Tafsir Surat An-Nisa ayat 148: Kebolehan Angkat Bicara atas Kezaliman Seseorang
Kamis, 30 Januari 2025 | 11:00 WIB
Muhaimin Yasin
Kolomnis
Secara umum, dalam pandangan Islam, membicarakan keburukan orang lain tidak diperbolehkan karena termasuk perbuatan tercela yang dapat menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat. Hal ini mencakup ghibah, mencela, memaki, adu domba, dan berkata kotor tanpa alasan yang jelas.
Namun, terdapat kondisi tertentu di mana mengungkapkan keburukan dalam arti "kezaliman" diperbolehkan. Dalam beberapa keadaan, tindakan ini bahkan dianggap sebagai suatu keringanan. Misalnya, seorang korban kejahatan yang berbicara tentang kezaliman yang dialaminya, terutama ketika diperlukan sebagai bukti dalam proses pengadilan.
Dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 148, Allah SWT menegaskan bahwa Dia tidak menyukai perkataan yang mengandung unsur keburukan. Namun, dalam kondisi tertentu, hal tersebut diperbolehkan, khususnya bagi orang yang dizalimi untuk mengungkapkan ketidakadilannya. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memberikan ruang bagi keadilan, terutama dalam membela diri dari tindakan zalim yang dilakukan oleh orang lain.
Simaklah, berikut ini naskah, terjemahan dan tafsir ulama tentang QS. An-Nisa ayat 148:
لَا يُحِبُّ اللّٰهُ الْجَهْرَ بِالسُّوْۤءِ مِنَ الْقَوْلِ اِلَّا مَنْ ظُلِمَ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ سَمِيْعًا عَلِيْمًا
lâ yuḫibbullâhul-jahra bis-sû'i minal-qauli illâ man dhulim, wa kânallâhu samî‘an ‘alîmâ
Artinya: "Allah tidak menyukai perkataan buruk (yang diucapkan) secara terus terang, kecuali oleh orang yang dizalimi. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Tafsir Ath-Thabari
Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa para ulama memiliki perbedaan pendapat dalam membaca QS. An-Nisa ayat 148. Perbedaan ini muncul pada lafadz ظلم, di mana sebagian ulama membacanya dengan mendhammahkan huruf zha’ sehingga menjadi zhulima, sementara sebagian lainnya membacanya dengan memfathahkannya sehingga menjadi zhalama. Akibatnya, perbedaan bacaan ini mempengaruhi penafsiran ayat tersebut (Jami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an [Makkah, Dar at-Tarbiyah wa at-Turats, t.t], jilid IX, hlm. 344).
Bagi ulama yang membaca dengan zhulima (dengan dhammah), ada dua golongan dengan pandangan yang berbeda:
Pendapat pertama menyatakan bahwa maksud dari "Allah tidak menyukai perkataan buruk yang diucapkan secara terang-terangan, kecuali oleh orang yang dizalimi" adalah larangan bagi seseorang untuk mendoakan keburukan terhadap sesama manusia.
Namun, jika seseorang menjadi korban kezaliman, maka ia diperbolehkan untuk mengungkapkan atau mendoakan keburukan terhadap pelaku. Hal ini dianggap sebagai bentuk keringanan dari Allah SWT.
Untuk memperkuat pendapat ini, Ath-Thabari mengutip pernyataan Qatadah yang menyebutkan bahwa Allah SWT memberikan kelonggaran bagi orang yang dizalimi untuk berbicara secara terang-terangan tentang ketidakadilan yang menimpanya.
Pendapat kedua menyatakan bahwa ayat ini menjelaskan kebolehan seseorang untuk mengadukan atau menceritakan perlakuan zalim yang dilakukan orang lain terhadap dirinya, terutama jika kezaliman tersebut berdampak luas pada orang banyak.
Sebagai contoh, seorang laki-laki dalam perjalanan jauh singgah di rumah temannya untuk menginap. Namun, tamu tersebut tidak berperilaku sopan sehingga pemilik rumah berkata, "Dia bertamu dengan perilaku buruk tanpa sopan santun." Dalam kasus ini, mengungkapkan keburukan tamu tersebut diperbolehkan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Mujahid.
Ath-Thabari juga menambahkan tafsir dari Ibnu Abbas yang menegaskan bahwa tidak berdosa bagi seseorang untuk menceritakan atau mengungkapkan keburukan perilaku orang yang berbuat zalim, terutama jika bertujuan untuk menuntut keadilan.
Sementara itu, bagi ulama yang membaca ayat dengan zhalama (dengan fathah), mereka menafsirkan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah kebolehan menyebut atau membicarakan tindakan buruk orang-orang zalim secara terang-terangan.
Perbedaan harakat ini berdampak pada makna yang dihasilkan. Jika dibaca zhulima (dengan dhammah), maka maknanya adalah "dizalimi". Sementara jika dibaca zhalama (dengan fathah), maka maknanya adalah "menzalimi". Meskipun terjadi perbedaan pendapat, mayoritas ulama cenderung berpegang pada bacaan zhulima, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ath-Thabari.
Tafsir Baghawi
Syekh Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi dalam kitab tafsirnya memberikan penjelasan yang sejalan dengan Ath-Thabari mengenai QS. An-Nisa ayat 148, dengan beberapa tambahan (Ma’alimuttanzil fii Tafsiril Qur’an, [Beirut, Darul Ihya’ at-Turats, 1999], jilid I, hlm. 716).
Memulai penjelasannya, Al-Baghawi mengaitkan isi yang terkandung dalam QS. An-Nisa ayat 148 dengan firman Allah SWT dalam ayat lain yang menguraikan kasus sama. Hal ini terdapat dalam surat Asy-Syura ayat 41:
وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ مَا عَلَيْهِمْ مِّنْ سَبِيْلٍۗ
Artinya: “Akan tetapi, sungguh siapa yang membela diri setelah teraniaya (terzalimi), tidak ada satu alasan pun (untuk menyalahkan) mereka.”
Pada ayat sebelumnya, yaitu QS. Asy-Syura ayat 40, Allah SWT menegaskan bahwa keburukan (perbuatan zalim) pada dasarnya akan dibalas dengan keburukan yang setimpal. Namun, Allah juga menyebutkan bahwa memaafkan pelaku kezaliman merupakan pilihan yang lebih baik. Selain itu, dalam lanjutan ayat tersebut, Allah menegaskan bahwa Dia tidak menyukai orang-orang yang berbuat zalim.
Kemudian, dalam QS. Asy-Syura ayat 41, Allah menetapkan bahwa membela diri dari kezaliman, baik melalui perkataan maupun tindakan yang setimpal, tidak dianggap sebagai sesuatu yang salah. Tentunya, hal ini harus dilakukan dalam batas yang wajar dan tidak berlebihan.
Kembali ke pembahasan tafsir QS. An-Nisa ayat 148, Al-Baghawi menambahkan sebuah hadits dari Rasulullah SAW yang bersumber dari ‘Uqbah bin ‘Amir. Hadits ini menjelaskan kebolehan untuk membalas perbuatan zalim dengan tindakan yang setimpal. Haditsnya adalah:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ أَنَّهُ قَالَ: قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ تَبْعَثُنَا فَنَنْزِلُ بِقَوْمٍ فَلَا يقرونا فَمَا تَرَى؟ فَقَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِنْ نَزَلْتُمْ بِقَوْمٍ فَأَمَرُوا لَكُمْ بِمَا يَنْبَغِي لِلضَّيْفِ فَاقْبَلُوا فَإِنْ لَمْ يَفْعَلُوا فَخُذُوا مِنْهُمْ حَقَّ الضَّيْفِ الَّذِي يَنْبَغِي لَهُمْ
Artinya: Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata: kami mengatakan, wahai Rasulullah, sungguh engkau akan mengutus kami, maka suatu saat pasti kami akan singgah di suatu kaum, lalu apabila mereka tidak menjamu kami (dengan baik) maka bagaimana pendapatmu? Rasulullah menjawab: “Jika suatu saat kalian singgah pada suatu kaum, lantas mereka memerintahkan (memperlakukan) kalian dengan selayaknya tamu, maka terimalah. Akan tetapi, apabila mereka tidak melakukan hal tersebut, maka ambillah dari mereka hak tamu yang cocok bagi mereka.”
Apabila ditelusuri, hadits yang bersumber dari ‘Uqbah bin ‘Amir ini, berkualitas shahih, tercantum dalam kitab Shahih Muslim dalam bab Perjamuan Tamu. Syekh Muhammad bin ‘Ali at-Tamimi al-Maziri menjelaskan makna, “maka ambillah dari mereka hak tamu yang cocok bagi mereka.” Dalam hadits di atas dengan menyampaikan pendapat dari Abu al-Hasan, artinya adalah boleh mengambil hak untuk membicarakan keburukan kaum tersebut di masyarakat (Al-Mu’lim bi Fawaid Muslim [Tunisia, Ad-Daruttunisiah, 1999], Jilid II, hlm. 413).
Pada ayat sebelumnya, yaitu QS. Asy-Syura ayat 40, Allah SWT menegaskan bahwa keburukan (perbuatan zalim) pada dasarnya akan dibalas dengan keburukan yang setimpal. Namun, Allah juga menyebutkan bahwa memaafkan pelaku kezaliman merupakan pilihan yang lebih baik. Selain itu, dalam lanjutan ayat tersebut, Allah menegaskan bahwa Dia tidak menyukai orang-orang yang berbuat zalim.
Kemudian, dalam QS. Asy-Syura ayat 41, Allah menetapkan bahwa membela diri dari kezaliman, baik melalui perkataan maupun tindakan yang setimpal, tidak dianggap sebagai sesuatu yang salah. Tentunya, hal ini harus dilakukan dalam batas yang wajar dan tidak berlebihan.
Kembali ke pembahasan tafsir QS. An-Nisa ayat 148, Al-Baghawi menambahkan sebuah hadits dari Rasulullah SAW yang bersumber dari ‘Uqbah bin ‘Amir. Hadits ini menjelaskan kebolehan untuk membalas perbuatan zalim dengan tindakan yang setimpal, sebagaimana yang telah mereka lakukan.
Dengan demikian, Islam memberikan ruang bagi korban kezaliman untuk membela dirinya, namun tetap mengutamakan keadilan dan tidak berlebihan dalam membalas keburukan. Wallahu a'lam
Ustadz Muhaimin Yasin, Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Pegiat Kajian Keislaman
Terpopuler
1
Kemenhub Sediakan Mudik Gratis via Jalur Darat dan Laut, Berangkat 26-28 Maret 2025
2
Presiden Prabowo Tanda Tangani PP Nomor 11 2025 tentang Pencairan THR dan Gaji Ke-13 ASN
3
Masih Dibuka, 10 Program Mudik Gratis Lebaran Idul Fitri 2025
4
Penangkapan KH Zainal Musthafa, Ansor Ciamis, dan Hak Interpelasi Oto Iskandar di Nata
5
Kultum Ramadhan: Cara Beribadah Tanpa Riya’, Menjaga Keikhlasan dalam Setiap Amalan
6
Nyai Sinta Nuriyah Jadi Ibu Negara Pertama RI yang Konsisten Bahas Kesetaraan Gender, Ini Alasannya
Terkini
Lihat Semua