Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 286: Allah Tidak Membebani Manusia di Luar Kemampuannya
Selasa, 17 September 2024 | 05:00 WIB
Zainuddin Lubis
Penulis
Agama Islam itu ringan dan mudah dijalani. Allah tidak membebani kita dengan aturan yang terlalu berat atau sulit. Intinya, Islam itu fleksibel dan tidak membuat hidup manusia jadi susah.
Allah tahu kemampuan setiap manusia, makanya aturan-aturan dalam Islam disesuaikan dengan kemampuan pemeluknya. Jadi, kita tidak perlu khawatir merasa terbebani dengan ajaran agama.
Meski demikian, setiap perbuatan yang kita lakukan, baik atau buruk, akan ada balasannya. Jika melakukan kebaikan, maka akan mendapatkan pahala dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika kita melakukan perbuatan buruk, maka kita akan mendapatkan siksa.
Sejatinya, ayat ini ingin mengajarkan bahwa melakukan kebaikan itu sebenarnya lebih mudah dan menyenangkan. Kebaikan itu sesuai dengan fitrah manusia, yaitu cenderung ingin berbuat baik dan mendapatkan kebahagiaan. Simak firman Allah berikut;
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ
Lā yukallifullāhu nafsan illā wus‘ahā, lahā mā kasabat wa ‘alaihā maktasabat,
Artinya; "Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya. Baginya ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa) atas (kejahatan) yang diperbuatnya."
Tafsir Baidhawi
Baca Juga
Islam itu Ramah, Bukan Marah-marah
Menurut Imam Baidhawi, dalam kitab Tafsir Anwarul Tanzil wa Asrarut Ta'wil, surat Al-Baqarah ayat 256 menjelaskan Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kapasitas kemampuannya. Beban yang diberikan sesuai dengan kekuatan dan kemampuan manusia, sebagai bentuk rahmat dan kemurahan Allah.
Hal ini menunjukkan bahwa beban tersebut tidak mungkin melebihi batas kemampuan seseorang, dan Allah memberikan kemudahan dalam segala perintah, seperti dalam firman Allah yang lain dalam surat Al-Baqarah ayat 185, bahwa Dia menghendaki kemudahan bagi manusia, bukan kesulitan.
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya; "Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran."
Lebih jauh lagi, ayat ini juga menegaskan bahwa tidak ada pembebanan yang mustahil bagi manusia. Jika ada beban yang diberikan, itu tidak berada di luar jangkauan kemampuan manusia.
Namun, tidak berarti beban yang mustahil tidak bisa terjadi; justru beban yang diberikan selalu berada dalam jangkauan yang mampu ditangani manusia dengan kemudahan yang Allah berikan. Konsep ini menjelaskan bahwa segala perintah Allah selalu sesuai dengan kemampuan hamba-Nya, dan tidak ada sesuatu yang melampaui batas kemampuan manusia.
Dalam penjelasan lebih lanjut, Imam Baidhawi menjelaskan bahwa setiap amal kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan kembali kepada dirinya sendiri dalam bentuk pahala, sedangkan setiap keburukan yang dilakukan juga akan kembali kepada dirinya dalam bentuk dosa.
Tidak ada orang lain yang diuntungkan dari ketaatan atau dirugikan dari maksiat seseorang. Ini menunjukkan bahwa segala amal baik atau buruk akan dipertanggungjawabkan oleh pelakunya sendiri.
Imam Baidhawi juga membedakan antara istilah "usaha" untuk kebaikan dan "perbuatan" untuk keburukan. Keburukan lebih mudah terjadi karena nafsu manusia cenderung tertarik kepada hal-hal yang buruk, sehingga manusia lebih bersungguh-sungguh dalam mengejar keburukan dibandingkan dengan kebaikan.
Keterangan tersebut menegaskan bahwa dorongan manusia untuk melakukan keburukan lebih kuat, namun kebaikan tetap lebih mulia dan bernilai di sisi Allah. Simak penjelasan Imam Baidhawi berikut;
لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَها إلا ما تسعه قدرتها فضلاً ورحمةً، أو ما دون مدى طاقتها بحيث يتسع فيه طوقها ويتيسر عليها كقوله تعالى: يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وهو يدل على عدم وقوع التكليف بالمحال ولا يدل على امتناعه. لَها مَا كَسَبَتْ من خير. وَعَلَيْها مَا اكْتَسَبَتْ من شر لا ينتفع بطاعتها ولا يتضرر بمعاصيها غيرها، وتخصيص الكسب بالخير والاكتساب بالشر لأن الاكتساب فيه احتمال والشر تشتهيه النفس وتنجذب إليه فكانت أجد في تحصيله وأعمل بخلاف الخير.
Artinya; "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, kecuali sesuai dengan apa yang mampu dilakukan oleh kekuatannya sebagai keutamaan dan rahmat, atau dengan sesuatu yang berada di bawah batas kemampuannya sehingga kekuatannya dapat mencapainya dan menjadi mudah baginya, sebagaimana firman-Nya: Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu (QS. Al-Baqarah: 185).
Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada beban yang diberikan dalam hal yang mustahil, tetapi tidak menunjukkan ketidakmungkinan terjadinya. Baginya (pahala) apa yang ia usahakan dari kebaikan. Dan baginya (dosa) apa yang ia perbuat dari keburukan. Tidak ada yang mendapatkan manfaat dari ketaatannya maupun menderita kerugian dari maksiatnya selain dirinya sendiri.
Penyebutan ‘usaha’ untuk kebaikan dan ‘perbuatan’ untuk keburukan karena keburukan lebih mungkin terjadi, dan keburukan itu diinginkan oleh nafsu dan menarik dirinya sehingga ia lebih bersungguh-sungguh untuk mencapainya dibandingkan dengan kebaikan." (Tafsir Anwarul Tanzil wa Asrarut Ta'wil, (Beirut: Darul Turats Al-Arabiy, 1418], jilid I, halaman 166).
Sementara itu, Imam Qurthubi dalam Kitab Jami' Li Ahkami Al-Qur'an, mengatakan ulama sepakat bahwa Islam tidak membebankan sesuatu di luar kemampuan manusia, dan ayat inilah yang menegaskan, sekaligus menjadi dalil tersebut. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai apakah pembebanan di luar batas kemampuan ini mungkin terjadi dalam hukum Islam.
Abu Al-Hasan Al-Asy'ari dan para ulama lainnya berpendapat bahwa secara akal, pembebanan di luar batas kemampuan bisa saja terjadi, namun hal ini tidak mempengaruhi ajaran akidah dalam syariat Islam.
Ulama yang setuju bahwa pembebanan di luar batas kemampuan bisa terjadi kemudian berbeda pendapat: apakah hal ini terjadi dalam ajaran Nabi Muhammad SAW atau tidak? Sebagian berpendapat bahwa hal tersebut terjadi, seperti pada kasus Abu Lahab.
Ia dibebankan untuk beriman kepada syariat yang dibawa Nabi SAW, tetapi dalam Al-Qur’an, ia telah ditetapkan tidak akan beriman, sebagaimana diungkapkan dengan kata "binasa" dan masuk neraka. Ini menunjukkan bahwa meskipun ia dibebankan untuk beriman, sudah dipastikan bahwa ia tidak akan beriman.
Sebaliknya, sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa pembebanan di luar kemampuan tidak pernah terjadi dan tidak akan terjadi. Bahkan, ada yang meriwayatkan bahwa hal ini termasuk kesepakatan para ulama. Makna firman Allah dalam surat Al-Lahab ayat 3, "Dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak," diartikan bahwa jika seseorang memang tidak dapat beriman lagi, itulah takdirnya.
Imam Qurthubi menjelaskan bahwa pendapat yang tepat adalah Allah SWT tidak membebani seseorang dengan sesuatu yang tidak bisa mereka lakukan. Meski Allah memberikan ujian yang kadang terasa berat, seperti hijrah yang mengharuskan seseorang meninggalkan kampung halaman dan keluarganya, tetapi Allah tidak memberikan beban yang terlalu berat hingga menyakitkan, seperti halnya perintah untuk membunuh diri sendiri atau memotong bagian tubuh.
Allah SWT telah mempermudah umat Nabi Muhammad SAW, sehingga beban-beban berat yang dulu dialami umat sebelumnya telah dihilangkan. Simak penjelasan Imam Qurthubi berikut;
فَاللَّهُ سُبْحَانَهُ بِلُطْفِهِ وَإِنْعَامِهِ عَلَيْنَا وَإِنْ كَانَ قَدْ كَلَّفَنَا بِمَا يَشُقُّ وَيَثْقُلُ كَثُبُوتِ الْوَاحِدِ لِلْعَشْرَةِ، وَهِجْرَةِ الْإِنْسَانِ وَخُرُوجِهِ مِنْ وَطَنِهِ وَمُفَارَقَةِ أَهْلِهِ وَوَطَنِهِ وَعَادَتِهِ، لَكِنَّهُ لَمْ يكلفنا بالمشقات المثقلة ولا بالأمور المولمة، كَمَا كَلَّفَ مَنْ قَبْلَنَا بِقَتْلِ أَنْفُسِهِمْ وَقَرْضِ مَوْضِعِ الْبَوْلِ مِنْ ثِيَابِهِمْ وَجُلُودِهِمْ، بَلْ سَهَّلَ وَرَفَقَ وَوَضَعَ عَنَّا الْإِصْرَ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي وَضَعَهَا عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَنَا. فَلِلَّهِ الْحَمْدُ وَالْمِنَّةُ، وَالْفَضْلُ وَالنِّعْمَةُ.
Artinya; "Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan kelembutan dan anugerah kepada kita, meskipun Dia telah membebani kita dengan sesuatu yang berat dan sulit, seperti kewajiban satu orang untuk menanggung tanggungan sepuluh orang, atau hijrahnya seseorang dari negaranya, meninggalkan keluarganya, tanah kelahirannya, dan kebiasaannya, namun Allah tidak membebani ummat Nabi Muhammad dengan kesulitan yang sangat berat atau perkara yang menyakitkan, sebagaimana telah membebani umat terdahulu dengan kewajiban membunuh diri mereka sendiri dan memotong bagian pakaian atau kulit mereka yang terkena najis.
Bahkan, Allah telah memudahkan, memberikan keringanan, dan mengangkat dari kita beban berat dan belenggu yang telah diletakkan kepada orang-orang sebelum kita. Maka segala puji dan karunia hanyalah milik Allah, begitu juga segala keutamaan dan nikmat. (Al-Jami' Li Ahkami Al-Qur'an, Jilid III, [Kairo: Darul Kutub Mishriyah, 1964], halaman 430).
Pada sisi lain, dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim dijelaskan bahwa agama Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan umatnya. Makna dari hadits ini adalah bahwa syariat yang Allah turunkan melalui Nabi Muhammad memang dimaksudkan untuk memudahkan, bukan menyulitkan umat. Allah telah menghapus beban-beban berat dari umat, sehingga setiap hamba hanya dibebani sesuai dengan kemampuannya.
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
Artinya, "Sesungguhnya agama ini mudah, dan Dan selamanya agama tidak akan memberatkan seseorang melainkan memudahkannya. Untuk itu, luruskanlah (amalanmu) dan mendekatlah (kepada kebenaran), serta bergembiralah, dan mintalah pertolongan dengan beribadah di pagi hari, sore hari, dan malam." (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, dalam prinsip Islam, beragama tidaklah berat dan tidak perlu khawatir tentang bisikan hati kita. Allah tidak memberikan beban yang melebihi kemampuan seseorang. Setiap orang hanya akan dituntut sesuai dengan kemampuannya sendiri.
Jadi, apa yang kita niatkan untuk kebaikan, meskipun belum dilakukan, tetap mendapatkan pahala dari Allah. Sebaliknya, jika kita melakukan keburukan, kita akan mendapatkan balasan sesuai dengan perbuatan tersebut.
Dengan kata lain, Allah memahami bahwa setiap orang memiliki batas kemampuannya. Dia memberikan pahala untuk niat baik kita, meskipun belum terwujud dalam tindakan nyata.
Di sisi lain, jika kita berbuat buruk, kita akan mendapatkan sanksi sesuai dengan perbuatan tersebut. Ini menunjukkan bahwa Allah memudahkan segala urusan agama dan menilai setiap tindakan berdasarkan apa yang kita kerjakan dan niatkan. Wallahu a'lam
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam, tinggal di Parung
Terpopuler
1
Temui Menkum, KH Ali Masykur Musa Umumkan Keabsahan JATMAN 2024-2029
2
Baca Doa Ini untuk Lepas dari Jerat Galau dan Utang
3
Cara KH Hamid Dimyathi Tremas Dorong Santri Aktif Berbahasa Arab
4
Jadwal Lengkap Perjalanan Haji 2025, Jamaah Mulai Berangkat 2 Mei
5
Apel Akbar 1000 Kader Fatayat NU DI Yogyakarta Perkuat Inklusivitas
6
Pengurus Ranting NU, Ujung Tombak Gerakan Nahdlatul Ulama
Terkini
Lihat Semua