Tafsir

Tafsir Surat Al-Ahzab ayat 58: Perbuatan Menyakiti Orang Lain Sangat Dilarang dalam Islam

NU Online  ·  Jumat, 25 April 2025 | 06:00 WIB

Tafsir Surat Al-Ahzab ayat 58: Perbuatan Menyakiti Orang Lain Sangat Dilarang dalam Islam

Ilustrasi eksploitasi. Sumber: Canva/NU Online.

Beberapa waktu lalu, media sosial di Indonesia dihebohkan dengan kesaksian sejumlah mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) yang mengaku mengalami eksploitasi dan kekerasan selama bekerja. Beberapa korban, yang sebagian besar adalah perempuan, mengungkapkan perlakuan tidak manusiawi seperti pemukulan dengan rotan, penyetruman, pemaksaan makan kotoran gajah, hingga pemasungan selama dua minggu. Kesaksian ini disampaikan dalam pertemuan dengan Kementerian Hukum dan HAM pada 16 April 2025.


Sebelumnya, Indonesia baru-baru ini digegerkan oleh kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan seorang dokter kandungan berinisial MSF di Garut, Jawa Barat. Kasus ini memicu kegemparan di kalangan masyarakat. Menurut laporan, MSF diduga melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap pasien-pasien yang datang untuk mendapatkan layanan medis di klinik tempat ia bekerja--sebagai seorang dokter kandungan.


Tak berselang lama, bangsa ini dihebohkan kembali, dengan adanya kasus kekerasan lain yang menimpa seorang perempuan. Pada Kamis, 17 April 2025, warga Kelurahan Ciamis, Kabupaten Ciamis, digegerkan dengan penemuan mayat wanita di sebuah indekos. Tubuh korban ditemukan dalam kondisi mengenaskan, dengan tanda-tanda seperti tubuh yang membengkak dan terlilit lakban, yang mengarah pada dugaan bahwa ia dibunuh.


Berdasarkan laporan, tubuh korban sudah mulai membengkak dan tercium bau tak sedap saat ditemukan, yang menunjukkan bahwa ia sudah meninggal beberapa hari sebelumnya. Hal ini membuat dugaan bahwa kematian korban disebabkan oleh kekerasan, bukan karena sebab alami.


Rentetan peristiwa yang terjadi, meskipun berbeda dalam bentuk dan konteksnya, memiliki satu persamaan yang sangat mencolok: menyakiti orang lain tanpa hak. Tindakan ini, tak peduli dalam bentuk apapun, adalah sebuah kejahatan besar yang mencederai kemanusiaan itu sendiri. Dalam pandangan Islam, menyakiti orang lain tanpa alasan yang sah adalah perbuatan yang tergolong dzalim.
 

Allah berfirman dalam Surat Al-Ahzab, ayat 58:


وَالَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوْا فَقَدِ احْتَمَلُوْا بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًاࣖ ۝٥٨


walladzîna yu'dzûnal-mu'minîna wal-mu'minâti bighairi maktasabû faqadiḫtamalû buhtânaw wa itsmam mubînâ


Artinya, "Orang-orang yang menyakiti mukminin dan mukminat, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, sungguh, mereka telah menanggung kebohongan dan dosa yang nyata."


Sejatinya, ayat ini menggambarkan betapa besar dosa orang yang menyakiti sesama, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Allah sendiri melarang segala bentuk penganiayaan terhadap sesama, karena setiap tindakan yang merugikan orang lain adalah tindakan yang merusak tatanan sosial yang harusnya dilandasi dengan kasih sayang dan saling menghormati.


Menurut Imam Syaukani dalam kitab Fathul Qadir, Allah menegaskan bahwa siapa saja yang menyakiti orang-orang beriman, baik lewat ucapan maupun perbuatan, padahal mereka tidak melakukan kesalahan apa pun, maka perbuatan itu sangat tercela. Menyakiti ini bisa berupa ucapan seperti celaan dan fitnah, maupun tindakan fisik seperti pemukulan, penyiksaan, hingga pembunuhan.   


Maksud dari “tanpa alasan yang mereka lakukan” adalah bahwa orang-orang beriman tersebut tidak melakukan tindakan apa pun yang bisa dijadikan alasan untuk disakiti. Jadi, menyakiti mereka tanpa sebab adalah perbuatan zalim dan tidak dibenarkan dalam agama. Namun, jika seseorang memang melakukan kesalahan yang pantas untuk dihukum, seperti melanggar hukum syariat yang mengharuskan diberlakukannya sanksi had atau ta'zir, maka memberikan hukuman tersebut tidak tergolong sebagai perbuatan menyakiti yang terlarang.


Di masa kini, konteks penegakan hukum juga terus berkembang. Misalnya, seseorang yang melakukan tindak pidana seperti mencuri, merampok, atau terlibat dalam praktik korupsi, wajar jika kemudian dijatuhi hukuman seperti penjara atau denda. Tindakan ini bukanlah bentuk kezaliman, melainkan bagian dari sistem keadilan modern yang bertujuan untuk memberi efek jera, menjaga ketertiban sosial, serta melindungi masyarakat dari dampak buruk kejahatan. Hukuman tersebut menjadi konsekuensi atas perbuatan yang jelas-jelas melanggar hukum, baik hukum negara maupun hukum agama.


Kendati demikian, tidak semua orang dapat sembarangan memutuskan apakah seseorang bersalah dan layak dihukum. Ada prosedur dan ketentuan yang jelas serta ketat dalam membuktikan kesalahan dan memberikan hukuman kepada orang lain. Menentukan kesalahan dan memberikan hukuman bukanlah hak sembarang individu, tetapi merupakan kewenangan para pemimpin atau pihak yang berwenang; dalam hal ini penegak hukum [polisi, hakim, dan pengadilan] sesuai dengan aturan yang berlaku. 


Hal ini tercermin dalam firman Allah dalam Surah An-Nisa, ayat 16:


وَالَّذٰنِ يَأْتِيٰنِهَا مِنْكُمْ فَاٰذُوْهُمَاۚ فَاِنْ تَابَا وَاَصْلَحَا فَاَعْرِضُوْا عَنْهُمَاۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ تَوَّابًا رَّحِيْمًا ۝١٦


Artinya, "(Jika ada) dua orang di antara kamu yang melakukannya (perbuatan keji), berilah hukuman kepada keduanya. Jika keduanya bertobat dan memperbaiki diri, biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nisa: 16)


Lebih lanjut, Allah menutup ayat ini dengan peringatan tegas: orang-orang yang menyakiti kaum mukminin dan mukminat tanpa alasan yang benar, berarti mereka telah memikul kebohongan besar (buhtan) dan dosa yang nyata. Artinya, perbuatan mereka bukan hanya salah, tapi juga merupakan tuduhan palsu yang sangat berat dan dosa yang jelas-jelas haram dalam pandangan Allah. Ini menjadi peringatan agar kita berhati-hati dalam memperlakukan sesama muslim, dan tidak menyakiti mereka tanpa alasan yang dibenarkan.


Simak penjelasan Imam Syaukani berikut; 


فَقَالَ: وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِناتِ بِوَجْهٍ مِنْ وُجُوهِ الْأَذَى مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ، وَمَعْنَى بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لِسَبَبٍ فَعَلُوهُ يُوجِبُ عَلَيْهِمُ الْأَذِيَّةَ، وَيَسْتَحِقُّونَهَا بِهِ، فَأَمَّا الْأَذِيَّةُ لِلْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ بِمَا كَسَبَهُ مِمَّا يُوجِبُ عَلَيْهِ حَدًّا أَوْ تَعْزِيرًا أَوْ نَحْوَهُمَا، فَذَلِكَ حَقٌّ أَثْبَتَهُ الشَّرْعُ وَأَمْرٌ أَمَرَنَا اللَّهُ بِهِ وَنَدَبَنَا إِلَيْهِ، وَهَكَذَا إِذَا وَقَعَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الِابْتِدَاءُ بِشَتْمِ لمؤمن أو مؤمنة أو ضرب، فَإِنَّ الْقَصَاصَ مِنَ الْفَاعِلِ لَيْسَ مِنَ الْأَذِيَّةِ الْمُحَرَّمَةِ عَلَى أَيِّ وَجْهٍ كَانَ مَا لَمْ يُجَاوِزْ مَا شَرَعَهُ اللَّهُ


Artinya; "Firman Allah: 'Orang-orang yang menyakiti kaum mukminin dan mukminat dengan bentuk apapun dari bentuk-bentuk gangguan, baik berupa ucapan maupun perbuatan, dengan makna tanpa sebab yang mereka perbuat, yaitu bahwa gangguan tersebut tidak disebabkan oleh suatu perbuatan dari mereka yang mewajibkan mereka untuk disakiti atau yang membuat mereka pantas untuk disakiti, maka gangguan tersebut adalah terlarang. Adapun menyakiti seorang mukmin atau mukminah karena perbuatan yang mereka lakukan, yang membuat mereka pantas untuk menerima hukuman had, ta'zir, atau semacamnya, maka itu adalah hal yang benar yang telah ditetapkan oleh syariat dan merupakan perkara yang diperintahkan oleh Allah serta dianjurkan kepada kita. 


Demikian pula, jika gangguan (ucapan atau perbuatan) pertama kali datang dari seorang mukmin atau mukminah, seperti mencaci atau memukul orang lain, maka pembalasan (qishash) terhadap pelakunya bukanlah termasuk dalam kategori gangguan yang diharamkan dengan cara apapun, selama tidak melebihi batas yang telah ditetapkan oleh Allah,"(Imam Syaukani, Fathul Qadir, [Beirut: Darul Kalam at Thaib, 1414 H], Jilid IV, hlm. 348).


Penjelasan serupa juga dikatakan oleh Imam Al-Alusi dalam kitab Ruhul Ma'ani bahwa yang dimaksud dengan menyakiti di sini adalah perbuatan atau ucapan yang dapat membuat orang-orang beriman merasa tersakiti tanpa alasan yang sah menurut syariat.


Lebih lanjut, penyebutan ayat “tanpa kesalahan yang mereka perbuat” menunjukkan bahwa menyakiti orang-orang mukmin terkadang bisa terjadi dengan alasan yang sah (misalnya dalam bentuk hukuman), namun ada juga yang tidak berdasar sama sekali. Dalam hal ini, menyakiti yang tidak sah tentu saja termasuk dalam tindakan yang tercela.


Pada bagian berikutnya, Imam Al-Alusi juga menjelaskan bahwa dalam ayat ini, kata "buhtānan" yang berarti kebohongan besar, bisa merujuk pada perbuatan yang sangat buruk, atau bahkan ucapan yang begitu mengganggu sehingga membuat orang yang dituduh terkejut dan terdiam. Ini mengindikasikan bahwa kebohongan atau tuduhan tanpa dasar adalah salah satu bentuk gangguan yang sangat tercela.


Akhirnya, kata "dosa yang nyata" dalam ayat ini merujuk pada dosa yang jelas dan terang, yang tidak diragukan lagi keharamannya. Ini memperkuat pemahaman bahwa menyakiti orang lain tanpa alasan yang sah adalah perbuatan yang harus dijauhi, dan bagi mereka yang melakukannya, akan ada akibat yang berat di sisi Allah.


وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِناتِ يفعلون بهم ما يتأذون به من قول أو فعل، وتقييده بقوله تعالى: بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا أي بغير جنايه يستحقون بها الأذية شرعا بعد إطلاقه فيما قبله للإيذان بأن أذى الله تعالى ورسوله صلّى الله عليه وسلم لا يكون إلا في غير حق وأما أذى هؤلاء فمنه ومنه.

 فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتاناً أي فعلا شنيعا وقيل ما هو كالبهتان أي الكذب الذي يبهت الشخص لفظاعته في الإثم، وقيل احتمل بهتانا أي كذبا فظيعا إذا كان الإيذاء بالقول وَإِثْماً مُبِيناً أي ظاهرا بينا خبره، ودخلت الفاء لتضمن الموصول معنى الشرط، والآية قيل نزلت في منافقين كانوا يؤذون عليا كرّم الله تعالى وجهه ويسمعونه ما لا خير فيه.


Artinya, "Dan orang-orang yang menyakiti kaum mukminin dan mukminat," yakni mereka yang melakukan sesuatu terhadap kaum mukmin dan mukminat yang membuat mereka merasa tersakiti, baik melalui ucapan maupun perbuatan.


"tanpa kesalahan yang mereka perbuat," maksudnya, tanpa adanya dosa atau pelanggaran dari pihak orang mukmin yang secara syar’i membuat mereka layak untuk disakiti. Penyebutan syarat ini setelah sebelumnya disebutkan secara umum, menunjukkan bahwa menyakiti Allah dan Rasul-Nya tidak akan pernah terjadi kecuali dalam keadaan yang tidak benar. Adapun menyakiti orang mukmin, ada yang benar (dibenarkan secara syar’i) dan ada yang tidak.


"maka sungguh mereka telah memikul kebohongan besar" artinya mereka telah melakukan perbuatan yang sangat buruk. Ada juga yang mengatakan bahwa maksudnya adalah sesuatu yang seperti buhtan (kebohongan besar), yaitu kebohongan yang membuat orang terperanjat karena sangat kejamnya dosa tersebut. Ada juga yang menafsirkan bahwa maksud dari “memikul buhtan” adalah memikul kebohongan yang luar biasa keji, terutama jika bentuk gangguannya berupa ucapan.


"dan dosa yang nyata," yakni dosa yang jelas dan terang. Huruf fa di sini digunakan karena kata sambung "yang" (الذين) mengandung makna syarat. Disebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan kaum munafik yang menyakiti Sayyidina Ali – semoga Allah memuliakan wajahnya – dan memperdengarkannya hal-hal yang tidak baik. (Shihabuddin Al Alusi, Ruhul Ma'ani, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1994 M] Jilid XI, hlm. 263).


Sementara itu, Ibnu Asyur, dalam kitab Tafsir at-Tahrir wat Tanwir menjelaskan bahwa dalam Surah Al-Ahzab ayat 58, Allah menyebut secara tegas antara laki-laki mukmin dan perempuan mukmin. Penegasan larangan menyakiti kaum laki-laki dan perempuan menunjukkan bahwa hukum berlaku setara bagi keduanya.

 

Meskipun kesetaraan ini sudah dikenal dalam syariat Islam, penyebutan eksplisit ini bertujuan untuk menekankan perlindungan terhadap perempuan mukmin. Hal ini karena perempuan cenderung lebih rentan dibandingkan laki-laki, yang biasanya bisa membela diri atau menimbulkan rasa takut karena kemungkinan adanya kemarahan atau pembalasan.


Kata "nyata" dalam ayat tersebut dimaknai sebagai kejahatan yang besar dan berat. Ini menunjukkan bahwa menyakiti orang-orang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan, merupakan perbuatan yang sangat tercela. Allah memberi ancaman akan adanya hukuman bagi pelaku tindakan tersebut, karena menyakiti sesama mukmin tanpa alasan yang benar termasuk kejahatan besar dalam pandangan Islam.


وَعَطْفُ الْمُؤْمِناتِ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ لِلتَّصْرِيحِ بِمُسَاوَاةِ الْحُكْمِ وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ مَعْلُومًا مِنَ الشَّرِيعَةِ، لِوَزْعِ الْمُؤْذِينَ عَنْ أَذَى الْمُؤْمِنَاتِ لِأَنَّهُنَّ جَانِبٌ ضَعِيفٌ بِخِلَافِ الرِّجَالِ فَقَدْ يَزَعُهُمْ عَنْهُمُ اتِّقَاءُ غَضَبِهِمْ وَثَأْرِهِمْ لِأَنْفُسِهِمْ


Artinya, "Penyebutan secara eksplisit antara laki-laki mukmin dan perempuan mukmin bertujuan untuk menegaskan bahwa hukumnya berlaku setara, meskipun hal ini sebenarnya telah diketahui dalam syariat. Penegasan ini ditujukan untuk mencegah orang-orang yang suka menyakiti dari menyakiti kaum perempuan mukmin, karena mereka merupakan pihak yang lebih lemah dibanding laki-laki. Sebab, laki-laki mungkin bisa membuat orang lain takut akibat kemarahan dan pembalasan mereka, berbeda halnya dengan perempuan," (Ibnu Asyur, Tahrir wat Tanwir, [Tunisia: Darut Tunisiyah lin Nasyar, 1984 M], Jilid XXII, hlm. 105)


Dengan demikian, tindakan menyakiti tanpa alasan yang jelas adalah sebuah cerminan dari hilangnya rasa empati dan keadilan dalam diri manusia. Oleh karena itu, dalam setiap aspek kehidupan, umat Islam diajak untuk selalu berpikir sebelum bertindak, memastikan bahwa setiap tindakan yang diambil adalah tindakan yang membawa kebaikan, bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain. Sebab, pada akhirnya, kebahagiaan sejati terletak pada bagaimana kita memperlakukan orang lain dengan penuh kasih dan hormat.


Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Keislaman, tinggal di Parung.