Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 49

Ahad, 17 Januari 2021 | 22:15 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 49

Fir’aun pada Surat Al-Baqarah ayat 49 merupakan sebutan bagi raja yang menguasai Suku Amaliqah seperti sebutan “Kisra” bagi penguasa Persi dan “Kaisar” bagi bangsa Romawi.

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas Surat Al-Baqarah ayat 49:


وَإِذْ نَجَّيْنَاكُمْ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ وَفِي ذَلِكُمْ بَلَاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ


Wa idz najjaynākum min āli Fir‘awna yasūmūnakum sū’al adzābi yudzabbihūna abnā’akum wa yastahyūna nisā’akum, wa fī dzālikum balā’um mir Rabbikum ‘azhīmun.


Artinya, “Ingatlah ketika Kami menyelamatkan kalian dari pengikut Fir’aun yang menimpakan siksa yang berat kepada kalian; mereka menyembelih putra-putra kalian dan membiarkan hidup putri-putri kalian. Yang demikian itu merupakan cobaan besar dari Tuhan kalian,” (Surat Al-Baqarah ayat 49).


Ragam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 49

Imam Jalaluddin dalam Kitab Tafsirul Jalalain mengatakan, kata “kum” atau kalian pada Surat Al-Baqarah ayat 49 merujuk pada bapak moyang masyarakat Yahudi Madinah.


Kata “kum” pada Surat Al-Baqarah ayat 49 dan ayat setelahnya ditujukan kepada masyarakat Yahudi Madinah di zaman Nabi Muhammad SAW sebagai peringatan bagi mereka atas karunia Allah terhadap bapak moyang mereka agar mereka mau beriman kepada Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW.


Fir’aun dan pengikut melakukan penyiksaan demikian kepada Bani Israil karena masukan tukang sihir kepada Fir’aun yang meminta ta’wil mimpinya, “Akan lahir seorang bayi laki-laki di kalangan Bani Israil yang menjadi sebab kehancuran kerajaanmu.”


“Yang demikian itu” pada Surat Al-Baqarah ayat 49 merujuk pada siksa Fir’aun terhadap bapak moyang mereka merupakan cobaan Allah. Tetapi “yang demikian itu” juga dapat merujuk pada penyelamatan Allah terhadap bapak moyang masyarakat Yahudi Madinah dari kejaran Fir’aun yang menjadi nikmat besar dari Allah bagi mereka.


Imam Al-Baidhawi dalam Kitab Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil mengatakan, Fir’aun pada Surat Al-Baqarah ayat 49 merupakan sebutan bagi raja yang menguasai Suku Amaliqah seperti sebutan “Kisra” bagi penguasa Persi dan “Kaisar” bagi bangsa Romawi.


Karena kesombongan dan kezaliman penguasa-penguasa itu, kata benda “Fir’aun” telah menjadi kata kerja. Orang yang angkuh dan zalim disebut “tafar‘anar rajulu.” Fir’aun di zaman Nabi Musa AS bernama Mush‘ab bin Rayan. Ada ahli sejarah mengatakan, Fir’aun di zaman Nabi Musa AS bernama, Walid, putra Mushab. Mereka semua adalah sisa keturunan Kaum Ad. Sedangkan Fir’aun di masa Nabi Yusuf bernama Rayan. Kedua Fir’aun ini berjarak lebih dari 400 tahun.


Pengikut Fir’aun, kata Imam Al-Baidhawi, pergi mengejar Bani Israil untuk menyiksa mereka dengan siksa yang paling mengerikan. Sedangkan “bala” pada Surat Al-Baqarah ayat 49 berarti ujian jika merujuk pada akibat penyiksaan pengikut Fir’aun; atau berarti nikmat jika merujuk pada penyelamatan. “Bala” pada dasarnya adalah ujian Allah untuk hamba-Nya yang kadang berupa “siksaan”  dan kadang berupa kenikmatan.


Surat Al-Baqarah ayat 49 mengingatkan bahwa musibah baik berupa kebaikan maupun keburukan merupakan ujian dari Allah. Hamba-hamba Allah wajib bersyukur atas kebahagiaan yang diterima dan bersabar atas mudharat yang sedang dialami agar menjadi peserta ujian terbaik.


Imam Al-Baghowi dalam Kitab Ma’alimut Tanzil fit Tafsir wat Ta’wil mengatakan, “Ingatlah ketika Kami menyelamatkan kalian,” pendahulu dan nenek moyang kalian. Penyelamatan ini dipandang sebagai nikmat bagi masyarakat Yahudi Madinah karena mereka dapat hidup hingga masa Nabi Muhammad SAW berkat keselamatan pendahulu dan nenek moyang mereka.


Adapun “āli Fir’aun” adalah pengikut dan pemeluk agama Fir’aun. Fir’aun di zaman Nabi Musa AS, kata Imam Al-Baghowi, bernama Al-Walid bin Mush‘ab bin Rayyan. Ia berasal dari suku Amaliqah. Usianya lebih dari 400 tahun.


Bangsa Mesir membebani dan menimpakan siksa yang keras dan buruk kepada imigran Bani Israil di masa Nabi Musa AS. Ada ulama sejarah mengatakan, bangsa Mesir mengganti-ganti jenis siksaan untuk Bani Israil seperti unta ternak. Fir’aun menjadikan mereka sebagai pelayan dan pengiring.


Fir’aun menugaskan sekelompok Bani Israil sebagai pekerja bangunan, sekelompok lagi sebagai petani penggarap atau peladang, dan sekelompok lainnya sebagai pelayan. Sedangkan kelompok yang tidak dipekerjakan dikenakan jizyah oleh Fir’aun.


Wahab, kata Imam Al-Baghowi, bercerita, Bani Israil terbagi atas beberapa kelompok pekerja Fir’aun. Mereka yang kuat bertugas memahat puncak-puncak bukit. Mereka bekerja keras sehingga leher dan tangan mereka terluka; dan punggung mereka terasa mati karena memotong serta memindahkan batu-batu.


Kelompok lainnya mengangkut bebatuan. Kelompok yang berbeda lagi membangun istana dan gedung-gedung. Kelompok lainnya bertugas memerah susu. Ada kelompok bertugas membakar batu bata merah. Kelompok lain menjadi pengrajin kayu dan pandai besi.


Adapun orang-orang lemah secara fisik dikenakan pungutan jizyah yang harus dibayar setiap hari. Masyarakat Bani Israil yang tidak dapat melunasi pajaknya pada saat matahari terbenam akan diikat tangan kanannya pada lehernya selama sebulan. Sedangkan perempuan Bani Israil bertugas memintal, merajut, dan menenun.


Masih dikutip oleh Al-Baghowi, Wahab bercerita terkait Surat Al-Baqarah ayat 49 bahwa Fir’aun suatu ketika bermimpi melihat api yang berasal dari arah Baitul Maqdis mengepung Mesir. Api itu membakar setiap orang Qibti, suku Mesir, tanpa menyentuh masyarakat Bani Israil.


Mimpi menakutkan ini begitu menyusahkan pikiran Fir’aun. Ia bertanya kepada paranormal tentang mimpinya. “Akan lahir di tengah Bani Israil seorang bayi laki-laki yang kelak menghancurkanmu dan melenyapkan kekuasaanmu,” jawab paranormal.


Fir’aun kemudian mengeluarkan kebijakan untuk membunuh setiap bayi laki-laki Bani Israil. Ia lalu mengumpulkan Bani Israil, “Setiap bayi laki-laki terlahir dari kalian mesti dibunuh. Sedangkan bayi perempuan kalian akan dibiarkan hidup.”


Ia menyerahkan eksekusi atas kebijakan tersebut kepada kabilah-kabilah Bani Israil. Mereka melakukan perintah tersebut sampai memakan korban 12.000 (?) anak-anak laki-laki. Wahab mengatakan, “Sebuah informasi sampai padaku bahwa korban bayi laki-laki Bani Israil mencapai 90.000 (?) orang.”


Eksekusi terhadap bayi-bayi Bani Israil berjalan terus. Sementara orang-orang dewasa, terutama lansia, wafat begitu cepat. Melihat gejala ini bangsa Qibti gelisah. Tokoh-tokoh masyarakat Qibti melapor kepada Fir’aun.


Mereka mengatakan, “Kematian terjadi di tengah Bani Israil. Anak-anak mereka kau sembelih. Sedangkan orang dewasa terutama lansia mereka begitu cepat meninggal dunia. Pekerjaan-pekerjaan berat mereka sudah hampir menimpa kami.”


Fir’aun kemudian mengubah kebijakan. Ia memerintahkan penyembelihan bayi laki-laki Bani Israil secara bergilir dengan perhitungan tahun. Mereka menyembelih bayi laki-laki dalam setahun dan meliburkan eksekusi pada tahun sesudahnya. Nabi Harun AS dilahirkan pada tahun libur eksekusi. Sedangkan Nabi Musa AS dlahirkan pada tahun eksekusi berlaku.


Kata “bala” pada Surat Al-Baqarah ayat 49 bermakna nikmat dan juga bermakna kesulitan. Allah, kata Imam Al-Baghowi, menguji hamba-Nya dengan nikmat agar bersyukur dan dengan kesulitan agar bersabar sebagaimana keterangan pada Surat Al-A’raf ayat 168 dan Surat Al-Anbiya ayat 35, “Kami menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan.” 


Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, yang terbakar dalam mimpi Fir’aun adalah rumah-rumah penduduk Qibti. Sedangkan rumah-rumah Bani Israil di Mesir tidak tersentuh oleh api yang datang dari Baitul Maqdis dalam mimpi Fir’aun.


Fir’aun, kata Ibnu Katsir, adalah sebutan untuk penguasa Mesir sebagaimana “Kaisar” untuk setiap penguasa Romawi, “Kisra” untuk penguasa Persia, “Najasyi” untuk penguasa Habasyah, dan “Batolimus” untuk penguasa India. Fir’aun sebagaimana penguasa lainnya adalah orang kafir yang berasal dari suku Amaliq atau Amaliqah.


Fir’aun zaman Nabi Musa, kata Ibnu Katsir, bernama Al-Walid bin Mush’ab bin Rayyan. Ada ahli sejarah mengatakan, ia adalah Mush’ab bin Rayyan. Yang mana pun itu, keduanya orang yang dilaknat Allah. Ia adalah keturunan Amaliq bin Dawud bin Iram bin Sam bin Nuh. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)