Tasawuf/Akhlak

4 Tingkatan Wara menurut Imam Al-Ghazali

Sen, 31 Januari 2022 | 10:00 WIB

4 Tingkatan Wara menurut Imam Al-Ghazali

4 tingkatan wara menurut Imam Al-Ghazali

Wara telah menjadi kata serapan dalam Bahasa Indonesia, yaitu warak. Wara atau warak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bersifat menjauhi perkara yang belum jelas status hukum halal dan haramnya karena khawatir pada keharamannya.


Misalnya, “Kita harus warak dalam mencari rezeki.”


Secara umum wara berarti menjauhi sesuatu yang dilarang. Tetapi sebenarnya wara terdiri atas 4 tingkatan sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumiddin


ولكن الورع له أربع مراتب


Artinya, “Kewaraan memiliki empat tingkatan/level,” (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439 H-1440 H], juz I, halaman 32).


1. Wara minimal (wara’us syuhud wal qadha)

Kewaraan minimal di mana menjadi syarat integritas saksi di pengadilan. Tanpa kewaraan ini, seseorang dapat keluar dari kriteria sebagai saksi, hakim, dan pemerintah. Kewaraan minimal ini adalah kewaraan seseorang yang menjauhi diri dari barang haram secara lahiriah. (Al-Ghazali, 2018 M/1439 H-1440 H: I/32).


2. Wara orang-orang saleh (wara’us shalihin)

Kewaraan orang-orang saleh ini adalah kewaraan orang yang menjauhi diri dari barang syubhat yang memiliki berbagai kemungkinan (kemungkinan haram, makruh, mubah). (Al-Ghazali, 2018 M/1439 H-1440 H: I/32).


Ketika menjelaskan kewaraan orang-orang saleh, Imam Al-Ghazali mengutip hadits riwayat At-Tirmidzi berikut ini:


قال صلى الله عليه وسلم: دع ما يريبك إلى مالا يريبك 


Artinya, “Rasulullah saw bersabda, ‘Tinggalkan apa yang membuatmu ragu kepada apa yang tidak membuatmu ragu,’” (HR At-Tirmidzi yang disahihkan oleh An-Nasai dan Ibnu Majah dari Hasan bin Ali ra).


Imam Al-Ghazali juga mengutip hadits riwayat Al-Baihaqi ketika menjelaskan kewaraan orang-orang saleh.


وقال صلى الله عليه وسلم: الإثم حزاز القلوب


Artinya, “Rasulullah saw bersabda, ‘Dosa adalah sesuatu yang terpendam dalam hati,’” (HR Al-Baihaqi dan Al-Adani dari Ibnu Mas’ud ra).

 


3. Wara orang-orang bertakwa (wara’ul muttaqin)

Kewaraan orang yang bertakwa adalah kewaraan orang yang meninggalkan kelebihan barang murni kehalalannya yang dikhawatirkan dapat membawanya kepada yang haram. (Al-Ghazali, 2018 M/1439 H-1440 H: I/32).


قال صلى الله عليه وسلم: لا يكون الرجل من المتقين حتى يدع ما لا بأس به مخافة مما به بأس


Artinya, “Rasulullah saw bersabda, ‘Seseorang tidak termasuk ke dalam golongan orang bertakwa sehingga ia meninggalkan apa yang tidak masalah (halal) karena takut terbawa kepada yang menjadi masalah (haram),’” (HR At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).


Contoh kewaraan orang bertakwa adalah kewaraan seseorang untuk (tidak) membicarakan orang lain (yang sebenarnya halal) karena khawatir terbawa pada ghibah (yang haram). Contoh lain yaitu kewaraan orang untuk (tidak) memakan dengan syahwat karena khawatir terjebak pada tindakan yang dilarang.


4. Wara orang-orang yang membenarkan (wara’us shiddiqin)

Kewaraan golongan as-shiddiqin adalah keberpalingan mereka dari selain Allah karena khawatir melewati sepenggal umur pada hal yang tidak bermanfaat dalam menambah kedekatan kepada Allah, sekalipun mereka mengetahui bahwa aktivitasnya di luar itu tidak membawanya pada yang haram.

 


Adapun 4 tingkatan wara ini tidak tertangkap oleh radar ulama-ulama zahir kecuali wara minimal sebagai tingkat terendah, yaitu kewaraan yang menjadi kriteria seorang saksi dan hakim yang menunjukkan integritas seorang individu sehingga kesaksian (saksi) atau putusan perkaranya (hakim) dapat diterima. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)