Tafsir Surat Yunus Ayat 9: Petunjuk dan Kebahagiaan untuk Orang Beriman
NU Online · Kamis, 15 Mei 2025 | 20:00 WIB
Zainuddin Lubis
Penulis
Orang bisa punya peta, tapi tetap tersesat. Pengendara punya Google Maps, tapi tetap salah jalan. Pengelana pun sama, punya kompas, tapi tetap saja salah arah.
Karena arah, kadang bukan soal jalan, tapi tentang siapa yang menuntun. Dan iman, dalam dunia yang begitu riuh oleh data, harta, dosa, dan gelar, justru terdengar seperti sisa nyanyian masa lalu. Tapi kepada merekalah, “Orang-orang yang beriman dan beramal saleh”, Tuhan menjanjikan petunjuk. Bukan karena angka-angka, bukan karena kekuasaan, tapi bi imânihim, karena iman mereka pada Allah, Tuhan manusia.
Ini ditegaskan Allah, lewat ayat 9 dari Surat Yunus. Ayat ini berbisik: ada navigasi yang datang bukan dari kompas, tapi dari keyakinan iman. Tuhan membimbing mereka dengan iman mereka sendiri. Iman bukan sekadar keyakinan yang kaku; ia adalah cahaya yang menghidupkan arah. Maka petunjuk itu tidak turun seperti lampu jalan, tapi tumbuh dari dalam dada.
Tuhan, kata ayat itu, “Memberi petunjuk karena keimanan mereka.” Bukan karena kekuatan mereka. Bukan karena kecerdasan atau warisan leluhur mereka. Tetapi karena iman: sesuatu yang tak bisa dijual di pasar, tak bisa dipaksakan lewat senjata, dan tak bisa diwariskan seperti tanah.
Penulis membayangkan, mungkin iman adalah semacam gerak batin. Seperti kompas yang tidak berteriak, tapi diam-diam menarik jarum ke Barat. Ia tidak membebaskan manusia dari penderitaan, tetapi membimbing manusia ke dalam penderitaan yang bermakna. Dan dari situlah petunjuk itu datang: bukan dari luar, tapi dari dalam.
Simak firman Allah ini;
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ يَهْدِيْهِمْ رَبُّهُمْ بِاِيْمَانِهِمْۚ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهِمُ الْاَنْهٰرُ فِيْ جَنّٰتِ النَّعِيْمِ ٩
innalladzîna âmanû wa ‘amilush-shâliḫâti yahdîhim rabbuhum bi'îmânihim, tajrî min taḫtihimul-an-hâru fî jannâtin-na‘îm
Artinya; "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, niscaya mereka diberi petunjuk oleh Tuhan karena keimanannya. (Mereka berada) di dalam surga yang penuh kenikmatan yang mengalir di bawahnya sungai-sungai."
Profesor Quraish Shihab memeriksa makna "petunjuk" yang disebut dalam Surah Yunus ayat 9-10. Ia tidak terburu-buru menyimpulkan bahwa petunjuk itu adalah semata-mata arah menuju surga. Ia membawa kita pada gagasan bahwa iman itu sendiri adalah cahaya. Ia menerangi jalan. Bukan hanya jalan menuju kehidupan abadi (surga), tapi juga jalan yang kita lalui hari ini, di antara gelisah, keraguan, dan pencarian makna.
Ada sesuatu yang menarik dari susunan ayat itu, kata Prof penulis Tafsir Al-Misbah ini; Mengapa yang disebut lebih dahulu (ayat sebelumnya 7-8) adalah orang-orang kafir? Bukankah lebih menggembirakan berbicara tentang surga lebih dulu? Tapi di sinilah Al-Qur’an, katanya, mengajari kita urutan moral: menjauh dari keburukan adalah langkah awal sebelum berbuat kebaikan. Seperti membersihkan luka sebelum mengobatinya. Mencegah lebih baik dari mengobati bukan?
Dan orang-orang beriman, kata ayat itu, diberi petunjuk karena iman mereka. Tapi objek dari “petunjuk” (يَهْدِيهِمْ) itu tidak dijelaskan secara eksplisit. Ada yang mengatakan: itu petunjuk ke surga. Ada pula yang memahami: itu petunjuk ke jalan keselamatan, atau sekadar kelegaan hati. Yang menarik, Quraish Shihab memaknainya lebih luas, lebih sunyi: iman itu sendiri yang memelihara. Ia jadi lentera dalam gelap. Bukan semata arah, tapi kekuatan untuk terus melangkah.
Ibnu Katsir, kata Prof Quraish dalam Al-Misbah, yang ia rujuk, menyebut bahwa iman itu cahaya yang menuntun orang melintasi shirathal mustaqim, jembatan akhirat yang tajam dan licin. Tapi, makna lebih luas, mungkin ia juga jembatan di dunia, tempat kita meniti antara godaan dan keteguhan, antara takut dan percaya.
Maka iman, dalam bentuknya yang sejati, bukan sekadar keyakinan pada yang gaib. Ia adalah gerak batin yang tak lelah menyala. Ia membuat orang ingat. Membuat orang mawas. Dan dari situ, petunjuk datang. Bukan sekali. Tapi berlapis-lapis. Hidayah demi hidayah. Seperti kata Allah dalam Surat Maryam ayat 76:
وَيَزِيْدُ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اهْتَدَوْا هُدًىۗ وَالْبٰقِيٰتُ الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ مَّرَدًّا ٧٦
Artinya; "Allah akan menambah petunjuk kepada orang-orang yang telah mendapat petunjuk. Amal kebajikan yang kekal itu lebih baik pahala dan kesudahannya di sisi Tuhanmu."
Mungkin karena itulah, orang-orang beriman tidak hanya bahagia di akhirat, tapi juga damai sejak di dunia. Karena cahaya itu sudah mereka bawa, bahkan sebelum surga membukakan pintunya. Artinya, implikasi iman itu tidak hanya yang "abstrak", akan kebahagiaan di akhirat, tapi sejak dunia ini, balasan iman telah dapat dirasakan pemiliknya.
Sementara itu, Ibnu Asyur dalam tafsir Tahrir wa Tanwir mengatakan surat Yunus ayat 9, sebagai istinaf bayani, kalimat baru yang hadir untuk menjelaskan dan memuliakan. Dalam tafsirnya, Ibnu Asyur menjelaskan bahwa penyebutan keadaan orang-orang beriman sengaja dibuat terpisah dari orang-orang kafir, bukan hanya secara isi, tapi juga secara bahasa. Alasannya, karena iman memang tak pantas digandengkan begitu saja dengan kekufuran, seperti terang yang tak bisa menyatu dengan gelap. Pemisahan ini adalah bentuk perhatian: terhadap yang baik, terhadap yang layak dikenang.
Dalam ayat itu, orang beriman disebut dengan kata sambung (isim maushul) "al-ladzina", bukan dengan "li al-mu’minin". Seakan hendak mengatakan bahwa keadaan mereka bukan sekadar karena label "beriman", tapi karena iman itu sendiri, dan amal yang menyertainya.
Di sini, bentuk bahasa menjadi jembatan pengertian: bahwa iman bukan hanya status, tapi sebab. Ia adalah akar dari pohon berita yang akan tumbuh: petunjuk dari Tuhan. Dan petunjuk itu bukan hadiah acak, melainkan resonansi dari apa yang telah mereka tanamkan dalam dirinya.
Lantas apa itu petunjuk? Petunjuk itu, kata Ibnu Asyur, adalah hidayah takwiniyyah, Allah menciptakan dalam diri orang beriman berupa pengetahuan tentang amal-amal yang bermanfaat dan memudahkan mereka untuk memperbanyaknya. Hidayah semacam ini, katanya, hanya tumbuh dalam tanah hati orang-orang beriman.
Ini berbeda dengan hidayah lain yang berupa penunjukan dengan ucapan dan pengajaran. Hidayah jenis ini disampaikan oleh Allah baik kepada orang-orang yang beriman maupun kepada orang-orang kafir. Ini menunjukkan bahwa Allah membukakan jalan kebenaran melalui penjelasan dan pengajaran, meskipun tidak semua orang menerima dan mengikuti petunjuk tersebut.
Adapun huruf ba’ dalam frasa bi-imanihim [بِاِيْمَانِهِمْۚ], adalah ba’ sababiyyah, menunjukkan bahwa imanlah sebab dari petunjuk. Huruf ini, seperti firman-Nya di ayat sebelumnya, pada ayat 7-8;
اِنَّ الَّذِيْنَ لَا يَرْجُوْنَ لِقَاۤءَنَا وَرَضُوْا بِالْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَاطْمَـَٔنُّوْا بِهَا وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنْ اٰيٰتِنَا غٰفِلُوْنَۙ ٧ اُولٰۤىِٕكَ مَأْوٰىهُمُ النَّارُ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ ٨
Artinya, "Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami (di akhirat), merasa puas dengan kehidupan dunia, dan merasa tenteram dengannya, serta orang-orang yang lalai terhadap ayat-ayat Kami [7]. mereka itu tempatnya adalah neraka karena apa yang selalu mereka kerjakan [8]."
Lebih jauh, kata Ibnu Asyur, bahwa iman diciptakan menjadi cahaya dalam akal orang beriman. Dan dari cahaya itu, lahirlah sinar-sinar yang menghubungkan jiwanya dengan alam kesucian. Iman bukan sekadar keyakinan di kepala, tapi magnet yang mengarahkan jiwa kepada kebaikan dan kesempurnaan. Iman menjadikan hidup bukan sekadar berjalan, tapi menuju. Dan dalam perjalanan itu, petunjuk Allah bukan hanya peta, tapi juga cahaya di dada. Maka, semakin bertambah iman, semakin teranglah jalan itu, hari demi hari.
وَالْهِدَايَةُ: الْإِرْشَادُ عَلَى الْمَقْصِدِ النَّافِعِ وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ. فَمَعْنَى يَهْدِيهِمْ رَبُّهُمْ يُرْشِدُهُمْ إِلَى مَا فِيهِ خَيْرُهُمْ. وَالْمَقْصُودُ الْإِرْشَادُ التَّكْوِينِيُّ، أَيْ يَخْلُقُ فِي نُفُوسِهِمُ الْمَعْرِفَةَ بِالْأَعْمَالِ النَّافِعَةِ وَتَسْهِيلَ الْإِكْثَارِ مِنْهَا. وَأَمَّا الْإِرْشَادُ الَّذِي هُوَ الدَّلَالَةُ بِالْقَوْلِ وَالتَّعْلِيمِ فَاللَّهُ يُخَاطِبُ بِهِ الْمُؤْمِنِينَ وَالْكَافِرِينَ.
وَالْبَاءُ فِي بِإِيمانِهِمْ لِلسَّبَبِيَّةِ، بِحَيْثُ إِنَّ الْإِيمَانَ يَكُونُ سَبَبًا فِي مَضْمُونِ الْخَبَرِ وَهُوَ الْهِدَايَةُ فَتَكُونُ الْبَاءُ لِتَأْكِيدِ السَّبَبِيَّةِ الْمُسْتَفَادَةِ مِنَ التَّعْرِيفِ بِالْمَوْصُولِيَّةِ نَظِيرَ قَوْلِهِ: إِنَّ الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقاءَنا إِلَى بِما كانُوا يَكْسِبُونَ [يُونُس: ٧، ٨] فِي تَكْوِينِ هِدَايَتِهِمْ إِلَى الْخَيْرَاتِ بِجَعْلِ اللَّهِ تَعَالَى، بِأَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْإِيمَانِ نُورًا يُوضَعُ فِي عَقْلِ الْمُؤْمِنِ وَلِذَلِكَ النُّورِ أَشِعَّةٌ نُورَانِيَّةٌ تَتَّصِلُ بَيْنَ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ وَبَيْنَ عَوَالِمِ الْقُدْسِ فَتَكُونُ سَبَبًا مِغْنَاطِيسِيًّا لِانْفِعَالِ النَّفْسِ بِالتَّوَجُّهِ إِلَى الْخَيْرِ وَالْكَمَالِ لَا يَزَالُ يَزْدَادُ يَوْمًا فَيَوْمًا، وَلِذَلِكَ يَقْتَرِبُ مِنَ الْإِدْرَاكِ الصَّحِيحِ الْمَحْفُوظِ مِنَ الضَّلَالِ بِمِقْدَارِ مَرَاتِبِ الْإِيمَانِ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ
Artinya, "Adapun hidayah adalah: petunjuk menuju tujuan yang bermanfaat dan menunjukkan jalan kepadanya. Maka makna dari 'Tuhan mereka memberi mereka petunjuk' adalah: Allah memberi mereka petunjuk kepada apa yang di dalamnya terdapat kebaikan bagi mereka. Yang dimaksud di sini adalah petunjuk secara takwini (ciptaan), yaitu Allah menciptakan dalam diri mereka pengetahuan tentang amal-amal yang bermanfaat dan memudahkan mereka untuk memperbanyaknya. Sedangkan petunjuk yang berupa pengarahan dengan ucapan dan pengajaran (irsyad qauli), maka Allah menyampaikannya kepada orang-orang beriman maupun orang-orang kafir.
Huruf ba’ dalam 'bi-imanihim' (dengan iman mereka) menunjukkan sebab (ba’ sababiyyah), di mana iman menjadi sebab dari isi berita tersebut, yaitu berupa hidayah. Maka huruf ba’ ini memperkuat unsur sebab yang juga sudah tersirat melalui bentuk penyandaran isim maushul. Hal ini serupa dengan firman-Nya: 'Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami… hingga karena apa yang dahulu mereka kerjakan.' [Yunus: 7–8]
Maksudnya dalam penciptaan hidayah kepada kebaikan oleh Allah Ta’ala adalah bahwa Allah menjadikan bagi iman itu cahaya yang ditempatkan dalam akal orang beriman, dan dari cahaya itu terpancar sinar-sinar bercahaya yang menghubungkan jiwa orang mukmin dengan alam-alam kesucian. Maka hal itu menjadi sebab magnetik bagi jiwa untuk terarah menuju kebaikan dan kesempurnaan, yang akan terus bertambah hari demi hari. Oleh karena itu, ia akan semakin mendekati persepsi yang benar, yang terjaga dari kesesatan, sesuai kadar tingkatan iman dan amal salehnya." (Ibnu Asyur, Tahrir wa Tanwir, Jilid XI, halaman 101).
Imam Fakhruddin ar-Razi, seorang mufassir besar dari abad keenam Hijriyah, dalam Tafsir Mafatihul Ghaib, membagi jiwa manusia menjadi dua kekuatan. Satu disebut kekuatan teoritis: tempat bersemayamnya ilmu, renung, dan pikir. Yang lainnya: kekuatan praktis, tempat di mana tubuh, dengan segala batasnya, belajar taat dan berkhidmat. Yang satu mencerap kebenaran, yang lain mewujudkannya.
Dari sinilah ia membaca Surah Yunus ayat 9. Ketika Allah menyebut orang-orang yang beriman, itu adalah tanda dari sempurnanya kekuatan akal, mereka mengenal Allah, dan tak tersesat dalam gelapnya kesangsian. Tapi ketika ayat itu menyambung dengan dan beramal saleh, itu adalah tanda bahwa iman tidak boleh hanya tinggal dalam kepala. Ia harus menjalar ke tangan yang memberi, ke kaki yang berjalan ke arah kebaikan.
Ar-Razi melanjutkan, iman yang sejati tak akan membiarkan mata kosong dari renungan, telinga tuli dari kebenaran, atau lisan kering dari dzikir. Orang-orang yang beriman, katanya, meminjamkan seluruh tubuhnya kepada cahaya, mereka melihat dengan ibrah, mendengar dengan tunduk, dan bergerak dengan gemetar di hadapan Tuhan. Mereka tak diam, sebab iman tak pernah mengajarkan diam.
Dan setelah itu? Allah sebutkan derajat kemuliaan mereka. Bukan karena tubuh mereka kuat, atau karena doa mereka lantang. Tapi karena mereka menyambungkan yang abstrak dengan yang nyata. Karena mereka percaya, lalu membuktikan. Di situlah letak hidayah, di antara pengakuan dan perbuatan. Di sanalah Tuhan menempatkan sungai-sungai, mengalir di bawah kehidupan yang abadi (surga).
فَقَوْلُهُ: إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا إِشَارَةٌ إِلَى كَمَالِ الْقُوَّةِ النَّظَرِيَّةِ بِمَعْرِفَةِ اللَّه تَعَالَى وَقَوْلُهُ: وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ إِشَارَةٌ إِلَى كَمَالِ الْقُوَّةِ الْعَمَلِيَّةِ بِخِدْمَةِ اللَّه تَعَالَى، وَلَمَّا كَانَتِ الْقُوَّةُ النَّظَرِيَّةُ مُقَدَّمَةً عَلَى الْقُوَّةِ الْعَمَلِيَّةِ بِالشَّرَفِ وَالرُّتْبَةِ، لَا جَرَمَ وَجَبَ تَقْدِيمُهَا فِي الذِّكْرِ. الْوَجْهُ الثَّانِي: فِي تَفْسِيرِ هَذِهِ الْآيَةِ قَالَ الْقَفَّالُ: إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ أَيْ صَدَّقُوا بِقُلُوبِهِمْ، ثُمَّ حَقَّقُوا التَّصْدِيقَ بِالْعَمَلِ الصَّالِحِ الَّذِي جَاءَتْ بِهِ الْأَنْبِيَاءُ وَالْكُتُبُ مِنْ عِنْدِ اللَّه تَعَالَى.
Artinya; "Maka firman-Nya: 'Sesungguhnya orang-orang yang beriman' merupakan isyarat kepada kesempurnaan kekuatan teoritis melalui ma'rifat (pengetahuan) tentang Allah Ta’ala. Dan firman-Nya: 'dan mengerjakan amal-amal saleh' merupakan isyarat kepada kesempurnaan kekuatan praktis melalui pengabdian kepada Allah Ta’ala. Dan karena kekuatan teoritis lebih utama dan lebih tinggi derajatnya daripada kekuatan praktis, maka sudah sepantasnya ia didahulukan dalam penyebutan.
Pendekatan kedua dalam menafsirkan ayat ini, Al-Qaffal berkata: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, maksudnya: mereka membenarkan (iman) dengan hati mereka, lalu mereka menyempurnakan pembenaran itu dengan amal saleh yang dibawa oleh para nabi dan kitab-kitab yang berasal dari Allah Ta’ala." (Imam Fakhruddin Ar Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut: Darut Turats Al-Arabi, 1420 H] Jilid XVII, halaman 213).
Sejatinya, dalam banyak ayat, dua kata itu berdampingan: alladzîna âmanû wa ‘amilush-shâlihât. Orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan. Bukan satu tanpa yang lain. Iman yang hanya bersarang di hati tapi tak menyentuh perbuatan—ia belum tumbuh. Amal yang sibuk di permukaan tanpa akar keyakinan, ia mudah roboh.
Dalam surah Al-‘Ashr, waktu bersumpah. Ia berkata bahwa manusia itu merugi, kecuali mereka yang beriman, beramal saleh, dan saling mengingatkan dalam kebenaran serta kesabaran. Seperti waktu, hidup ini bergerak. Dan dalam geraknya, iman perlu dijaga lewat tindakan. Ibarat api kecil yang tak boleh dibiarkan tanpa kayu bakar.
اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِࣖ ٣
Artinya, "Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran."
Begitu pula dalam ayat surat Al-Baqarah ayat 25 disebutkan:
وَبَشِّرِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۗ
Artinya, "Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai."
Tapi Tuhan bukan hanya meminta. Ia juga menjanjikan. Di balik kelelahan orang-orang yang percaya dan berbuat baik, ada balasan yang tak bisa ditiru dunia: surga. Digambarkan dengan air yang mengalir di bawahnya, lambang kesejukan, kelimpahan, dan kedamaian yang abadi. Bukan kebahagiaan yang meledak-ledak, tapi ketenangan yang menetap.
Di dunia, kita mungkin bertanya, apakah cukup iman ini? Apakah cukup kebaikan itu? Tapi Tuhan menanamkan satu kepastian kecil: bahwa keimanan yang hidup, akan selalu menemukan jalannya sendiri. Dan amal-amal kecil, yang tulus, yang tenang, akan mengalir seperti sungai. Tak pernah kering.
Dengan demikian, Surat Yunus ayat 9 mengandung hubungan antara iman, amal saleh, dan petunjuk Allah. Dengan pendekatan tematik, kita memahami bahwa keimanan yang benar tidak hanya memberi arah hidup di dunia, tetapi juga menjamin keselamatan di akhirat. Ayat ini sekaligus menjadi motivasi agar umat Islam senantiasa memperkuat iman dan memperbanyak amal saleh untuk mendapatkan hidayah dan surga yang dijanjikan.
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Keislaman
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Inilah Obat bagi Jiwa yang Hampa dan Kering
2
Khutbah Jumat: Bahaya Tamak dan Keutamaan Mensyukuri Nikmat
3
Khutbah Jumat: Belajar dari Pohon Kurma dan Kelapa untuk Jadi Muslim Kuat dan Bermanfaat
4
Kontroversi MAN 1 Tegal: Keluarkan Siswi Juara Renang dari Sekolah
5
PBNU Tata Ulang Aset Nahdlatul Ulama Mulai dari Sekolah, Rumah Sakit, hingga Saham
6
Ekologi vs Ekstraksi: Beberapa Putusan Munas NU untuk Lindungi Alam
Terkini
Lihat Semua