Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 2

Rab, 11 November 2020 | 05:00 WIB

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 2

Surat An-Nisa’ ayat 2 berkaitan dengan larangan bagi wali atau perawat anak yatim untuk mengganggu harta mereka dengan mengorupsinya.

Berikut ini adalah kutipan ayat, transliterasi, terjemahan, dan tafsir dari sejumlah kitab tafsir:


وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ، وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ، إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا


Wa ātul yatāmā amwālahum walā tatabaddalul khabītsa bit thayyib, walā ta’kulū amwālahum ilā amwālikum, innahū kāna hūban kabīran.


Artinya, “Berikanlah harta anak-anak yatim itu kepada mereka. Jangan kalian tukar harta yang haram dengan harta yang halal. Janganlah kalian makan harta mereka (dengan cara dicampurkan) pada harta kalian. Sungguh hal itu adalah dosa yang besar.”


Sababun Nuzul

Pakar tafsir kota Kufah Irak, Abun Nadhar Muhammad bin As-Saib Al-Kalbi (60-146 H/678-763 M) mengatakan, Surat An-Nisa’ ayat 2 turun berkaitan dengan seorang lelaki, yang dalam riwayat Imam Muqatil bernama Al-Mundzir bin Rifa’ah, menguasai harta yang banyak milik keponakan laki-lakinya yang yatim.


Ketika telah baligh, keponakannya meminta hartanya. Namun, ia menolak menyerahkannya. Keduanya sepakat mengadukan sengketa ini kepada Rasulullah SAW. Turunlah ayat tersebut. Pamannya lalu berkata, “Saya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Saya memohon perlindungan kepada Allah dari dosa yang besar.” Sejurus kemudian ia menyerahkan harta tersebut kepada keponakannya.


Abdurrahman bin Zaid bin Aslam (wafat 182 H) menyatakan, tradisi masyarakat jahiliyah tidak memberikan harta warisan kepada perempuan dan anak-anak. Yang menguasainya hanya ahli waris laki-laki yang paling besar. Lalu turunlah ayat tersebut. (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-‘Ajab fi Bayanil Asbab, [Dammam, Daru Ibnil Jauzi: 1997 M], juz II, halaman 824-825).


Ragam Tafsir

Imam Ahmad bin Muhammad As-Shawi (1175-1241 H/1761-1852 M) menyatakan, ayat ini mulai menjelaskan bentuk nyata ketakwaan yang telah diperintahkan dalam ayat 1. Urusan harta anak yatim didahulukan daripada urusan lain karena di dalamnya terdapat warning dan ancaman yang sangat serius dari Allah SWT.


Yatim secara bahasa bermakna sendirian. Sedangkan secara istilah ia adalah anak kecil yang belum baligh yang ayahnya sudah meninggal, meskipun masih mempunyai ibu.


Ayat ini mengandung empat (4) poin utama. Pertama, perintah untuk memberikan harta anak yatim, yang otomatis mengandung larangan menunda-nunda penyerahan harta anak yatim, yaitu ketika mereka sudah baligh dan matang dalam urusan agama serta pengelolaan hartanya sesuai dengan ayat:


فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ


Artinya, “Maka bila kalian melihat anak-anak yatim sudah matang (dalam urusan agama dan pengelolaan hartanya), maka serahkanlah harta-harta mereka kepadanya,” (An-Nisa’ ayat 6).


Kedua, larangan memakan harta anak yatim dengan menukar harta yang buruk milik wali atau perawat anak yatim dengan harta yang baik milik anak yatim. Sebagaimana tradisi Jahiliyah dimana para wali yatim sering menukar kambing yang kurus miliknya dengan kambing milik anak yatim yang gemuk, menukar dirham jelek milik mereka dengan dirham yang bagus milik anak yatim. Tanpa beban pun mereka berkata, “Kami tukar kambing dengan sesama kambing, dirham dengan sesama dirham.”


Ketiga, larangan bagi wali atau untuk mencampur hartanya dengan harta anak yatim dengan tujuan memakan semuanya. Keempat, penegasan bahwa memakan harta anak yatim adalah dosa besar. (Ahmad bin Muhammad As-Shawi, Hasyiyatus Shawi‘ ala Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Fikr, 1424 H/2004 M], juz I, halaman 268).


Sementara mufassir Turki Abus Su’ud Muhammad bin Muhammad Al-‘Imadi (898-982 H/1493-1574 M) menjelaskan, maksud Surat An-Nisa’ ayat 2 adalah larangan bagi wali atau perawat anak yatim untuk mengganggu harta mereka dengan mengorupsinya sehingga pada waktunya nanti dapat diserahkan dalam kondisi selamat. Baik anak yang masih kecil yang benar-benar masih dalam kondisi yatim, maupun yang sudah besar yang sebenarnya sudah tidak yatim. (Syekh M Nawawi Al-Jawi, At-Tafsirul Munir li Ma’alimit Tanzil, [Beirut, Darul Fikr: 1425 H/2006 M], juz I, halaman 152).


Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Sekretaris LBM NU Jatim