Tafsir

Tafsir Surat An-Nur Ayat 33: Larangan Islam pada Prostitusi dan Kekerasan Seksual

Jumat, 16 Agustus 2024 | 19:00 WIB

Tafsir Surat An-Nur Ayat 33: Larangan Islam pada Prostitusi dan Kekerasan Seksual

Larangan Prostitusi dan Kekerasan Seksual. (Foto: NU Online/Freepik)

Al-Qur'an Surat An-Nur ayat 33 secara garis besar menjelaskan perintah untuk menjaga diri dari perbuatan zina bagi yang belum mampu menikah, perintah berbuat baik kepada hamba sahaya, dan juga larangan praktik prostitusi dalam Islam.


Dalam artikel ini, akan dibahas sebagian ayat darinya yang menjelaskan salah satu dalil larangan kekerasan seksual yaitu larangan praktik prostitusi dalam Islam. 


Sebelum Islam datang, bangsa Arab zaman Jahiliyah melakukan pemaksaan praktik prostitusi kepada hamba sahaya perempuan mereka untuk memperoleh keuntungan dunia. 


Kemudian, Islam datang dan melarang praktik tersebut dengan memberikan larangan melakukan pemaksaan pelacuran pada perempuan-perempuan yang menjaga dirinya dari perbuatan tercela.


Berikut ini adalah petikan bagian teks, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat An-Nur ayat 33:


وَلَا تُكْرِهُوْا فَتَيٰتِكُمْ عَلَى الْبِغَاۤءِ اِنْ اَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِّتَبْتَغُوْا عَرَضَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۗ وَمَنْ يُّكْرِهْهُّنَّ فَاِنَّ اللّٰهَ مِنْۢ بَعْدِ اِكْرَاهِهِنَّ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ


Artinya: “Janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, jika mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa”. (Qs. An-Nur; 33)


Sebab Turun Ayat

Ulama memiliki perbedaan pendapat terkait sebab turun ayat ini, di antaranya sebagaimana dituturkan oleh Fakhruddin Arrazi, ia meriwayatkan sebagai berikut:

 
  1. Abdullah bin Ubay (seorang munafik) memiliki 6 budak perempuan yakni Muadzah, Musaikah, Amyah, Amrah, Arwa dan Qutailah. Abdullah bin Ubay memaksa mereka untuk melakukan tindak prostitusi dan memasang tarif kepada mereka. Kemudian 2 orang dari mereka mengadukannya kepada nabi dan turunlah ayat ini. 
  2. Abdullah bin Ubay menawan seorang laki-laki. Laki-laki tersebut menggoda sahaya milik Abdullah, sedang sahayanya itu seorang Muslimah dan ia menolaknya. Abdullah bin Ubay memaksa sahayanya itu untuk berbuat dengan tawanan laki-lakinya dengan harapan ia akan mendapatkan tebusan anaknya. Kemudian turunlah ayat ini.
  3. Abu Shalih dari Ibnu Abbas ra berkata: Abdullah bin Ubay mendatangi Rasul bersama sahayanya yang paling cantik, Muadzah. Ia berkata: wahai nabi ini adalah anak-anak yatim fulan, apakah kita tidak memerintahkannya berzina sehingga orang-orang bisa mendapatkan kemanfaatan darinya. Nabi bersabda: tidak. Dan mengulangi ucapannya. Kemudian turunlah ayat ini.
  4. Jabir bin Abdullah berkata: “sahaya sebagian orang mendatangi nabi dan melaporkan tuannya yang memaksa untuk melakukan prostitusi”. Kemudian turunlah ayat ini. ( Mafatihul Ghaib, [Beirut, Dar al-Ihya at-Turats al-Arabi, cet 3, 1420 H], juz XXIII, hal 376).


Ragam Tafsir Ulama 

Perbudakan manusia masih menjadi bagian kehidupan pada masa Jahiliyah. Termasuk yang terjadi pada bangsa Arab. Hamba sahaya diperlakukan seperti halnya benda yang bisa diperjualbelikan. 


Dengan ajarannya, Islam membawa paham kesetaraan antar sesama manusia dengan memberikan banyak anjuran untuk memerdekakan budak dengan imbalan pahala yang besar. Petikan surat An-Nur ayat 33 ini menjadi salah satu bagian cara Islam untuk sedikit demi sedikit merubah kebiasaan buruk yang ada pada masa itu yaitu praktik pemaksaan prostitusi pada hamba sahaya perempuan.


Petikan ayat 33 surat An-Nur ini juga dapat menjadi salah satu argumentasi bahwa Islam melarang keras adanya kekerasan seksual. Ayat ini, sebagaimana kutipan sebab turunnya, memberikan penjelasan bahwa Allah melarang memaksa praktik prostitusi bagi masyarakat yang pada saat itu memiliki hamba sahaya perempuan. Pemaksaan untuk melakukan tindakan prostitusi pada ayat di atas termasuk tindakan kekerasan seksual.


Syekh Muhammad Ali As-Shabuni dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini merupakan larangan untuk memaksa hamba sahaya perempuan untuk berzina. Adapun kata إن أردن تحصنا  yang dalam bahasa Arab secara harfiah memiliki arti jika mereka hendak menjaga diri bukanlah syarat yang jika tidak memiliki keinginan menjaga diri maka diperbolehkan. Melainkan merupakan penjelasan buruknya pekerjaan tersebut.


Syekh Ali juga menjelaskan bahwa kepemilikan terhadap hamba sahaya saat itu harusnya diiringi dengan penjagaan dari pihak majikan dan tidak malah memerintahkan melakukan sesuatu yang rendah seperti zina.


إن أردن تحصنا أي إن أردن التعفف عن مقارنة الفاحشة, وليس هذا للقيد أو الشرط وإنما هو لبيان فظاعة الأمر وشناعته. فالأصل في المملوكة أن يحصنها سيدها. أما أن يأمرها بالزنى وتمتنع وتريد العفة فذلك منتهى الخسة والدناءة


Artinya: “In aradna tahassunan maksudnya ialah jika mereka menginginkan menjaga diri dari melakukan sesuatu yang tercela. Perkataan tersebut bukanlah merupakan batasan ataupun syarat (yang harus dipenuhi), melainkan menjelaskan rendah dan hinanya pekerjaan ini. Sebab hukum asal dalam keberpemilikan hamba sahaya, majikan hendaknya menjaga hamba sahayanya. Dan jika majikan memerintahkan untuk melakukan zina, sedangkan hamba sahayanya menolak dan menginginkan menjaga diri, maka itu adalah puncak dari kehinaan dan kerendahan”. (Shafwatut Tafasir, [Beirut, Darul Qur’anil Karim, cet 4, th 1981 M], juz II, hal 337).


Praktik pemaksaan prostitusi di atas termasuk ke dalam tindak pidana kekerasan seksual. Di mana hal tersebut bukan hanya berlaku pada saat zaman masih adanya hamba sahaya, namun juga berlaku bagi perempuan merdeka yang dalam artian berlaku hingga saat ini.


Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya terkait ayat ini menjelaskan bahwa klasifikasi pemaksaan yang dimaksud pada ayat ini dapat terjadi ketika intimidasi yang dilakukan menuntut khawatir berujung kematian. 


Adapun apabila rasa khawatir yang masuk dalam kategori ringan maka tidak bisa dikatakan pemaksaan. Maka pemaksaan zina sama dengan pemaksaan berkata kalimat kufur. Ia juga menjelaskan nash ini meski terkhusus untuk sahaya, bisa juga diberlakukan untuk perempuan merdeka


المسألة الثَّانِيَةُ: الْإِكْرَاهُ إِنَّمَا يَحْصُلُ مَتَى حَصَلَ التَّخْوِيفُ بِمَا يَقْتَضِي تَلَفَ النَّفْسِ فَأَمَّا بِالْيَسِيرِ مِنَ الْخَوْفِ فَلَا تَصِيرُ مُكْرَهَةً، فَحَالُ الْإِكْرَاهِ عَلَى الزِّنَا كَحَالِ الْإِكْرَاهِ عَلَى كَلِمَةِ الْكُفْرِ وَالنَّصُّ وَإِنْ كَانَ مُخْتَصًّا بِالْإِمَاءِ إِلَّا أَنَّ حَالَ الْحَرَائِرِ كَذَلِكَ.


Artinya: “Permasalahan kedua: pemaksaan dapat terjadi ketika intimidasi yang dilakukan menuntut khawatir akan rusaknya jiwa (kematian). Jika rasa khawatir masuk dalam kategori ringan maka tidak bisa dikatakan pemaksaan. Maka pemaksaan zina sama dengan pemaksaan berkata kalimat kufur. Nash di atas meski terkhusus untuk sahaya, bisa juga diberlakukan untuk perempuan merdeka”. (Ar-Razi, hal 376).


Kesimpulannya, Islam sejak dahulu telah melarang praktik kekerasan seksual dengan di antaranya melarang praktik prostitusi yang marak dilakukan oleh orang-orang saat itu dengan memerintahkan hamba sahaya perempuannya untuk berzina.


Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Khas Kempek, Mahasantri Mahad Aly Jakarta