Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 144: Ketentuan Menghadap Kiblat saat Shalat 

Ahad, 20 Oktober 2024 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 144: Ketentuan Menghadap Kiblat saat Shalat 

Ilustrasi shalat. (Foto: NU Online)

Pada Surat Al-Baqarah ayat 143, Allah Swt mengajarkan kepada Nabi Muhammad Saw dan kaum muslimin untuk menyiapkan mental dalam menghadapi aneka gangguan dan gejolak pikiran menyangkut peralihan kiblat. Setelah semuanya siap, baru kemudian turun wahyu dalam Surat Al-Baqarah ayat 144.

 

Berikut adalah teks, transliterasi, terjemah dan kutipan beberapa tafsir ulama terhadap Surat Al-Baqarah ayat 144:

 

قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَاۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ 

 

qad narâ taqalluba waj-hika fis-samâ', fa lanuwalliyannaka qiblatan tardlâhâ fa walli waj-haka syathral-masjidil-ḫarâm, wa ḫaitsu mâ kuntum fa wallû wujûhakum syathrah, wa innalladzîna ûtul-kitâba laya‘lamûna annahul-ḫaqqu mir rabbihim, wa mallâhu bighâfilin ‘ammâ ya‘malûn

 

Artinya: “Sungguh, Kami melihat wajahmu (Nabi Muhammad) sering menengadah ke langit. Maka, pasti akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau sukai. Lalu, hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Di mana pun kamu sekalian berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Sesungguhnya orang-orang yang diberi kitab benar-benar mengetahui bahwa (pemindahan kiblat ke Masjidilharam) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 144)

 

Munasabah

Menurut Syekh Wahbah Az-Zuhaili, munasabah atau korelasi antara surat Al-Baqarah ayat 144 dan ayat-ayat sebelum maupun sesudahnya terletak pada peristiwa pengalihan kiblat yang menjadi isu di kalangan Yahudi Madinah. Setelah mengungkapkan reaksi kaum Yahudi, Allah kemudian menjelaskan dalam ayat-ayat ini bahwa sikap penolakan Ahli Kitab tersebut bukanlah karena adanya keraguan atau syubhat, melainkan lebih disebabkan oleh sikap membangkang dan kesombongan mereka.

 

Hal ini, menurut Syekh Wahbah, mengandung hiburan bagi Nabi Muhammad Saw agar tidak bersedih dalam menghadapi keingkaran Ahli Kitab yang beliau harapkan untuk masuk Islam. (Syekh Wahbah Az-Zuhaili..., hal. 21)

 

Sababun Nuzul

Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya memaparkan riwayat Abu Ishak dari dari Al-Barra’ mengenai sebab diturunkannya ayat 144 ini. Berikut adalah paparan riwayatnya:

 

وَرَوَى أَبُو إِسْحَاقَ عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ صَلَّى نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُحِبُّ أَنْ يُوَجَّهَ نَحْوَ الْكَعْبَةِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى:  قَدْ نَرى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّماءِ

 

Artinya: “Abu Ishak meriwayatkan dari Al-Barra’, dia berkata, ‘Rasulullah saw shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan. Saat itu, beliau ingin shalat dengan menghadap ke arah Ka’bah. Maka, Allah menurunkan (ayat), qad narâ taqalluba waj-hika fis-samâ' (Sungguh, Kami melihat wajahmu [Nabi Muhammad] sering menengadah ke langit)” (Imam Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, [Kairo: Darul Kutub Al-Mishriyyah, 1964], jilid. II, hal. 158)

 

Tafsir Quthubi

Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya mengatakan, para ulama berpendapat bahwa ayat 144 ini lebih dulu diturunkan dari ayat sebelumnya, tepatnya pada firman Allah surat al-Baqarah ayat 142:

 

سَيَقُوْلُ السُّفَهَاۤءُ مِنَ النَّاسِ

 

Artinya, “Orang-orang yang kurang akal di antara manusia akan berkata,” (QS. Al-Baqarah: 144)

 

Menurut Imam Qurthubi, maksud dari frasa: fa walli waj-haka syathral-masjidil-ḫarâm adalah perintah untuk memalingkan muka ke arah ‘sekitar’ Masjidil Haram, yakni Ka’bah. Tidak ada silang pendapat dalam hal ini. Namun, menurut satu pendapat, maksudnya adalah ke hadapan Ka’bah secara keseluruhan. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Sedangkan Ibnu Umar berpendapat bahwa yang dimaksud adalah menghadap ke hadapan mizab (pancuran emas) yang ada di Ka’bah.

 

Mengenai perbedaan pendapat tersebut, Imam Qurthubi memberikan kesimpulan seraya mengutip Ibnu Juraij, ia meriwayatkan dari Atha’ dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw bersabda:

 

الْبَيْتُ قِبْلَةٌ لِأَهْلِ الْمَسْجِدِ وَالْمَسْجِدُ قِبْلَةٌ لِأَهْلِ الْحَرَمِ وَالْحَرَمُ قِبْلَةٌ لِأَهْلِ الْأَرْضِ فِي مَشَارِقِهَا وَمَغَارِبِهَا مِنْ أُمَّتِي

 

Artinya: “Ka’bah adalah kiblat bagi penghuni Masjidil Haram, adapun Masjidil Haram adalah kiblat bagi penduduk tanah Haram, sedangkan tanah Haram adalah kiblat bagi penduduk bumi, baik yang ada di Timur maupun Barat dari umatku.

 

Lebih detail, Imam Qurthubi juga berkata bahwa maksud frasa: 'syathra' dalam ayat ini memiliki beberapa pengertian, yaitu an-nahiyah (sekitar) dan al-jihah (arah). Frasa ini berbentuk dharaf makan (keterangan tempat), sebagaimana ungkapan, 'tilqa'hu' (di hadapannya) dan ungkapan, 'jihatahu' (ke arahnya). Dharaf sendiri harus dibaca nashab sebab menjadi uraian seperti maf’ul bih. (Imam Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi..., hal. 158-159)

 

Ketentuan Menghadap Kiblat

Imam Qurthubi menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai Ka'bah sebagai kiblat bagi seluruh umat Muslim di penjuru dunia. Para ulama sepakat bahwa orang yang dapat melihat dan mengetahui arah Ka'bah dengan pasti harus menghadap langsung kepadanya. Jika ia shalat tidak menghadap Ka'bah meskipun mengetahui arahnya, maka shalatnya dianggap tidak sah dan wajib diulangi. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Abu Umar.

 

Lebih lanjut, Imam Qurthubi juga menyebutkan kesepakatan ulama bahwa bagi mereka yang tidak bisa melihat Ka'bah secara langsung, wajib menghadap ke arah yang diperkirakan menuju Ka'bah. Jika arah tersebut tidak diketahui, ia harus mencari petunjuk melalui berbagai sarana, seperti bintang, angin, atau tanda-tanda alam lainnya, yang dapat membantu menentukan arah kiblat.

 

Barangsiapa yang duduk di Masjidil Haram, jelas Imam Qurthubi, maka hendaklah wajahnya menghadap ke Ka'bah dan hendaklah dia melihatnya dengan penuh keimanan dan keikhlasan. Sebab, ada riwayat yang mengatakan bahwa melihat Ka'bah adalah ibadah. (Imam Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi..., hal. 160)

 

Imam Qurthubi menjelaskan bahwa para ulama memiliki perbedaan pendapat terkait apakah seseorang yang berada jauh dari Ka'bah harus menghadap langsung ke bangunan Ka'bah atau cukup menghadap ke arahnya saja. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang diwajibkan adalah menghadap langsung ke bangunan Ka'bah. Namun, Ibnu 'Arabi dalam kitab Ahkamul Qur'an menyebut pendapat ini sebagai pendapat yang lemah (dha'if). Menurutnya, jika diwajibkan untuk menghadap langsung ke bangunan Ka'bah, hal itu merupakan kewajiban yang tidak mungkin dapat dilakukan secara praktis oleh orang yang jauh.

 

Sebaliknya, sebagian ulama berpendapat bahwa yang diwajibkan adalah menghadap ke arah Ka'bah saja. Imam Qurthubi menyatakan bahwa pendapat ini adalah yang benar, berdasarkan tiga alasan, sebagai berikut:

 

1. Menghadap ke arah kiblat adalah suatu hal yang mungkin untuk dilakukan. Sebagaimana diketahui, taklif selalu dikaitkan dengan batas yang memungkinkan bagi mukalaf.

 

2. Menghadap arah Ka’bah merupakan hal yang diperintahkan dalam al-Qur’an, berdasarkan firman Allah swt,

 

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ وَحَيْثُ ما كُنْتُمْ

 

Artinya: “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada.”, yakni dari seluruh penjuru bumi, baik di Timur maupun Barat," maka, 

 

فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

 

Artinya: “Palingkanlah mukamu ke arahnya.

 

3. Para ulama berargumen dengan shaf yang panjang, yang diketahui secara pasti bahwa panjangnya berkali lipat dari lebar Ka'bah. (Imam Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi..., hal. 160)

 

Selain itu, Imam Qurthubi juga mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai tatapan orang yang sedang shalat, apakah menghadap ke arah depan atau ke tempat sujudnya? Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengannya berpendapat, ketentuan yang diharuskan bagi orang yang shalat adalah menatap ke arah depan, bukan ke tempat sujudnya.

 

Sementara itu, Imam Ats-Tsauri, Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syaf i, dan al-Hasan bin Hay berpendapat bahwa disunnahkan bagi orang yang shalat untuk memusatkan pandangannya ke tempat sujudnya.

 

Adapun Syarik Al-Qadhi berpendapat bahwa orang yang shalat harus melihat tempat sujudnya ketika berdiri, tempat kedua telapak kakinya ketika ruku’, tempat hidungnya ketika sujud, dan tempatnya ketika duduk.

 

Ibnu Al Arabi berpendapat bahwa orang shalat diwajibkan menatap ke hadapannya. Alasannya, jika seseorang menundukkan kepalanya, maka sebagian dari kewajiban terkait posisi kepala, yakni harus tegak, akan hilang. Kepala, sebagai bagian tubuh yang paling mulia, seharusnya dipertahankan dalam posisi tegak. Jika seseorang mencoba menegakkan kepala sambil tetap memaksakan pandangannya ke tanah, hal itu dapat menyebabkan kesulitan besar, padahal Allah tidak menghendaki kesulitan dalam beragama. Meskipun begitu, mengarahkan pandangan ke tanah tetap menjadi tindakan yang lebih baik (afdhal) bagi mereka yang mampu melakukannya. (Imam Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi..., hal. 160)

 

At-Tafsirul Munir

​​​​​​​Syekh Wahbah Zuhaili dalam Tafsirul Munir-nya mengatakan bahwa disebutkannya Masjidil Haram dan bukannya Ka'bah, padahal Ka'bah-lah yang menjadi kiblat sebagaimana dinyatakan dalam hadits-hadits, menjadi isyarat bahwa orang yang jauh, yang tidak dapat melihat Ka'bah secara langsung, cukup menghadap ke arah yang sejajar dengan arah kiblat pada saat ia menunaikan shalat.

 

Hal tersebut, masih menurut Syekh Wahbah, diperkuat dengan perintah ilahi kepada kaum mukminin secara umum, yaitu firman-Nya,

 

وَحَيْثُ ما كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

 

Artinya: “Di mana saja kamu berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 150)

 

Maksudnya, di tempat mana pun kalian berada menghadaplah ke arahnya dengan wajah kalian dalam shalat. Hal ini, papar Syekh Wahbah, menyatakan secara eksplisit bahwa perintah "Palingkanlah mukamu" (yang ditujukan kepada baginda Nabi saw. secara khusus) adalah bersifat umum (meliputi umatnya juga), di samping juga menunjukkan bahwa orang yang mengerjakan shalat di berbagai penjuru bumi menghadap ke arah kiblat, baik secara geografis ia menghadap ke arah timur maupun barat, utara maupun selatan; tidak seperti kaum Nasrani yang semuanya menghadap ke arah timur, juga tidak seperti kaum Yahudi yang seluruhnya memilih menghadap ke arah barat.

 

Lebih jauh, Syekh Wahbah juga mengatakan bahwa tujuan dari dita’kidnya (dikuatkannya) perintah agar kaum mukminin juga menghadap kiblat setelah Nabi saw. diberi perintah demikian -padahal perintah kepada Nabi saw. terhitung sebagai perintah kepada umatnya pula- adalah untuk menunjukkan perhatian yang besar akan kiblat Ka'bah.

 

Sebab, hal tersebut adalah peristiwa besar yang menjadi titik peralihan dalam peletakan asas kemandirian ibadah kaum muslimin dan penghentian masa berkiblat ke arah Baitul Maqdis; juga agar tekad kaum muslimin semakin kuat dan hati mereka menjadi tenang sehingga mereka dapat menumpas fitnah yang disebarkan orang-orang munafik dan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), mengesampingkan gosip-gosip mereka, dan tetap mengikuti Rasulullah saw; di samping juga untuk menolak anggapan bahwa kiblat adalah ke arah Syam.

 

Selain itu, Syekh Wahbah juga mengatakan, umat Islam sepakat bahwa menghadap kiblat menjadi salah satu syarat sahnya shalat, kecuali dalam keadaan khauf (takut/genting) dan dalam shalat sunah di atas kendaraan (seperti hewan tunggangan, kapal, atau pesawat terbang). Dalam keadaan genting, kiblatnya adalah arah yang dinilai aman, sementara bagi yang berada di atas kendaraan, kiblatnya adalah arah yang dituju oleh kendaraan itu. (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsirul Munir..., hal. 21-24)

 

Dari paparan di atas dapat kita pahami, surat Al-Baqarah ayat 144 ini mengandung bahasan utama perihal beberapa ketentuan menghadap kiblat saat shalat, baik bagi orang yang dapat melihat Ka’bah secara langsung maupun yang jauh dari Ka’bah. Hal ini menjadi penting, tentunya karena menghadap kiblat adalah salah satu dari syarat sah shalat. Wallahu a‘lam.

 

M. Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus Purworejo, Jawa Tengah.