Tafsir

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 92: Dalil Wakaf dalam Al-Qur'an

Kamis, 13 Maret 2025 | 10:00 WIB

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 92: Dalil Wakaf dalam Al-Qur'an

Ilustrasi proses wakaf. SUmber: Canva/NU Online.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dijelaskan secara definisi, wakaf adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya agar dimanfaatkan secara permanen atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan tujuannya, guna kepentingan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.


Dengan kata lain, wakaf adalah tindakan seseorang atau kelompok untuk mengalihkan kepemilikan suatu harta benda dengan tujuan dimanfaatkan secara terus-menerus atau dalam jangka waktu tertentu sesuai ketentuan syariah Islam. Harta benda yang diwakafkan tidak boleh dijual, diwariskan, atau dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain.


Lagi, menurut UU No. 41 Tahun 2004, harta benda yang dapat diwakafkan terdiri dari: Pertama, harta benda tidak bergerak, seperti tanah, bangunan, atau rumah ibadah. Kedua, harta benda bergerak, seperti uang, logam mulia, surat berharga, atau hak kekayaan intelektual.


Salah satu ayat yang sering dijadikan dalil dalam pembahasan wakaf adalah Surat Ali Imran ayat 92:


لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَۗ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ ۝٩٢


lan tanâlul-birra ḫattâ tunfiqû mimmâ tuḫibbûn, wa mâ tunfiqû min syai'in fa innallâha bihî ‘alîm


Artinya, "Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa pun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya."


Mengomentari ayat ini, Ibnu Jarir At-Thabari, dalam Tafsir Jamiul Bayan, menjelaskan bahwa kebajikan sejati (al-birr) hanya dapat diraih dengan menginfakkan harta yang paling dicintai, bukan sekadar memberikan sesuatu yang tidak bernilai atau kurang berharga. Lebih jauh lagi, infak yang disebut dalam ayat ini tidak terbatas pada sedekah biasa, melainkan mencakup bentuk-bentuk kedermawanan yang lebih luas, termasuk wakaf dan sedekah.


Sejatiya, Wakaf merupakan pemberian harta yang bersifat kekal demi kepentingan umum dan kemaslahatan umat. Dalam wakaf, seseorang menyerahkan harta terbaiknya demi kemaslahatan umum, seperti membangun masjid, sekolah, atau fasilitas sosial lainnya. Dengan demikian, wakaf bukan hanya sekadar sedekah biasa, tetapi bentuk kebaikan yang lebih luas dan berdampak panjang, sebagaimana ditekankan dalam ayat ini.

 
Lebih jauh lagi, Imam At-Thabari mengatakan, Allah SWT mengetahui segala bentuk infak yang diberikan oleh seseorang, termasuk wakaf yang berasal dari harta yang paling dicintai.


وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ ۝٩٢


Artinya, “Dan apa saja yang kalian infakkan dari sesuatu, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (QS. Ali Imran: 92)


Untuk itu, Allah mengetahui setiap infaq yang diberikan dengan ikhlas. Wakaf sebagai bentuk infak jangka panjang menjadi salah satu cara terbaik untuk mencapai kebajikan yang sempurna, sebagaimana dianjurkan dalam ayat ini. Simak keterangan Imam Thabari;


وأما قوله:”وما تنفقوا من شيء فإن الله به عليم”، فإنه يعني به: ومهما تنفقوا من شيء فتتصدقوا به من أموالكم، فإنّ الله تعالى ذكرُه بما يتصدَّق به المتصدِّق منكم، فينفقه مما يحبّ من ماله في سبيل الله وغير ذلك -”عليم”، يقول: هو ذو علم بذلك كله، لا يعزُبُ عنه شيء منه، حتى يجازي صاحبه عليه جزاءَه في الآخرة


Artinya; "Adapun firman-Nya: 'Dan apa saja yang kalian infakkan dari sesuatu, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya,' maksudnya adalah: apa pun yang kalian infakkan dan sedekahkan dari harta kalian, maka sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Mengetahui apa yang disedekahkan oleh orang-orang yang bersedekah di antara kalian. Mereka menginfakkannya dari harta yang mereka cintai di jalan Allah dan lainnya," (Imam Thabari, Tafsir Jamiul Bayan, [Makkah, Darut Tarbiyah wa Turats, tt], Jilid VI, hlm. 587).


Selanjutnya, surat Ali Imran, ayat 92, jika ditilik lebih jauh, maka akan ditemukan munasabah dengan ayat lain. Misalnya, ada keterhubungan/munasabah dengan surat Al-Baqarah ayat 267, yang berisi perintah Allah orang-orang beriman untuk menginfakkan harta yang baik dan halal dari hasil usaha mereka. Allah melarang menginfakkan harta yang buruk atau tidak layak, yang bahkan mereka sendiri enggan menerimanya. 


Prinsip ini sejalan dengan wakaf, di mana harta yang diwakafkan sebaiknya adalah harta yang berkualitas dan bermanfaat bagi umat. Oleh karena itu, baik dalam infak maupun wakaf, Islam menekankan bahwa harta terbaiklah yang seharusnya diberikan demi mendapatkan ridha Allah.


اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِۗ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِاٰخِذِيْهِ اِلَّآ اَنْ تُغْمِضُوْا فِيْهِۗ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ ۝٢٦٧


Artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu infakkan, padahal kamu tidak mau mengambilnya, kecuali dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Ketahuilah bahwa Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji."


Sementara itu, mufasir lain, Imam Fakhruddin ar-Razi dalam Tafsir Mafatihul Ghaib menjelaskan dalam ayat sebelumnya [91], Allah menyatakan bahwa harta dan infak orang yang meninggal dalam kekufuran tidak dapat menebus mereka dari azab. Sementara itu, dalam ayat 92 ini, Allah menjelaskan bahwa siapa pun yang menginfakkan harta yang dicintainya, maka ia termasuk golongan orang-orang yang berbuat kebajikan (abrâr). 


Golongan "abrar" (orang-orang yang berbuat kebajikan atau kebaikan). Mereka akan memperoleh kenikmatan, dan kelak beroleh surga. Ini ditegaskan dalam surat  Al-Muthaffifin ayat 22:


اِنَّ الْاَبْرَارَ لَفِيْ نَعِيْمٍۙ ۝٢٢


Artinya, "Sesungguhnya orang-orang yang berbakti/berbuat kebajikan benar-benar berada dalam (surga yang penuh) kenikmatan."


Begitu juga ditegaskan dalam surat Insan ayat 5, Allah menyebut ganjaran orang yang berbuat kebajikan:


اِنَّ الْاَبْرَارَ يَشْرَبُوْنَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُوْرًاۚ ۝٥


Artinya, "Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan akan minum (khamar) dari gelas yang campurannya air kafur."


Penjelasan lebih mendetail tentang balasan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan dalam, akan ditemui dalam Surah Al-Muthaffifin ayat 22-26:


إِنَّ الْأَبْرارَ لَفِي نَعِيمٍ عَلَى الْأَرائِكِ يَنْظُرُونَ تَعْرِفُ فِي وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيمِ يُسْقَوْنَ مِنْ رَحِيقٍ مَخْتُومٍ خِتامُهُ مِسْكٌ وَفِي ذلِكَ فَلْيَتَنافَسِ الْمُتَنافِسُونَ


Artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan benar-benar berada dalam kenikmatan. Mereka berada di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat melihat pada wajah mereka cahaya kenikmatan. Mereka diberi minum dengan minuman murni yang tersegel, penutupnya adalah kesturi, dan untuk yang demikian itu hendaknya orang-orang berlomba-lomba.” (QS. Al-Muthaffifin: 22-26).


Makna Infaq dalam Ali Imran 92

Selanjutnya, Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Tafsir Mafatihul Ghaib menjelaskan bahwa para mufasir memiliki perbedaan pendapat mengenai makna infak dalam Surah Ali Imran ayat 92.


Sebagian ulama, seperti Ibnu Abbas, berpendapat bahwa infak yang dimaksud dalam ayat ini adalah zakat, yakni kewajiban mengeluarkan sebagian harta sebagai zakat agar dapat mencapai kebajikan. Pendapat ini menegaskan bahwa seseorang tidak akan mencapai kesempurnaan dalam kebajikan hingga mereka menunaikan kewajiban zakat dari harta yang mereka miliki.


Begitu juga dengan Al-Qadhi Iyadh, memilih pendapat pertama, yang menyatakan bahwa infak dalam ayat ini adalah infak wajib, karena Allah mengaitkannya dengan status seseorang sebagai orang yang berbakti (al-abrar) dan keberhasilan meraih surga.

Namun, pendapat lain dikemukakan oleh Al-Hasan Bashri, yang menyatakan bahwa setiap harta yang dikeluarkan oleh seorang Muslim dengan niat mencari ridha Allah termasuk dalam makna ayat ini. Ia menekankan bahwa kebajikan tidak hanya dicapai dengan zakat wajib, tetapi juga dengan segala bentuk infak yang dilakukan dengan ikhlas, meskipun hanya berupa sebutir kurma. 


Pendapat Hasan Bashri ini sejatinya memperluas makna infak dalam ayat ini sehingga mencakup segala bentuk pemberian, baik wajib maupun sunnah, asalkan dilakukan karena Allah. Pun, kitab bisa memasukkan wakaf dalam bentuk ini. 


Sementara itu,  Imam Fakhruddin Ar-Razi lebih cenderung pada pandangan bahwa infaq dalam ayat ini berbicara tentang infak sunnah. Ia berargumen bahwa ayat ini menekankan pemberian harta yang paling dicintai, sementara dalam zakat wajib, seseorang tidak diwajibkan memberikan harta terbaiknya. 


Oleh karena itu, menurutnya, ayat ini lebih tepat dipahami sebagai anjuran untuk memberikan harta terbaik secara sukarela, bukan dalam konteks kewajiban zakat. Simak keterangan berikut:


الْمَسْأَلَةُ الرَّابِعَةُ: اخْتَلَفَ الْمُفَسِّرُونَ فِي أَنَّ هَذَا الْإِنْفَاقَ، هَلْ هُوَ الزَّكَاةُ أَوْ غَيْرُهَا؟ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: أَرَادَ بِهِ الزَّكَاةَ، يَعْنِي حَتَّى تُخْرِجُوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ، وَقَالَ الْحَسَنُ: كُلُّ شَيْءٍ أَنْفَقَهُ الْمُسْلِمُ مِنْ مَالِهِ طَلَبَ بِهِ وَجْهَ اللَّهِ فَإِنَّهُ مِنَ الَّذِينَ عَنَى اللَّهُ سُبْحَانَهُ بِقَوْلِهِ لَنْ تَنالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ حَتَّى التَّمْرَةَ، وَالْقَاضِي اخْتَارَ الْقَوْلَ الْأَوَّلَ، وَاحْتَجَّ عَلَيْهِ بِأَنَّ هَذَا الْإِنْفَاقَ، وَقَفَ اللَّهُ عَلَيْهِ كَوْنَ الْمُكَلَّفِ مِنَ الْأَبْرَارِ، وَالْفَوْزَ بِالْجَنَّةِ، بِحَيْثُ لَوْ لَمْ يُوجَدْ هَذَا الْإِنْفَاقُ، لَمْ يَصِرِ الْعَبْدُ بِهَذِهِ الْمَنْزِلَةِ، وَمَا ذَاكَ إِلَّا الْإِنْفَاقُ الْوَاجِبُ، وَأَقُولُ: لَوْ خَصَّصْنَا الْآيَةَ بِغَيْرِ الزَّكَاةِ لَكَانَ أَوْلَى لِأَنَّ الْآيَةَ مَخْصُوصَةٌ بِإِيتَاءِ الْأَحَبِّ، وَالزَّكَاةَ الْوَاجِبَةَ لَيْسَ فِيهَا إِيتَاءُ الْأَحَبِّ، فَإِنَّهُ لَا يَجِبُ عَلَى الْمُزَكِّي أَنْ يُخْرِجَ أَشْرَفَ أَمْوَالِهِ وَأَكْرَمَهَا، بَلِ الصَّحِيحُ أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ مَخْصُوصَةٌ بِإِيتَاءِ الْمَالِ عَلَى سَبِيلِ الندب

Artinya, “Para mufasir berbeda pendapat mengenai makna infak dalam ayat ini. Apakah yang dimaksud adalah zakat atau selainnya? Ibnu Abbas berkata, 'Yang dimaksud adalah zakat, yaitu hingga kalian mengeluarkan zakat dari harta kalian.'

Sedangkan Al-Hasan berkata, 'Setiap harta yang dinafkahkan seorang Muslim dengan tujuan mengharap ridha Allah, maka ia termasuk dalam firman Allah: "Kalian tidak akan mencapai kebajikan sebelum kalian menginfakkan sebagian dari apa yang kalian cintai" (QS. Ali Imran: 92), bahkan meskipun hanya sebutir kurma.'


Al-Qadhi memilih pendapat pertama dan berargumen bahwa infak dalam ayat ini dikaitkan dengan status seseorang sebagai orang yang berbakti (al-abrar) dan keberhasilan meraih surga. Dengan kata lain, jika infak ini tidak dilakukan, seseorang tidak akan mencapai kedudukan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah infak yang bersifat wajib.


Namun, menurut saya, jika ayat ini ditafsirkan bukan sebagai zakat, itu lebih tepat. Sebab, ayat ini secara khusus menekankan pemberian dari harta yang paling dicintai, sedangkan dalam zakat yang wajib, tidak disyaratkan untuk memberikan harta yang paling berharga. Sebab, seorang muzakki (pemberi zakat) tidak diwajibkan mengeluarkan harta terbaik atau paling mulia miliknya. Oleh karena itu, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa ayat ini berbicara tentang infak harta yang bersifat anjuran (sunnah),” (Imam Fakhruddin Ar Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut: Darul Kutub al-'Ilmiyah, 1420 H], Jilid VIII, hlm. 289).


Sementara itu, Ibnu Asyur menjelaskan bahwa makna infak dalam Surah Ali Imran ayat 92 memiliki cakupan yang luas. Infak dalam ayat ini tidak hanya terbatas pada pemberian harta, tetapi juga mencakup makanan dan pakaian. Kata Ibnu Asyur, infaq itu adalah pengeluaran/pemberian berupa harta, pakaian, dan makanan (Tafsir Tahrir wat Tanwir, [Tunisia: Darul Tunisiyah lin Nasyar, 1984 M], Jilid IV, hlm. 6).


Hal ini menunjukkan bahwa infaq tidak hanya berkaitan dengan materi dalam bentuk uang, tetapi juga mencakup berbagai bentuk kebaikan yang dapat memberikan manfaat bagi orang lain. Dengan demikian, konsep infak dalam ayat ini menegaskan pentingnya sikap dermawan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam bentuk bantuan langsung maupun melalui pemberian yang lebih berkelanjutan.


Lebih dari sekadar sedekah biasa, infaq dalam ayat ini juga dapat merujuk pada konsep wakaf. Wakaf merupakan bentuk pemberian yang manfaatnya bisa dirasakan secara terus-menerus oleh masyarakat, seperti tanah untuk masjid, sekolah, atau sumber air bersih. 

 

Dengan memahami makna luas dari infaq yang dijelaskan oleh Ibnu Asyur, seorang Muslim dapat lebih sadar bahwa berbagi tidak hanya terbatas pada pemberian sesaat, tetapi juga dapat berupa amal jariyah yang terus memberikan manfaat dalam jangka panjang. Oleh karena itu, ayat ini mengajarkan pentingnya memberikan sesuatu yang terbaik dan bermanfaat sebagai bentuk ketakwaan kepada Allah.

 

Lebih jauh lagi, harta yang dicintai seseorang bisa berbeda-beda tergantung pada kondisi, keinginan, dan tingkat kekayaan yang dimiliki. Pemberian dalam Islam mencerminkan kedermawanan dan kesungguhan seseorang dalam mengharap ridha Allah. 


Perbuatan ini merupakan bentuk penyucian jiwa dari sifat kikir yang masih melekat dalam diri manusia. Dalam Al-Qur'an, Allah Ta'ala berfirman:
 

وَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَۚ ۝٩


Artinya, “Dan siapa yang dijaga dari sifat kikir dalam dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung,” (QS. Al-Hasyr: 9). 


Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang yang mampu mengendalikan kecintaannya terhadap harta dengan cara menginfakkannya di jalan Allah adalah orang yang beruntung dan mendapatkan kemuliaan.


Pemberian baik berupa harta, pakaian, maupun makanan sejatinya membawa dampak sosial yang besar bagi masyarakat. Ketika orang-orang kaya bermurah hati kepada mereka yang kurang mampu dengan memberikan sebagian dari harta terbaik mereka, kesenjangan sosial akan berkurang. 


Hal ini mempererat ikatan persaudaraan dan menciptakan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, infak bukan hanya sekadar ibadah individual, tetapi juga sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bersama serta membangun solidaritas sosial dalam komunitas Muslim (Ibnu Asyur, Tafsir Tahrir wat Tanwir, Jilid IV, hlm. 6).


Dengan demikian, wakaf adalah suatu bentuk amal yang memiliki dampak besar bagi masyarakat. Dengan adanya regulasi dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, wakaf dapat dikelola secara lebih profesional dan transparan sehingga manfaatnya dapat dirasakan secara luas. 


Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat kajian Islam Tinggal di Parung