Alhafiz Kurniawan
Penulis
Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas Surat Al-Baqarah ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Wa idz qāla rabbuka lil malā’ikati ‘Innī jā‘ilun fil ardhi khalīfatan,’ qālū ‘A taj‘alu fīhā man yufsidu fīhā wa yasfikud dimā. Wa nahnu nusabbihu bi hamdika wa nuqaddisu laka?’ Qāla ‘Innī a‘lamu mā lā ta‘lamūna.’
Artinya, “(Ingat) ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat, ‘Aku ingin menjadikan khalifah di bumi.’ Mereka bertanya, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana? Padahal, kami bertasbih memuji dan menyucikan nama-Mu.’ Dia berkata, ‘Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui,’” (Surat Al-Baqarah ayat 30).
Ragam Tafsir
Tafsir Jalalain mengatakan, ingat wahai Muhammad (ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat, “Aku ingin menjadikan khalifah di bumi”) yang menggantikan-Ku dalam melaksanakan ketentuanku di dalamnya, yaitu Adam.
(Mereka bertanya, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak) dengan tindakan maksiatnya (dan menumpahkan darah) menuangkannya melalui pembunuhan sebagaimana dilakukan bangsa jin. Mereka awalnya penghuni bumi. Tetapi ketika mereka berbuat kerusakan, Allah mengutus malaikat untuk mengusir mereka ke pulau-pulau dan pegunungan (di sana? Padahal, kami) selalu (bertasbih memuji) dengan “Subhānallāh” (dan menyucikan nama-Mu)” menyucikanmu dari semua sifat yang tidak layak bagi-Mu. Artinya, “Kami lebih berhak sebagai pengganti-Mu.”
(Dia [Allah] berkata, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.”) Aku mengetahui kemaslahatan dalam mengangkat Adam sebagai pengganti-Ku. Keturunan Adam terdiri atas hamba yang taat dan maksiat sehingga keadilan-Ku tampak di tengah mereka.
Malaikat kemudian menyambut, “Tuhan kami tidak menciptakan makhluk yang lebih mulia dari kami dan lebih tahu karena kehadiran kami yang lebih awal darinya dan penglihatan kami pada apa yang tidak dilihat olehnya.”
Allah kemudian menciptakan Adam dari permukaan bumi. Allah “mengambil” segenggam dari beragam warna tanah bumi yang kemudian dicampur dengan air yang berbeda-beda. Allah lalu menyempurnakan dan meniupkan roh padanya lalu ia menjadi makhluk hidup yang merasa setelah sebelumnya benda mati.
Tafsir Al-Baghowi, Ma’alimut Tanzil fit Tafsir wat Ta’wil, menceritakan, yang dimaksud oleh malaikat dengan “mereka” adalah penghuni bumi sebelumnya. Allah menciptakan langit, bumi, malaikat, dan jin. Lalu Allah menempatkan malaikat di langit dan jin di bumi.
Mereka kemudian menyebar dan menyembah Allah dalam masa yang lama di bumi. Tetapi penyakit kedengkian dan tindakan melewati batas menjangkiti mereka. Mereka berbuat kerusakan dan membunuh. Allah lalu mengutus satu pasukan malaikat yang disebut “jin” karena mereka adalah penjaga surga. Pemimpin dan pemuka mereka yang paling pandai adalah iblis.
Sepasukan malaikat yang bernama “jin” ini turun ke bumi. Mereka mengusir bangsa jin ke lembah-lembah pegunungan dan pulau-pulau di tengah laut. Mereka kemudian menjadi penghuni bumi. Mereka lalu turun ke bumi.
Allah memberikan keringanan ibadah untuk mereka. Allah memberikan kekuasaan bumi, langit dunia, dan penjagaan surga. Iblis kadang menyembah Allah di bumi, kadang di langit, dan kadang di surga. Lalu penyakit ujub masuk ke dalam dirinya.
“Tidaklah Allah memberikan kekuasaan ini kecuali karena aku adalah malaikat paling mulia,” kata Iblis dalam hatinya.
“(Aku ingin menjadikan) menciptakan (khalifah) pengganti kamu (di bumi) dan mengangkatmu ke langit,” kata Allah kepada Iblis dan pasukannya.
Mendengar rencana Allah, mereka tampak tidak suka. Mereka menjadi malaikat yang paling rendah kehambaannya.
Khalifah yang dimaksud di sini adalah Adam. Ia disebut khalifah karena ia adalah pengganti jin yang datang sebelumnya. Ada yang menafsirkan, Adam disebut khalifah karena ia juga akan digantikan oleh orang lain. Yang jelas, Adam merupakan khalifah Allah di bumi untuk menegakkan ketentuan-Nya dan melaksanakan perintah-Nya.
“(Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak) melalui maksiat (dan menumpahkan darah) tanpa hak sebagaimana dilakukan oleh bangsa jin (di sana?)” Sanggahan malaikat didasarkan pada analogi atau qiyas yang sudah ada. Tanpa analogi, dapat dipahami bahwa mereka tidak mengetahui hal ghaib (masa depan).
Adapun istilah “tasbih” dalam Al-Qur’an, kata sahabat Ibnu Abbas RA, harus diartikan sebagai ibadah shalat. (“Padahal, kami menyucikan nama-Mu) dengan bersuci. Ada ulama menafsirkan, “Kami menyucikan diri kami melalui ibadah sebagai bentuk ketaatan kepada-Mu.”
Sanggahan malaikat pada Surat Al-Baqarah ayat 30 ini, kata Imam Al-Baghowi mengutip sebagian ulama tafsir, bukan bermakna penentangan atau ujub atas amal mereka, tetapi sanggahan heran dan mencari hikmah jawaban di balik rencana Allah itu.
“(Allah berkata, ‘Sungguh, Aku) Allah (mengetahui apa yang tidak kalian ketahui,’)” yaitu kemaslahatan di dalamnya. Aku mengetahui bahwa di tengah keturunan Adam ada dari mereka yang berbuat taat dan menyembah-Ku, yaitu para nabi, para wali, dan para ulama.
Sebagian ulama mengatakan, “Aku mengetahui bahwa di tengah kalian ada yang berbuat durhaka kepada-Ku, yaitu Iblis.” Sebagian ulama lainnya, kata Imam Al-Baghowi, mengatakan, “Aku mengetahui bahwa manusia kelak akan berdosa dan Aku mengampuni mereka.”
Imam Al-Baidhawi melalui tafsirnya, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, mengatakan, Surat Al-Baqarah ayat 30 mengisyaratkan nikmat ketiga yang mencakup semua manusia. Penciptaan, pemuliaan, pengutamaan Adam AS di atas malaikat melalui perintah Allah kepada mereka untuk sujud kepadanya merupakan nikmat yang bersifat umum untuk keturunan Adam AS.
Pada Surat Al-Baqarah ayat 30, pengutaraan Allah atas rencana-Nya menjadikan khalifah kepada malaikat bermanfaat sebagai bentuk pengajaran musyawarah, pengagungan zat yang akan diciptakan.
Jawaban Allah atas malaikat menunjukkan bahwa hikmah itu menuntut penciptaan makhluk (manusia) yang lebih kebaikannya karena meninggalkan kebaikan yang banyak hanya karena ada sedikit keburukan merupakan keburukan yang begitu besar.
Sanggahan malaikat pada Surat Al-Baqarah ayat 30 ini, kata Imam Al-Baidhawi, bukan bermakna penentangan terhadap Allah yang maha kuasa atau menuduh kekurangan Nabi Adam AS atas jalan ghibah, tetapi sanggahan heran dan mencari hikmah jawaban di balik rencana Allah itu.
Malaikat, kata Imam Al-Baidhawi, mengetahui bahwa makhluk yang akan diangkat sebagai khalifah Allah memiliki tiga kekuatan inti, yaitu kekuatan syahwat dan kekuatan ghadhab yang membawa mafsadat dan pertumpahan darah; dan kekuatan akal yang mengantarkan mereka pada pengetahuan dan ketaatan.
Imam Ibnu Katsir, mengutip Al-Qurthubi, mengatakan, sanggahan malaikat bukan menunjukkan penentangan mereka terhadap Allah atau semata kedengkian mereka terhadap manusia.
“Aku akan menjadikan para nabi dan rasul yang Kuutus kepada manusia dari keturunan Adam AS sendiri. Di tengah mereka juga terdapat golongan as-shiddiqin, syuhada, orang saleh, para abid, orang-orang zuhud, para wali, kelompok abrar, muqarrabin, ulama amilin, mereka yang khusyuk, orang-orang yang memiliki mahabbah luar biasa kepada-Ku, dan para pengikut rasul-rasul-Ku,” kata Imam Ibnu Katsir.
Imam Ibnu Katsir mengutip riwayat sahih hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Malaikat naik ke langit membawa amal hamba-Nya di bumi. Allah bertanya kepada mereka meski Dia lebih mengetahui, ‘Bagaimana kalian meninggalkan para hamba-Ku?’ Mereka menjawab, ‘Kami mendatangi mereka. Mereka sedang melakukan shalat. Kami meninggalkan mereka. Mereka juga sedang melakukan shalat.’ Malaikat datang ke tengah kita silih berganti (membawa amal manusia pada siang dan malam). Mereka hadir pada shalat subuh dan shalat ashar. Sekelompok dari mereka tetap tinggal di bumi. Sedangkan sekelompok lainnya naik membawa amal manusia.”
Rasulullah SAW, kutip Ibnu Katsir bersabda, “Ada malaikat yang bertugas mengangkat amal malam manusia kepada Allah sebelum siang datang dan amal siang manusia sebelum malam datang. Jawaban mereka, “Kami mendatangi mereka. Mereka sedang melakukan shalat. Kami meninggalkan mereka. Mereka juga sedang melakukan shalat,” merupakan tafsir dari akhir Surat Al-Baqarah ayat 30.
Isu Khilafah
Imam Al-Qurthubi, seperti dikutip Imam Ibnu Katsir, menjadikan Surat Al-Baqarah ayat 30 sebagai dalil atas kewajiban pembentukan pemerintahan (khalifah) untuk menghentikan perselisihan, memutuskan sengketa di tengah masyarakat, menuntut orang-orang zalim atas hak orang yang terzalimi, menegakkan hukum, memberikan sanksi atas tindakan keji, dan menyelesaikan masalah penting lainnya yang tidak mungkin terlaksana tanpa pemerintahan.
Pembentukan pemerintahan (khalifah) dapat dilakukan berdasarkan nash, penunjukkan, pergantian melalui suksesi, jalur musyawarah oleh orang-orang saleh, kesepakatan ahlul halli wal aqdi, pembaiatan, atau penundukkan secara paksa.
Pemerintah, kata Imam Ibnu Katsir, harus seorang laki-laki, baligh, berakal, muslim, memiliki integritas, memiliki kualitas intelektual sebagai seorang mujtahid, memiliki penglihatan yang awas, memiliki organ tubuh yang lengkap dan berfungsi, menguasai ilmu peperangan, sejumlah ulama mengatakan berdarah Quraisy meski tidak disyaratkan Bani Hasyim dan tidak disyaratkan makshum sebagaimana kelompok syiah ekstrem (Ghulat) dan Rafidhah.
Kalau pemerintah atau imam berbuat fasik, ulama berbeda pendapat perihal kemakzulannya, kata Imam Ibnu Katsir. Tetapi pendapat shahih mengatakan, ia tidak dimakzulkan berdasarkan hadits shahih, “kecuali jika kalian melihat dia kafir secara nyata.”
Adapun perihal pembentukan dua atau bahkan lebih pemerintahan, imamah, (khalifah) di atas muka bumi, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama mengatakan tidak boleh membentuk dua atau lebih pemerintahan (khalifah).
Imam Haramain dari Abu Ishaq, kata Imam Ibnu Katsir, menyebutkan kebolehan pembentukan dua atau bahkan lebih pemerintahan yang sah bilamana suatu daerah terlalu luas atau berjauhan satu sama lain seperti pemerintahan (khalifah) Bani Abbasiyah di Iraq, Dinasti Fathimiyyah di Mesir, dan Dinasti Bani Umayyah di Maghrib di satu zaman yang bersamaan.
Adapun kampanye kelompok pendukung khilafah yang belakangan menyuarakan persatuan umat Islam di bawah kepemimpinan tunggal, satu orang khalifah, dan menjadikan Surat Al-Baqarah ayat 30 sebagai dalilnya merupakan klaim sepihak atas satu pandangan tafsir, kemunduran cara pikir, dan menyalahi sunnatullah terkait diaspora masyarakat yang sejak dulu zaman khalifah-khalifah kepemimpinan sudah tidak tunggal karena problem jarak dan sebagainya.
Terlalu naif untuk menjadikan Surat Al-Baqarah ayat 30 sebagai dalil atas pembentukan khilafah di bawah kepemimpinan tunggal sebagai propaganda atas penyelesaian masalah umat Islam. Padahal, sejak khalifah-khalifah zaman dahulu, kepemimpinan umat Islam tidak tunggal.
Dengan demikian, pemerintahan di berbagai belahan dunia mana pun yang dibentuk oleh umat Islam hari ini dapat disebut sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban nashbul imam, nashbul imamain, atau nashbul a’immah.
Dengan begitu, tidak ada hajat untuk mengganti sistem negara Indonesia misalnya dengan negara khilafah atau negara Islam dengan kepemimpinan tunggal karena tidak ada konsep baku terkait negara berdasarkan khilafah di samping Indonesia dan negara-negara lain yang didirikan oleh umat Islam secara substansi telah memenuhi kewajiban nashbul imamah. Wallahu a‘lam. (Alhafiz Kurniawan)
Terpopuler
1
Arus Komunikasi di Indonesia Terdampak Badai Magnet Kuat yang Terjang Bumi
2
PBNU Nonaktifkan Pengurus di Semua Tingkatan yang Jadi Peserta Aktif Pilkada 2024
3
Pergunu: Literasi di Medsos Perlu Diimbangi Narasi Positif tentang Pesantren
4
Kopdarnas 7 AIS Nusantara Berdayakan Peran Santri di Era Digital
5
Cerita Muhammad, Santri Programmer yang Raih Beasiswa Global dari Oracle
6
BWI Kelola Wakaf untuk Bantu Realisasi Program Pemerintah
Terkini
Lihat Semua