseorang melakukan hal ini setiap hari, ia akan banyak terselamatkan dari dusta dan kebohongan. Tentu tidak mudah, terutama dalam proses perbaikannya. Tapi paling tidak, andai pun kita tidak bisa melakukan perbaikan secara langsung, kita bisa belajar dari hasil investigasi yang telah kita lakukan.

 

Hal penting lainnya adalah, ketidaksesuaian antara ucapan dan amal sangat dekat dengan kemunafikan. Contohnya ketika seseorang mengumbar janji dengan mempesona, menceritakan kesalehannya dengan kemahiran luar biasa, dan mengucapkan kebaikannya dengan tanpa cela, tapi kenyataannya, dia tidak benar-benar seperti itu. Bahasa sekarangnya, “omdo” (omong doang). Hal ini terdapat dalam riwayat lain tentang ucapan Ibrahim at-Taimi, yang dilanjutkan oleh perkataan dari Ibnu Abu Mulaikah dan al-Hasan.

 

وَقَالَ إِبۡرَاهِيمُ التَّيۡمِيُّ: مَا عَرَضۡتُ قَوۡلِي عَلَى عَمَلِي إِلَّا خَشِيتُ أَنۡ أَكُونَ مُكَذِّبًا، قَالَ ابۡنُ أَبِي مُلَيۡكَةَ: أَدۡرَكۡتُ ثَلَاثِينَ مِنۡ أَصۡحَابِ النَّبِيِّ صلي الله عليه وسلم كُلُّهُمۡ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفۡسِهِ، مَا مِنۡهُمۡ أَحَدٌ يَقُولُ: إِنَّهُ عَلَى إِيمَانِ جِبۡرِيلَ وَمِيكَائِيلَ. وَيُذۡكَرُ عَنِ الۡحَسَنِ: مَا خَافَهُ إِلَّا مُؤۡمِنٌ، وَلَا أَمِنَهُ إِلَّا مُنَافِقٌ

 

“Ibrahim at-Taimi berkata: “Tidaklah aku memeriksa (atau mencocokkan) ucapanku dengan amalku melainkan (karena) aku takut menjadi pendusta.”

 

“Ibnu Abu Mulaikah berkata: “Aku menjumpai tiga puluh sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, semua dari mereka takut ada kemunafikan di dalam diri mereka. Tidak seorang pun dari mereka yang mengatakan bahwa (diri)nya beriman (seperti) imannya Jibril dan Mikail.”

 

Disebutkan dari al-Hasan, (ia berkata): “Tidaklah orang yang takut (ada) kemunafikan (dalam diri)nya kecuali ia seorang mukmin, dan tdaklah orang yang merasa aman (dari)nya kecuali ia seorang munafik.” (Imam Zainuddin Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Hanbali, Syarh Shahîh al-Bukhârî al-Musamma Fath al-Bârî, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006, juz 1, h. 115)

 

Dalam riwayat di atas, kata “ucapanku” berada di depan, berbeda dengan riwayat sebelumnya, kata “amalku” yang berada di depan. Hal ini dapat dipahami sebagai investigasi atau pemeriksaan dua arah. Bisa jadi dilakukan secara bertahap agar hasilnya lebih maksimal, yaitu memulainya dari “ucapanku”, kemudian dilanjutkan dengan “amalku”, atau sebaliknya. Sebab, seteliti apapun seseorang, pasti selalu ada yang terlewatkan. Karenanya investigasi dua arah (Jawa, wolak-walik) menjadi penting untuk dilakukan.

 

Dengan kata lain, pengakuan “baik” atau “kebaikan” yang terucap, jika tidak mewujud dalam perbuatan, sangat dekat dengan kemunafikan. Para sahabat Nabi, sebagai generasi terbaik umat Islam, tidak pernah mengunggulkan keimanan mereka. Mereka selalu takut dan khawatir ada kemunafikan dalam diri mereka. Riwayat ini oleh Imam al-Bukhari dimasukkan dalam bâb khaufil mu’min min an yahbatha ‘amaluhu wa huwa lâ yasy’ur (bab kekhawatiran/ketakutan seorang mukmin apabila amalnya terhapus dan dia tidak menyadarinya). (Imam Zainuddin Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Hanbali, Syarh Shahîh al-Bukhârî al-Musamma Fath al-Bârî, 2006, juz 1, h. 115)

 

Oleh karena itu, kita perlu meluangkan waktu untuk melakukan uji kesesuaian, kemudian melakukan perbaikan pada ketidaksesuaian yang kita temukan. Memang tidak mudah. Namun, hal itu tetap perlu kita lakukan, dengan harapan semakin sering kita melakukannya, semakin mengecil gap (ketimpangan) antara ucapan dan amal kita. Tentu harus selalu dibarengi dengan doa, memohon petunjuk dan pertolongan Allah yang Mahakuasa.

 

Pertanyaannya, maukah kita melakukannya?

 

Wallahu a’lam bish-shawwab.....

 

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen