Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 29

Ahad, 18 Oktober 2020 | 00:30 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 29

Tafsir Jalalain menyebutkan, (Dia [Allah] yang menciptakan segala apa yang ada di bumi) seisinya (untuk kalian) ambil manfaat dan ambil pelajaran darinya

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas Surat Al-Baqarah ayat 29:


هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ


Huwal ladzī khalaqa lakum mā fil ardhi jamī‘an, tsummas tawā ilas samā’i fa sawwā hunna sab‘a samāwāt. Wa huwa bi kulli syai’in ‘alīmun.


Artinya, “Dia (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untuk kalian, kemudian Dia menuju langit, lalu menyempurnakannya menjadi tujuh lapis langit. Dia maha mengetahui atas segala sesuatu.” (Surat Al-Baqarah ayat 29).


Ragam Tafsir

Tafsir Jalalain menyebutkan, (Dia [Allah] yang menciptakan segala apa yang ada di bumi) seisinya (untuk kalian) ambil manfaat dan ambil pelajaran darinya. (Kemudian) setelah menciptakan bumi, (Dia menuju) bermaksud pada (langit, lalu menyempurnakannya) memutuskan langit (menjadi tujuh lapis langit. Dia maha mengetahui atas segala sesuatu) baik secara umum maupun secara rinci.


Apakah manusia, kata Tafsir Jalalain, tidak mengambil pelajaran bahwa Zat yang kuasa menciptakan alam semesta pada awalnya juga kuasa untuk menciptakan kembali mereka. Dialah Allah, Zat yang lebih agung daripada mereka.


Kitab Ma’alimut Tanzil karya Imam Al-Baghowi mengatakan, penciptaan langit dan bumi pada Surat Al-Baqarah ayat 29 dimaksudkan agar manusia mengambil pelajaran dan menjadikan bukti kebesaran Allah. Tetapi sebagian ahli tafsir menyebut penciptaan langit dan bumi dimaksudkan agar manusia menerima manfaat dari keduanya.


Imam Al-Baghowi dalam tafsirnya mengutip pandangan sahabat Ibnu Abbas RA dan mayoritas ulama salaf di bidang tafsir terkait kata “istawā,” yaitu “naik” ke langit. Sedangkan Ibnu Kaisan, Al-Farra, dan sekelompok ulama nahwu memahami “istawa” dengan “’menghadapi’ penciptaan langit.”


Sebagian ahli tafsir, kata Imam Al-Baghowi, ada juga yang memahami “istawā” dengan “qashada” atau menuju, bermaksud, atau berkeinginan karena Allah awalnya menciptakan bumi, kemudian berkeinginan untuk menciptakan langit. Kemudian Allah menciptakan tujuh lapis langit dengan lurus atau sama rata tanpa retakan dan pemisahan.


Kitab Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wīl karya Imam Al-Baidhawi menyebutkan, Surat Al-Baqarah ayat 29 menjelaskan nikmat lain menyusul nikmat Allah yang disebutkan pada Surat Al-Baqarah ayat 28. Langit dan bumi pada Surat Al-Baqarah ayat 29 merupakan ciptaan Allah yang menjadi tempat kekal dan tempat penghidupan manusia.


“Lakum” atau untuk kalian pada Surat Al-Baqarah ayat 29, kata Tafsir Al-Baidhawi, bermakna demi kalian dan demi kemanfaatan kalian di dunia dengan pemanfaatan bumi untuk kemaslahatan badan kamu dengan atau tanpa perantara di satu sisi; dan kemanfaatan agama kalian melalui penetapan bukti, pelajaran, dan pengenalan atas nikmat dan siksa akhirat bahwa penciptaan dunia bukan tujuan.


Adapun kata “istawā” dalam Surat Al-Baqarah ayat 29, kata Tafsir Al-Baidhawi, bermakna “berkeinginan atau berkehendak” seperti kalimat orang Arab “istawā ilaihi kas sahmil mursal idzā qashadahū qashdan mustawiyan min ghairi an yalwiya alā syai’in” atau berkehendak padanya seperti anak panah yang dilepas bila dituju dengan tujuan yang lurus tanpa berbelok pada apapun.


Sebagian ahli tafsir, kata Imam Al-Baidhawi, “istawā” bermakna “istawlā wa malaka” atau berkuasa dan merajai. Tetapi pengertian pertama lebih mendekati kebenaran. Adapun pertanyaan seputar “tujuh lapis langit” berbunyi, “Bukankah ahli astronomi menetapkan sembilan falak?”


Bagi saya, kata Imam Al-Baidhawi, apa yang mereka sebutkan masih mengandung keraguan. Tetapi kalau pun benar, pandangan mereka tidak bertentangan dengan Surat Al-Baqarah ayat 29 karena ayat ini tidak menafikan jumlah di atas angka tujuh. Sementara saat yang bersamaan Allah juga mengelompokkan Arasy dan Kursi ke dalam langit sehingga sebenarnya tidak ada pertentangan antara temuan sains dan ayat ini.


Surat Al-Baqarah ayat 29, kata Imam Al-Baidhawi, menunjukkan bahwa Allah mengetahui hakikat sesuatu serta menciptakan langit dan bumi dengan model paling sempurna dan paling bermanfaat.


Surat Al-Baqarah ayat 29 menunjukkan bahwa Zat yang kuasa melakukan penciptaan dengan susunan yang istimewa dan format yang teratur rapi adalah Zat yang maha tahu karena kesempurnaan perbuatan, putusan, dan penciptaan langit dan bumi dengan bentuk terbaik dan paling bermanfaat hanya akan muncul dari Zat yang maha tahu, bijak, dan penyayang.


Akhir Surat Al-Baqarah ayat 29, kata Imam Al-Baidhawi, memaklumkan bahwa kebenaran kebangkitan dibangun di atas tiga pendahuluan atau muqaddimah yang argumentasinya terbukti pada Surat Al-Baqarah ayat 28-29.


Pertama, materi tubuh memiliki potensi disatukan dan dihidupkan. Kedua, Allah adalah Zat yang mengetahui karakter dan posisi materialnya. Ketiga, Allah adalah Zat kuasa mengumpulkan dan menghidupkan material mereka kembali.


Semua itu ditunjukkan dengan kuasa-Nya atas penciptaan pada mulanya langit dan bumi dengan sempurna yang memberi kemslahatan dan dapat memenuhi hajat hidup manusia, dua zat yang lebih besar dan lebih ajaib dari jenis manusia.


Semua kenyataan ini, kata Imam Al-Baidhawi, menunjukkan kuasa Allah menghadirkan dan menghidupkan kembali manusia. Hal ini juga menunjukkan puncak ilmu serta kesempurnaan kebijaksanaan Allah yang besar kuasa-Nya dan detail kebijaksanaan-Nya.


Adapun Tafsir Ibnu Katsir perihal Surat Al-Baqarah ayat 29 menyebutkan bahwa bumi diciptakan lebih dahulu daripada langit sebagaimana keterangan Fushshilat ayat 9-12. Dua ayat ini menjadi dalil bahwa bumi diciptakan oleh Allah lebih dahulu daripada langit.


Saya, kata Imam Ibnu Katsir, tidak mengetahui perbedaan ulama perihal ini kecuali riwayat yang dikutip Ibnu Jarir dari Qatadah yang menduga bahwa langit diciptakan lebih dahulu sebelum bumi dengan dalil Surat An-Nazi‘at ayat 27-31 pada kata “dahāhā”.


Imam Ibnu Katsir mengutip jawaban sahabat Ibnu Abbas RA dalam Shahih Bukhari yang ditanya perihal ini. Sahabat Ibnu Abbas RA menjawab, “Bumi diciptakan sebelum langit. Tetapi memang bumi ‘dibentangkan’ setelah langit diciptakan.” Demikian jawaban serupa banyak ulama tafsir baik zaman dulu maupun kekinian.


Adapun kata “dahāhā” atau pembentangan pada Surat An-Nazi‘at, kata Imam Ibnu Katsir, bermakna pengeluaran potensi dan sumber daya alam di bumi seperti air sehingga menumbuhkan aneka pepohonan dengan beragam jenis, sifat, warna, dan bentuknya. Wallahu a‘lam. (Alhafiz Kurniawan)