Tafsir Surat Ali Imran Ayat 31: Hakikat Cinta Sejati Pada Allah, Mengikuti Ajaran Rasulullah
NU Online · Senin, 23 September 2024 | 06:30 WIB
Zainuddin Lubis
Penulis
Abu Thalib Al-Makki, dalam kitab Qutul Qulub, mengungkapkan bahwa cinta (mahabbah) kepada Allah merupakan salah satu tingkatan tertinggi yang dicapai oleh orang-orang yang benar-benar mengenal-Nya (arifin).
Cinta ini adalah anugerah dari Allah yang diberikan kepada hamba-hamba yang ikhlas dan tulus dalam beribadah. Bagi mereka yang mencintai Allah, cinta ini memiliki keutamaan yang sangat agung dan menjadi puncak dari segala amal ibadah serta kebaikan.
Lantas bagaimana wujud cinta sejati itu? Al-Qur'an Surat Ali Imran ayat 31 menjelaskan, bahwa tanda cinta sejati kepada Allah adalah dengan mengikuti ajaran Nabi Muhammad. Mengikuti di sini berarti melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan yang disyariatkan melalui Nabi Muhammad, serta melaksanakan sunnah-sunnahnya.
Baca Juga
Arti Ka’bah dalam Kajian Tafsir Mimpi
Simak firman Allah berikut;
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ٣١
qul ing kuntum tuḫibbûnallâha fattabi‘ûnî yuḫbibkumullâhu wa yaghfir lakum dzunûbakum, wallâhu ghafûrur raḫîm
Artinya; "Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Tafsir Al-Munir
Surah Ali Imran ayat 31 diturunkan berkaitan dengan klaim beberapa kaum pada masa Rasulullah saw. yang mengatakan bahwa mereka mencintai Allah SWT. Menurut riwayat Ibnu Mundzir dari Hasan al-Bashri, mereka berkata, "Wahai Muhammad, sungguh demi Allah, kami mencintai Tuhan kami." Sebagai jawaban atas pernyataan tersebut, Allah menurunkan ayat ini untuk menguji kebenaran cinta mereka kepada-Nya.
Sementara itu, menurut Muhammad bin Ja'far bin Zubair, ayat ini juga berkaitan dengan utusan kaum Nasrani dari Najran yang menyatakan bahwa kecintaan mereka kepada Allah ditunjukkan melalui keyakinan mereka terhadap Nabi Isa a.s. yang dianggap sebagai bentuk pengabdian kepada Allah.
Ibnu Abbas r.a. menyebutkan bahwa ayat ini juga diturunkan untuk menanggapi klaim kaum Yahudi yang mengaku sebagai anak-anak Allah dan kekasih-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah di surat Al-Maidah ayat 18;
وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصٰرٰى نَحْنُ اَبْنٰۤؤُ اللّٰهِ وَاَحِبَّاۤؤُهٗۗ
Artinya; "Orang Yahudi dan orang Nasrani berkata, “Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya."
Ketika Rasulullah saw. menyampaikan ayat ini kepada mereka, kaum Yahudi menolak untuk menerima kebenarannya. Secara umum, ayat ini menegaskan bahwa siapa saja yang mengklaim mencintai Allah haruslah mengikuti Rasulullah saw. dan menaati segala perintahnya. Klaim cinta kepada Allah tanpa mengikuti ajaran Rasulullah adalah sebuah kepalsuan.
Menurut Ibnu Katsir, seperti dikutip Syekh Wahbah Zuhaili, ayat ini merupakan bentuk teguran atau penegasan bahwa siapa pun yang mengaku mencintai Allah SWT, tetapi tidak mengikuti jalan Nabi Muhammad SAW, maka ia berdusta.
Selama seseorang belum menjalankan agama dan syariat Nabi Muhammad SAW. dalam setiap perkataan dan perbuatannya, maka klaim kecintaannya itu tidak benar. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam Shahih Muslim,
«من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو ردّ».
Artinya; "Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada dasarnya dalam agama kami, maka perbuatan itu ditolak."
Lebih lanjut, cinta sejati kepada Allah SWT dan Rasulullah bukan sekadar perasaan di dalam hati, melainkan diwujudkan dengan mengikuti ajaran Islam secara sempurna. Hal ini meliputi ketaatan kepada Rasulullah dengan mengamalkan syariat Islam, yang ia ajarkan, menjalankan setiap perintah, serta menjauhi segala larangan Allah.
Cinta kepada Rasulullah SAW bukanlah sekadar cinta kepada sosoknya sebagai individu, tetapi lebih karena ia adalah utusan Allah SWT yang diutus untuk seluruh umat manusia dan jin. Oleh sebab itu, bukti nyata dari cinta yang tulus dan benar kepada Rasulullah adalah dengan mengikuti setiap ajaran dan petunjuk yang beliau bawa.
إن محبّة الله والرّسول تتجلّى في اتّباع الإسلام وإطاعة رسول الله صلّى الله عليه وسلّم والعمل بشريعته، واتّباع أوامره واجتناب نواهيه. ومحبة الرّسول صلّى الله عليه وسلّم لا لذاته وإنما لكونه رسولا مرسلا من عند الله إلى جميع الثقلين: الجنّ والإنس. فاتّباع شرع النّبي محمد صلّى الله عليه وسلّم هو دليل الحبّ الصادق
Artinya; "Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya tercermin dalam mengikuti ajaran Islam, menaati Rasulullah , dan mengamalkan syariat-Nya, serta mematuhi perintah-perintahnya dan menjauhi larangannya. Cinta kepada Rasulullah bukanlah karena pribadinya, melainkan karena beliau adalah utusan yang diutus oleh Allah kepada seluruh makhluk, baik jin maupun manusia. Maka, mengikuti syariat Nabi Muhammad adalah bukti cinta yang sejati." (Tafsir Munir, [Beirut: Darul Fikr al-Mu'ashirah, 1991 M], jilid III, halaman 208).
Sementara itu, Syekh Abu Thalib al-Makki, menjelaskan bahwa cinta kepada Allah adalah hal yang sangat penting dalam agama Islam. Di kitab Qutul Qulub, ia menjelaskan bahwa siapa yang mencintai Allah, maka akan diampuni segala dosanya. Allah sendiri berjanji akan mencintai dan mengampuni orang-orang yang beriman kepada-Nya. Sebagaimana tertulis dalam firman Allah;
يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْۗ
Artinya; "Niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.”
Kata Abu Thalib Al-Makki, lebih lanjut, cinta kepada Allah ini tidaklah sama untuk setiap orang. Semakin dekat kita dengan Allah, semakin besar pula cinta kita kepada-Nya. Tanda nyata dari cinta kepada Allah adalah dengan selalu taat pada perintah dan menerima segala ketetapan Allah. Jadi, semakin kita taat dan ikhlas, semakin besar pula cinta kita kepada Allah.
Pun, Al-Quran juga mengajarkan tentang tingkatan cinta kepada Allah. Tidak semua orang yang beriman memiliki cinta yang sama besarnya. Ada yang cintanya lebih besar, ada pula yang lebih kecil. Sama halnya dengan ketakwaan, semakin kita bertakwa, semakin mulia kedudukan kita di sisi Allah. Jadi, semakin kita mencintai Allah dan bertakwa kepada-Nya, semakin dekat pula kita dengan-Nya.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah:
يُّحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللّٰهِ ۗ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَشَدُّ حُبًّا لِّلّٰهِ
Artinya; “mereka cintai seperti mencintai Allah. Dan orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah” (QS. Al-Baqarah: 165).
Kata "sangat" ini menunjukkan adanya perbedaan dalam kadar cinta mereka, yang berarti lebih dari sekadar kuat, tetapi menunjukkan tingkatan yang terus meningkat. Intinya, cinta kepada Allah itu penting dan memiliki banyak tingkatan. Semakin seseorang mencintai Allah, semakin kita berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik. Dengan begitu, kita akan merasakan kebahagiaan dan kedamaian yang hakiki.
Dalam sebuah hadits disebutkan,
لا يؤمن أحدكم حتى يكون الله ورسوله أحبّ إليه مما سواهما
Artinya; “Tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang lain.” (HR. Imam Bukhari)
Imam Al-Qurthubi dalam kitab Tafsir Al-Jāmi' Li Ahkām Al-Qur'ān, mengatakan bahwa ayat ini ketaatan seorang hamba kepada Allah dan Rasulullah sebagai bukti cinta yang sejati. Menurut Al-Azhari, kecintaan seorang hamba kepada Allah yang diungkapkan dalam ayat ini berarti menaati segala perintah Allah dan mengikuti ajaran Rasul-Nya.
Hal ini menunjukkan bahwa cinta kepada Allah tidak hanya sekadar perasaan atau pengakuan lisan, tetapi harus diwujudkan melalui tindakan nyata yang mencerminkan kepatuhan dan ketundukan kepada syariat Islam. Dengan kata lain, mencintai Allah berarti mengikuti Rasulullah dalam segala aspek kehidupan, baik yang bersifat lahiriah seperti ibadah maupun batiniah seperti akhlak dan niat.
Pada sisi lain, menurut Abu Darda, maksud dari firman Allah SWT [قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ] adalah bahwa Rasulullah SAW pernah menjelaskan bahwa jika seorang hamba ingin dicintai oleh Allah, maka ia harus melakukan kebaikan, bertakwa, rendah hati, dan menunjukkan kasih sayang.
Selain itu, seseorang yang mencintai Allah akan menerima balasan cinta. Dalam lanjutan ayat tersebut, Allah berfirman "يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ" yang berarti "Allah akan mengasihi kalian".
Artinya, Allah akan memberikan ampunan dan rahmat kepada mereka yang mengikuti Rasulullah. Ampunan ini merupakan manifestasi kasih sayang Allah yang paling agung, karena dengan ampunan tersebut, dosa-dosa seorang hamba dihapuskan dan ia dijauhkan dari siksa.
عَلَامَةُ حُبِّ اللَّهِ حُبُّ الْقُرْآنِ، وعلامة حب الْقُرْآنِ حُبُّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَلَامَةُ حُبِّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حُبُّ السُّنَّةِ، وَعَلَامَةُ حُبِّ اللَّهِ وَحُبِّ الْقُرْآنِ وحب النبي وَحُبِّ السُّنَّةِ حُبُّ الْآخِرَةِ، وَعَلَامَةُ حُبِّ الْآخِرَةِ أن يجب نَفْسَهُ، وَعَلَامَةُ حُبِّ نَفْسِهِ أَنْ يُبْغِضَ الدُّنْيَا، وَعَلَامَةُ بُغْضِ الدُّنْيَا أَلَّا يَأْخُذَ مِنْهَا إِلَّا الزَّادَ وَالْبُلْغَةَ.
Artinya; Tanda cinta kepada Allah adalah cinta kepada Al-Qur'an. Tanda cinta kepada Al-Qur'an adalah cinta kepada Nabi Muhammad . Tanda cinta kepada Nabi Muhammad adalah cinta kepada sunnah. Tanda cinta kepada Allah, cinta kepada Al-Qur'an, cinta kepada Nabi, dan cinta kepada sunnah adalah cinta kepada akhirat. Tanda cinta kepada akhirat adalah bahwa seseorang mengutamakan dirinya (untuk akhirat). Tanda cinta kepada dirinya adalah membenci dunia. Tanda benci kepada dunia adalah tidak mengambil darinya kecuali bekal dan kebutuhan secukupnya. (Imam Al-Qurthubi, Al-Jāmi' Li Ahkām Al-Qur'ān, Jilid IV, [Kairo: Darul Kutub al-Mishriyah, 1964], halaman 61).
Dengan demikian, ayat ini menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara seorang hamba dengan Allah. Ketaatan seorang hamba kepada Allah merupakan bentuk cintanya kepada Sang Pencipta.
Cinta ini diwujudkan melalui kepatuhan dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan, yang telah dibawa oleh Rasulullah. Sebagai balasannya, Allah menunjukkan cinta kepada hamba tersebut melalui ampunan dan rahmat di dunia dan akhirat kelak. Dengan demikian, hubungan antara cinta hamba kepada Allah dan cinta Allah kepada hamba-Nya terjalin erat dan saling melengkapi. Wallahu a'lam
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam, tinggal di Parung
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
3
Pentingnya Kematangan Pola Pikir dan Literasi Finansial dalam Perencanaan Keuangan
4
PBNU Rencanakan Indonesia Jadi Pusat Syariah Dunia
5
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
6
Sejarawan Kritik Penulisan Sejarah Resmi: Abaikan Pluralitas, Lahirkan Otoritarianisme
Terkini
Lihat Semua