Tafsir

Tafsir Surat Al-Haj Ayat 34 : Kurban, Ibadah untuk Mendekatkan Diri pada Allah

Sab, 8 Juni 2024 | 13:00 WIB

Tafsir Surat Al-Haj Ayat 34 : Kurban, Ibadah untuk Mendekatkan Diri pada Allah

Ilustrasi kurban. (Foto: NU Online)

Surat Al-Haj ayat 34 mengandung perintah Allah yang menetapkan syariat bagi setiap umat manusia, termasuk syariat kurban. Syariat ini mengajarkan bahwa ketika seseorang melaksanakan kurban, ia menumpahkan darah hewan sebagai bentuk ibadah dan upaya mendekatkan diri kepada Allah. Dalam proses penyembelihan, orang yang berkurban diwajibkan menyebut dan mengagungkan nama Allah, sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan atas kekuasaan-Nya. Hal ini sekaligus merupakan wujud syukur atas nikmat yang diberikan Allah kepada umat manusia.

 

Tujuan utama dari perintah kurban adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa darah dan daging hewan kurban tidak akan sampai kepada-Nya, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dari hamba-hamba-Nya. Kurban merupakan bentuk ibadah yang mencerminkan keikhlasan dan ketakwaan seseorang. Melalui kurban, seorang Muslim diajarkan untuk bersikap rela berkorban demi menggapai keridhaan Allah, menunjukkan kepatuhan yang tulus, serta menguatkan rasa persaudaraan dengan berbagi daging kurban kepada sesama, terutama kepada mereka yang membutuhkan.

 

Allah berfirman dalam Surat Al-Haj ayat 34:

 

وَلِكُلِّ اُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِّيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلٰى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْۢ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِۗ فَاِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ فَلَهٗٓ اَسْلِمُوْاۗ وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِيْنَۙ 

 

wa likulli ummatin ja‘alnâ mansakal liyadzkurusmallâhi ‘alâ mâ razaqahum mim bahîmatil-an‘âm, fa ilâhukum ilâhuw wâḫidun fa lahû aslimû, wa basysyiril-mukhbitîn

 

Artinya: “Bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban) agar mereka menyebut nama Allah atas binatang ternak yang dianugerahkan-Nya kepada mereka. Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa. Maka, berserahdirilah kepada-Nya. Sampaikanlah (Nabi Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang yang rendah hati lagi taat (kepada Allah).”

 

Tafsir Al-Misbah

Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah mengatakan, surat Al-Haj ayat 34 ini menegaskan bahwa tuntunan berkurban merupakan salah satu bentuk ibadah yang diperintahkan Allah kepada setiap umat. Sejak zaman dahulu, Allah telah mensyariatkan ibadah kurban kepada umat-umat sebelumnya, dengan tujuan agar mereka mendekatkan diri kepada Allah. 

 

Melalui ibadah ini, umat diingatkan akan kebesaran Allah dan diajarkan untuk menyebut nama Allah saja dalam setiap ibadah mereka, termasuk penyembelihan hewan kurban. Ibadah kurban ini juga mengajak umat untuk merenungkan dan mensyukuri rezeki yang Allah anugerahkan, seperti binatang ternak yang diciptakan-Nya untuk kesejahteraan mereka. (Prof. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, [Ciputat: Lentera Hati, 2002], Jilid IX, halaman 53).

 

Selanjutnya, Allah menegaskan bahwa karena Dia yang mensyariatkan ibadah kurban untuk setiap umat, hal ini menunjukkan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, hanya kepada-Nya umat manusia harus berserah diri dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun. 

 

Setiap umat memiliki tuntunan ibadahnya masing-masing yang telah Allah tetapkan, termasuk dalam hal berkurban. Dengan demikian, pelaksanaan ibadah kurban bukan sekadar tradisi, tetapi sebagai bentuk ketaatan dan pengabdian kepada Allah yang telah mengatur segala aspek kehidupan umat manusia.

 

Penggalan ayat ini juga mengarahkan perintah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir yang menerima tuntunan dari Allah untuk menyampaikan ajaran ini kepada umatnya. Nabi diharapkan untuk memberi kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk dan patuh, yaitu mereka yang tulus menyerahkan segala urusan kepada Allah dan merendahkan diri dalam mematuhi segala tuntunan-Nya. Dengan demikian, ajaran kurban ini tidak hanya memiliki nilai ritual, tetapi juga sebagai sarana untuk memperkuat iman dan ketaqwaan umat kepada Allah SWT.

 

Tafsir Al-Munir

Syekh DR. Wahbah Zuhaili dalam kitab Tafsir Al-Munir menjelaskan, pembicaraan ayat 34 dari surat Al-Haj ini memiliki korelasi [munasabah] yang sangat jelas dengan pembahasan pada ayat-ayat sebelumnya. Setelah Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyeru manusia melaksanakan ibadah haji, Allah kemudian menjelaskan pahala bagi orang yang mengagungkan hukum-hukum dan syariat-Nya. 

 

Salah satu bentuk pengagungan ini termasuk melaksanakan manasik haji, yang mencakup berbagai ritual ibadah di Tanah Suci. Pada ayat-ayat tersebut, dijelaskan pula tentang diperbolehkannya memotong hewan ternak seperti unta, sapi, dan kambing, serta mengonsumsi dagingnya kecuali yang diharamkan.

 

Selain itu, ayat-ayat tersebut melanjutkan dengan larangan keras untuk mengagungkan berhala, membuat kebohongan atas nama Allah SWT, dan berdusta dalam memberikan kesaksian. Hal ini menekankan pentingnya menjaga kejujuran dan integritas dalam beragama. 

 

Pada ayat ini, Allah juga menggambarkan kebinasaan bagi orang yang menyekutukan-Nya, menunjukkan betapa besar dosa syirik dalam pandangan Islam. Semua ini mengarah pada satu pesan utama: pengagungan hanya boleh diberikan kepada Allah SWT dan syiar-syiar-Nya, bukan kepada berhala atau entitas lain.

 

Selanjutnya, Allah SWT menjelaskan bahwa sikap mengagungkan syiar-syiar-Nya adalah tanda ketakwaan. Di sini, tempat penyembelihan hewan-hewan al-Hadyu [kurban] yang disembelih sebagai bagian dari ibadah haji adalah di tanah Haram Mekah. 

 

Ini menegaskan bahwa Tanah Suci memiliki kedudukan istimewa dalam pelaksanaan ibadah haji dan syariat Islam. Dengan demikian, menjaga dan mengagungkan tempat-tempat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT menjadi bagian integral dari menunjukkan ketakwaan seorang mukmin.

 

Lebih lanjut, adapun ayat [وَلِكُلِّ اُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا] menjelaskan tentang ketetapan Allah SWT yang mewajibkan ritual penyembelihan hewan kurban pada setiap agama terdahulu sebagai bentuk ibadah dan pendekatan diri kepada-Nya. 

 

Dalam ayat ini, Allah SWT menyatakan bahwa syariat penyembelihan hewan kurban bukan hanya berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW, tetapi juga bagi umat-umat nabi sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa ritual kurban merupakan ibadah yang telah lama diadakan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengingatkan manusia akan nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh-Nya.

 

 الإخبار بجعل نسك الذبح لكل الأمم فيه تحريك النفوس إلى المسارعة إلى هذا البر، والاهتمام بهذه القربة، وفيه إشعار بأن أهل الجاهلية الذين كانوا يذبحون لأصنامهم، ويخلطون في التسمية على ذبائحهم، إنما كانوا يفعلون ذلك من عند أنفسهم، واتباعا لمحض شهواتهم وأهوائهم، فإن شرائع الله كلها قد اتفقت على أن التقرب إنما يكون لله وحده، وباسمه وحده؛ إذ ليس للناس إلا إله واحد

 

Artinya: "Di dalam keterangan bahwa Allah SWT menjadikan tiap-tiap umat memiliki ritual pemotongan hewan kurban terkandung tujuan untuk menggugah jiwa supaya bergegas melaksanakan kebaikan tersebut dan memberikan perhatian serius kepadanya. Di sini juga terkandung isyarat yang memberikan pengertian bahwa masyarakat jahiliyyah yang menyembelih hewan untuk dipersembahkan kepada berhala-berhala dan mencampuradukkan bacaan ketika melakukan penyembelihan sejatinya dilakukan atas inisiatif mereka sendiri. Mereka hanya mengikuti hawa nafsu dan hal tersebut merupakan buatan mereka sendiri. Sebab sesungguhnya seluruh syariat Allah SWT menegaskan satu hal yang sama bahwa berkurban tidak lain hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, atas nama-Nya saja. Manusia tidak memiliki, tetapi hanya Allah Yang Maha Esa.” [Syekh DR. Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir, [Beirut: Darul Fikr Muashir, 1991] Jilid XVII, halaman 206].

 

Penafsiran ayat ini juga didukung oleh pendapat ulama terkemuka seperti Ibnul Arabi yang menyatakan bahwa kata [مَنْسَكًا] dalam konteks ini merujuk pada upaya manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui ibadah. 

 

Ibnul Arabi menekankan bahwa ibadah kurban adalah salah satu cara penting untuk menunjukkan ketaatan dan rasa syukur kepada Allah SWT. Ritual ini melambangkan pengorbanan dan pengabdian yang tulus dari hamba kepada Tuhannya, serta mengingatkan manusia untuk selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan.

 

Lebih lanjut, ayat [لِّيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلٰى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْۢ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِۗ], maksudnya adalah Allah SWT menetapkan penyembelihan hewan ternak dalam ritual kurban agar umat manusia menyebut Nama-Nya ketika melakukan penyembelihan tersebut. Tindakan ini bukan hanya sekadar ritual fisik, tetapi juga memiliki makna spiritual yang dalam.

 

Menyebut Nama Allah SWT saat menyembelih hewan kurban merupakan bentuk dzikir dan pengakuan atas kebesaran serta kemurahan-Nya. Selain itu, melalui penyembelihan hewan kurban, umat manusia diajarkan untuk mensyukuri nikmat rezeki dan anugerah yang telah Allah berikan.

 

Hal ini diperkuat oleh hadits yang bersumber dari riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari sahabat Anas bin Malik, ia berkata,

 

أتي رسول الله صلّى الله عليه وسلم بكبشين أملحين أقرنين، فسمّى وكبّر، ووضع رجله على صفاحهما

 

Artinya: “Rasulullah SAW datang membawa dua ekor domba jantan yang gemuk dan bertanduk dua. Beliau kemudian membaca basmallah, mengucapkan takbir, dan meletakkan kaki beliau di sisi tubuh kedua domba tersebut.” [HR. Bukhari dan Muslim].

 

Pada sisi lain, ada hadits dari Imam Ahmad dan Ibnu Majah, bersumber dari Zaid bin Arqam, ia berkata:

 

قال: قلت يا رسول الله، ما هذه الأضاحي؟ قال: سنة أبيكم إبراهيم قالوا: ما لنا منها؟ قال: بكل شعرة حسنة قال: فالصوف؟ قال: بكل شعرة من الصوف حسنة

 

Artinya: "Dia (seseorang) berkata: Aku berkata, Wahai Rasulullah, apakah hewan-hewan kurban ini? Beliau menjawab: Ini adalah sunnah dari bapak kalian, Ibrahim. Mereka bertanya: Apa yang kami dapatkan darinya? Beliau menjawab: Untuk setiap helai rambut ada satu kebaikan. Dia bertanya lagi, Bagaimana dengan bulu (domba)? Beliau menjawab: Untuk setiap helai bulu ada satu kebaikan." [HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah].

 

Dengan demikian, ayat 34 ini secara keseluruhan, merupakan kelanjutan dari pembahasan tentang ibadah haji dan kurban, serta pentingnya menjaga keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT. Ayat ini memberikan pesan moral yang penting bagi umat manusia agar selalu berpegang teguh pada ajaran Islam dan menjauhi segala perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.

 

Tafsir Ar-Razi

Adapun Imam Fakhruddin Ar Razi, dalam kitab Mafatih al-Ghaib menjelaskan, ayat 34 menekankan bahwa setiap umat memiliki bentuk ritual kurban tertentu yang telah disyariatkan oleh Allah. Ritual ini bukan hanya sekadar tindakan seremonial semata, tetapi memiliki tujuan spiritual, yaitu untuk mengingat dan menyebut nama Allah. Dalam konteks ini, kurban yang dilakukan sejak zaman Nabi Ibrahim hingga umat setelahnya memiliki makna untuk mendekatkan diri kepada Allah. 

 

Dengan melaksanakan manasik haji, umat Islam diingatkan akan kebesaran dan kebaikan Allah, serta pentingnya pengabdian yang tulus. Ini juga menunjukkan bahwa ibadah kurban adalah bentuk ibadah yang universal, di mana esensinya tetap sama meskipun bentuknya bisa berbeda-beda sesuai dengan syariat yang ditetapkan untuk setiap umat.

 

Lebih jauh lagi, tafsir ini juga menyoroti perbedaan praktik di masa lalu, seperti bagaimana orang Arab jahiliyah melakukan penyembelihan hewan untuk berhala, yang bertentangan dengan tujuan sejati dari kurban dalam Islam.  

 

Dalam Islam, pelaksanaan kurban dan manasik haji adalah cara yang signifikan untuk mendekatkan diri kepada Allah, membangun kesadaran akan kehadiran-Nya, serta memperkuat ikatan spiritual umat dengan Sang Pencipta.

 

أَمَّا قَوْلُهُ تَعَالَى: وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنا مَنْسَكاً لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فَالْمَعْنَى شَرَعْنَا لِكُلِّ أُمَّةٍ مِنَ الْأُمَمِ السَّالِفَةِ مِنْ عَهْدِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَى مَنْ بَعْدَهُ ضَرْبًا مِنَ الْقُرْبَانِ وَجَعَلَ الْعِلَّةَ فِي ذَلِكَ أَنْ يَذْكُرُوا اسْمَ اللَّه تَقَدَّسَتْ أَسْمَاؤُهُ عَلَى الْمَنَاسِكِ، وَمَا كَانَتِ الْعَرَبُ تَذْبَحُهُ لِلصَّنَمِ يُسَمَّى الْعَتْرَ وَالْعَتِيرَةَ كَالذَّبْحِ وَالذَّبِيحَةِ، وَقَرَأَ أَهْلُ الْكُوفَةِ إِلَّا عَاصِمًا مَنْسِكًا بِكَسْرِ السِّينِ وَقَرَأَ الْبَاقُونَ بِالْفَتْحِ وَهُوَ مَصْدَرٌ بِمَعْنَى النُّسُكِ وَالْمَكْسُورُ بِمَعْنَى الْمَوْضِعِ.

 

Artinya: "Adapun firman Allah Ta'ala: [وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنا مَنْسَكاً لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ] ." Maknanya adalah: Kami telah mensyariatkan bagi setiap umat dari umat-umat terdahulu sejak zaman Nabi Ibrahim 'alaihissalam sampai sesudahnya, suatu jenis kurban. Dan Allah menjadikan sebabnya adalah agar mereka mengingat nama Allah Ta'ala pada saat melakukan manasik haji. Dan orang-orang Arab dahulu kala menyembelih hewan kurban untuk berhala yang mereka sebut dengan 'al-'atr dan 'al-'atirah', seperti menyembelih hewan yang disebut 'adh-dhabh' dan 'adh-dhabihah'. Dan orang-orang Kufah, kecuali 'Asim, membaca kata "مَنْسِكًا" dengan kasrah pada huruf sin-nya. Sedangkan orang-orang lainnya membacanya dengan fathah. Kata " مَنْسَكاً" adalah bentuk masdar  yang bermakna "pengabdian", sedangkan bacaan dengan kasrah bermakna "tempat". [Imam Fakhruddin Ar Razi, Mafatih al-Ghaib, [Beirut: Darul Turats al-Arabi, 1420 H] Jilid XXIII, halaman 225].

 

Dengan demikian, surat Al-Haj ayat 34 mengandung perintah tentang kurban. Dalam ayat ini, Allah SWT menjelaskan bahwa setiap umat telah diberi syariat untuk berkurban sebagai bentuk ibadah kepada-Nya. Kurban adalah tindakan menyembelih binatang ternak pada hari raya Idul Adha sebagai wujud ketaatan dan syukur kepada Allah. 

 

Berkurban bukan hanya simbolis tetapi juga menegaskan pentingnya pengorbanan dalam menjalankan perintah Allah dan mengikuti teladan Nabi Ibrahim AS yang bersedia mengorbankan putranya, Ismail AS, atas perintah Allah. Wallahu a‘lam.

 

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Tafsir Tinggal di Ciputat