Tasawuf/Akhlak

Begini Cara Mengenal Mana Sufi Sejati dan Gadungan

Sab, 7 Januari 2023 | 10:00 WIB

Begini Cara Mengenal Mana Sufi Sejati dan Gadungan

DI tengah masyarakat ada sufi sejati yang membimbing masyarakat dan sufi gadungan yang memanfaatkan masyarakat. (Ilustrasi: via reviversgalleria.com)

Dunia tasawuf, dunia mistik, karamah, hikmah, dan dunia supranatural lainnya, selalu berhasil memancing perhatian publik. Baik yang dijalani oleh mereka yang berstatus sebagai Gus-istilah untuk putra kiai tanah Jawa-beneran yang terbentuk oleh seleksi alam, maupun Gus buatan sendiri.


Bahkan, tak jarang karir di panggung tablig, podium angker yang disimak khalayak ramai, sukses meroket jauh lantaran peran-peran supranatural yang pernah mereka tekuni. 


Umat belakangan ini memang begitu cepat mengimani dan mengamini setiap kejadian irasional sebagai bentuk karamah. Sehingga, orang yang memiliki energi “luar biasa” itu, lekat dengan sebutan wali dalam waktu singkat. Padahal, belum pasti orang yang bisa terbang, turun naik atap dengan sekali loncat adalah para wali Allah.


Yang parah, orang yang meyakini kekeramatannya-terutama masyarakat awam-akan membebek ke mana pun orang tersebut melangkah. Mereka dengan percaya diri, pasrah dan sangat patuh memenuhi segala yang diminta. 


Dari sini, penting kiranya kita semua mendapat kajian lebih banyak ihwal karakteristik sang sufi sejati. Sehingga, tidak tertipu oleh orang-orang yang hanya bergelagat sufi itu. Tentunya, tidak lepas dari mengkaji tasawuf itu sendiri.


Pengertian Tasawuf

Tasawuf (at-tashawwuf) yang merupakan kata dasar (bentuk mashdar) dari tashawwafa-yatashawwafu ini, menurut imam Junaid al-Baghdadi adalah sebentuk proses seorang hamba untuk sampai pada titik kepasrahan tertinggi. Sekaligus berhasil mencapai kondisi hati di mana antara hamba dengan Tuhannya berdampingan langsung tanpa sekat. Ia mengatakan, sebagaimana dikutip imam Ahmad bin Muhammad bin ‘Ajibah al-Hasani dalam Iqazhul Himam fi Syarhil Hikam (halaman 16):


هو أن يُميتَكَ الحقُّ عنك ويُحيِيْك به. وقال أيضا أن تكون مع الله بلا علاقة


Artinya, “Bertasawuf itu adalah kondisi spiritual di mana engkau benar-benar pasrah bahwa hidup dan matimu berada di bawah kendali Allah. Ia juga mengatakan, ‘Saat engkau hidup bertasawuf, berarti engkau tengah hidup berdampingan langsung dengan Allah tanpa sekat apapun.’”


Ada juga yang bilang bahwa bertasawuf adalah Ad-dukhul fi kulli khuluqin saniyyin, wal khuruj min kulli khuluqin daniyyin (Masuk-secara totalitas-ke dalam setiap moralitas terpuji dan keluar-secara totalitas-dari setiap moralitas tercela). 


Untuk menjelaskan makna kepasrahan di atas, bagus jika membaca sebuah pengertian tasawuf yang dikemas dengan diksi berbeda. Dalam Iqazhul Himam (halaman 17) disebutkan:


الإناخة على باب الحبيب وإن طُرد


Artinya, “Tasawuf adalah berlutut pasrah-selama-lamanya-di depan pintu sang kekasih, tak peduli kendati dirinya diusir berkali-kali.”


Dari beberapa pengertian ini, penulis berharap kita semua dapat menemukan secercah terang di tengah kabut tebal yang menutupi hakikat tasawuf selama ini. Dan, bagaimana sebenarnya yang disebut sang sufi sejati itu. Jangan sampai ada kesimpulan bahwa setiap kejadian luar biasa karamah, kelebihan yang dimiliki para kinasih Ilahi.


Mengenal Sang Sufi Sejati

Koloni semut tidak akan ricuh, alias akan terus berjalan berbaris menjalani tugas masing-masing, sebelum perabot rumah tangga bernama sapu memporak-porandakannya. Demikian pula dengan “sang sufi sejati”, sebuah istilah yang awalnya berjalan menyusuri setiap masa dengan rapi dan teratur.


Tanpa ada yang merasa perlu mendefinisikannya, memberi batasan istilah, menjelaskan karakteristik sufi, hingga menulis kitab khusus tentang tema ini. Sebelum akhirnya semua berubah setelah kedatangan para sufi pendusta yang sok sufi, yang jauh lebih sufi daripada kata sufi itu sendiri. 


Maka wajar, jika kedatangan para tokoh sufi sejati sejak abad pertengahan, mengkritik hingga ke akar rumput para pemuka agama yang menyebut diri sebagai ulama-istilah yang lebih populer dibanding sufi di masa itu-namun berlumuran dusta, munafik, bermuka dua, menjilat sana-sini demi kepentingan dunia, jabatan dan popularitas.


Mereka menjual nama ulama yang “angker” itu di hadapan para penguasa. Adalah Kitab Ihya’ Ulumiddin termasuk di antaranya. Al-Ghazali menyebut golongan tipe ini sebagai ulama su’ (ulama amoral). 


Sufi sejati itu sendiri dapat dikenal lewat beberapa tanda atau karakteristik tertentu. Ibnu Ajibah menjelaskan tiga karakteristik sufi sejati dalam syarah Al-Hikam al-‘Athaiyyah miliknya. Ia menulis:


والصوفي الصادق أن يفتقر بعد الغنى ويذل بعد العز ويخفى بعد الشهرة


Artinya, “Sufi sejati selalu merasa butuh (kepada Allah) walau telah kaya raya, selalu merasa hina kendati telah mendapat kemuliaan, dan selalu merasa terpendam meski telah mendapat popularitas tertinggi.”


Kita sepakat bahwa kaya bukanlah penghalang seseorang menjadi sufi sejati, terpenting ia tidak terpedaya oleh kekayaan yang dianugerahkan kepadanya. Begitu halnya dengan kemuliaan dan ketenaran. Tetapi jika kekayaan membuatnya sombong dan lebih rakus mencari dunia, kemuliaan juga membuatnya merasa tak terhormat saat dicaci dan keberatan ketika orang-orang tidak menghormati, terlebih saat ia memanfaatkan popularitasnya untuk menindas serta mempermalukan orang lain, jelas bukan sufi sejati.


Imam al-Hasan Ibnu Manshur mengatakan, “As-shufiyyu wahidun fi ad-dzati la yaqbaluhu ahad(un) wala yaqbalu ahad(an)” (Sufi sejati itu adalah sosok dengan kepribadian tunggal yang tidak tergantung pada orang lain; tidak butuh diakui dan tidak menjual nama orang untuk kepentingannya sendiri).


Banyak disebut-sebut juga bahwa sang sufi sejati itu bagai tanah subur yang menjadi tempat segala hal buruk, namun selalu tulus membalasnya dengan segala bentuk keindahan.


Para ulama mengatakan:


من أقبح كل قبيح صوفي شحيح


Artinya, “Keburukan paling akut, alias keburukan di atas setiap keburukan terdapat dalam diri seorang sufi yang pelit.”


Alasannya, karena gelar sufi itu diberikan kepada pelaku kebajikan dengan nominasi terbaik. Sedang Al-Qur’an sangat tegas mengatakan, "Lan tanalul birra hatta tunfiqu mimma tuhibbun" (Kamu sekali-kali tidak sampai pada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai [QS. Ali Imran 3:92]).


Mari perlahan berbenah diri dan jangan sampai tertipu oleh orang-orang yang sok sufi. Semoga Allah senantiasa menjaga kita semua dhzahir(an) wa bathin(an), jasad(an) wa ruh(an).


Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.


Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni Ma’had Aly Situbondo dan founder Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok, NTB.