Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 3 (Bagian 1)

Rab, 11 November 2020 | 23:00 WIB

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 3 (Bagian 1)

Konteks ayat ini adalah peringatan Allah kepada para lelaki agar tidak terlalu beristri banyak. Karena bisa jadi ia justru akan berbuat zalim dengan mengambil harta anak yatim yang dirawatnya untuk memenuhi kebutuhan para istrinya.

Berikut ini adalah kutipan ayat, transliterasi, terjemahan, dan tafsir Surat An-Nisa ayat 3 dari sejumlah kitab tafsir:


وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ، فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا 


Wa in khiftum allā tuqsithū fil yatāmā fankihū mā thāba lakum minan nisā’i matsnā wa tsulātsa wa rubā’. Fa in khiftum allā ta’dilū fa wāhidatan aw mā malakat aymānukum, dzālika adnā allā ta’ūlū.


Artinya, “Bila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim perempuan, maka nikahilah perempuan-perempuan yang kalian sukai, dua, tiga atau empat. Lalu bila kalian khawatir tidak adil (dalam memberi nafkah dan membagi hari di antara mereka), maka nikahilah satu orang perempuan saja atau nikahilah budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat pada tidak berbuat aniaya.”


Ragam Tafsir

Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi (544-606H/1150-1210 M), ayat ke-3 tentang pernikahan ini adalah hukum kedua yang dijelaskan Allah dalam Surat An-Nisa’, setelah sebelumnya dijelaskan hukum yang pertama dalam ayat ke-2 yang berkaitan dengan hukum harta anak yatim.


Ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam memahami konteks ayat, “Bila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil dalam (menikahi) anak-anak yatim perempuan, maka nikahilah dari perempuan-perempuan yang kalian sukai…”


Pertama, menurut Sayyidah Aisyah RA konteks ayat ini adalah anak yatim perempuan yang berada dalam perawatan walinya, lalu si wali tertarik kecantikan dan harta anak tersebut sehingga ingin menikahinya dengan mahar paling murah. Kemudian bila berhasil menikahinya, si wali akan memperlakukannya dengan perlakuan yang buruk karena tidak akan ada orang yang membelanya.


Dalam konteks seperti itulah pada ayat ini Allah menegaskan, “Bila kalian khawatir akan berperilaku zalim terhadap anak-anak yatim perempuan saat menikahinya, maka nikahilah perempuan selain mereka yang kalian sukai.” 


Sederhananya, bila orang khawatir tidak berbuat adil terhadap anak-anak yatim perempuan yang dirawatnya, maka jangan nikahi mereka, akan tetapi nikahi wanita yang lain.


Kedua, menurut sebagian ulama, sebagaimana pendapat Ibnu Abbas RA dalam riwayat Ali bin Abi Thalhah Al-Walibi (wafat 143 H), ketika turun ayat ke-2 Surat An-Nisa’ tentang anak yatim dan dosa besar memakan hartanya, maka para wali yatim saat itu takut melakukan dosa tersebut, karena tidak mampu berbuat adil dalam memenuhi hak-hak anak yatim yang dirawat mereka. 


Padahal, di sisi lain saat itu di antara mereka juga ada laki-laki yang beristri banyak dan membutuhkan biaya nafkah yang tidak sedikit. Sementara mereka tidak mampu memenuhi hak-hak istri mereka.


Dalam kondisi seperti inilah kemudian dikatakan kepada mereka, “Bila kalian takut tidak dapat berbuat adil dalam memenuhi hak-hak anak yatim dan merasa berat hati karenanya, semestinya kalian juga takut atas ketidakadilan kalian terhadap para istri.”


Lalu mereka berkata, “Sebutkan jumlah istri karena orang yang merasa dosa atau bertobat darinya tapi masih melakukan dosa semisalnya, maka seolah-olah sebenarnya ia tidak merasa dosa.” 


Sederhananya, bila orang khawatir berdosa karena tidak mampu berbuat adil kepada anak-anak yatim, semestinya mereka juga khawatir berdosa karena tidak mampu berbuat adil terhadap para istri.


Oleh karenanya, jangan banyak istri melebihi kemampuan bertanggung jawab atas mereka. (Fakhruddin Muhammad Ar-Razi, Tafsir Fakhruddin Ar-Razi, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz IX, halaman 177-178) dan (Abul Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidi, Asbabun Nuzul, [Jakarta, Darul Kutub Al-Islamiyah: 1431 H/2010 M], halaman 88-89).


Ketiga, menurut sebagian ulama lainnya, konteks ayat ini adalah para lelaki merasa berat dengan urusan perwalian anak yatim. Dalam kondisi seperti itu lalu dikatakan kepada mereka, “Jika kalian takut tidak dapat memenuhi hak anak-anak yatim, semestinya kalian juga takut terhadap perbuatan zina, karenanya nikahilah wanita-wanita yang halal dan hati-hati berada di sekitar wanita yang diharamkan.”


Keempat, menurut Ikrimah RA (24 sebelum Hijriyah 13 H/598-634 M), konteks ayat ini berkaitan dengan seorang laki-laki yang mempunyai istri banyak dan anak yatim yang juga banyak. Ketika ia menafkahkan hartanya untuk para istrinya, hartanya habis dan menjadi orang yang kurang harta, maka ia akan akan mampu memenuhi hak nafkah anak yatim yang dirawatnya.


Dalam konteks seperti ini Allah memberi peringatan agar laki-laki tidak beristri lebih dari empat (4). Bila masih khawatir tidak mampu memenuhi hak nafkah mereka maka hendaknya beristri, tiga (3), dua (2) atau satu (1) saja.


Menurut Ar-Razi, pendapat keempat inilah yang paling mendekati kebenaran. Konteks ayat ini adalah peringatan Allah kepada para lelaki agar tidak terlalu beristri banyak. Karena bisa jadi ia justru akan berbuat zalim dengan mengambil harta anak yatim yang dirawatnya untuk memenuhi kebutuhan para istrinya. (Ar-Razi, Tafsir Al-Fakhr Ar-Razi, juz IX, halaman 177-178).


Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Sekretaris LBM NU Jatim