Hikmah

Orang Awam dan Murid Seorang Sufi soal Karamah Wali yang Ditutupi

Jum, 5 Agustus 2022 | 08:00 WIB

Orang Awam dan Murid Seorang Sufi soal Karamah Wali yang Ditutupi

Sufi sejati menutupi karamahnya untuk menghindari pemujaan dan kultus. (Ilustrasi: vipis.org)

Suatu hari ada seseorang menemui murid seorang sufi, Baharudin Naqshaband. Ia bertanya kepada murid sufi tersebut perihal gurunya yang menyembunyikan karamah-karamah kewalian (adikodrati). Ia berkata, "Jelaskan, mengapa  gurumu menyembunyikan karamah-karamahnya?”


Ia melanjutkan pertanyaannya, “Aku telah mengumpulkan berbagai peristiwa yang membuktikan bahwa ia mampu hadir pada lebih dari satu tempat dalam waktu yang sama. Ia dapat menyembuhkan orang  dengan kekuatan doanya, tetapi ia berkata bahwa itu hasil kerja takdir. Ia membantu orang dalam kesusahannya dan mengatakan itu sebagai keberuntungan mereka. Mengapa ia berbuat demikian? Mengapa ia menyembunyikan karamahnya?"


Murid sufi tersebut menjawab, "Aku tahu betul apa yang kamu maksud. Aku sendiri mengamati semua itu. Aku dapat menjawab pertanyaanmu itu. Pertama, karena guru menolak menjadi pusat perhatian orang banyak.”


“Kedua, ia yakin bahwa jika orang sudah tertarik dan menaruh perhatian pada karamah, mereka tidak akan berminat lagi belajar sesuatu yang bernilai rohani," katanya melanjutkan.

***


Ini sikap seorang sufi atau mistikus sejati. Ia menyembunyikan kemampuan adikodratinya agar orang tidak terpukau. Yang ingin ia sampaikan bukan kehebatan adikodrati yang melahirkan pemujaan, tapi kehendak mendidik rohani manusia agar selalu sehat dan jernih.


Keterpukauan menyebabkan kebuntuan otak alias jadi koplak, sementara yang diinginkan oleh seorang sufi adalah membuka otak manusia agar mampu bekerja dengan baik. Yang diinginkan oleh seorang sufi adalah membimbing rohani manusia agar tak tersesat dalam belantara angkara.


Jadi berbeda sekali dengan mistikus-mistikus palsu. Mereka justru sering "memaksa" orang lain untuk percaya bahwa mereka memiliki kemampuan adikodrati yang sebenarnya juga palsu. Dengan berbagai cara yang palsu mereka pamerkan kemampuan palsu.


Tujuannya mereka bukan mendidik rohani manusia, tapi eksploitasi. Ironinya, ternyata banyak orang yang suka dengan kepalsuan, bahkan gembira...


KH Taufik Damas Lc., Wakil Katib Syuriyah PWNU DKI Jakarta