Tasawuf/Akhlak

Nasihat Dzun Nun al-Mishri: Jangan Sibuk dengan Aib Orang Lain!

Kam, 31 Maret 2022 | 06:30 WIB

Nasihat Dzun Nun al-Mishri: Jangan Sibuk dengan Aib Orang Lain!

Nasihat Dzun Nun al-Mishri: Jangan Sibuk dengan Aib Orang Lain!

Dalam kitab Shifah al-Shafwah, Imam Abu al-Faraj Abdurrahman ibnu al-Jauzi (w. 597 H) mencatat nasihat yang diberikan Imam Dzun Nun al-Mishri kepada Muhammad bin Ahmad bin Salamah. Berikut riwayatnya:

 

محمد بن أحمد بن سلمة قال: سمعت ذا النون يقول، وقد سألته عند الفراق أن يوصيني فقال: لا يشغلنك عيوب الناس عن عيب نفسك، لست عليهم برقيب. ثم قال: إن أحب عباد الله إلى الله عز وجل أعقلهم عنه، وإنما يستدل على تمام عقل الرجل وتواضعه في عقله بحسن استماعه للمحدث إن كان به عالماً وسرعة قبوله للحق وإن كان ممن هو دونه، وإقراره على نفسه بالخطأ إذا جاء منه

 

Muhammad bin Ahmad bin Salamah berkata: “Aku mendengar Dzu Nun (al-Mishri) berkata—sesungguhnya aku memintanya memberiku nasihat saat (kami hendak) berpisah, maka dia berkata:

 

“Jangan kau sibukkan (diri)mu pada aib orang (lain) daripada aibmu sendiri, (karena) kau tidak (punya wewenang menjadi) pemeriksa/pengawas mereka.”

 

Kemudian dia berkata: “Sesungguhnya hamba-hamba Allah yang paling mencintai Allah ‘Azza wa Jalla adalah mereka yang berakal (paling mengenal)-Nya. Dan, tanda kesempurnan akal seseorang dan ketawadukan dalam hal akalnya adalah dengan kebagusan (atau sikap santun)nya dalam mendengarkan orang yang berbicara meskipun dia (lebih) mengetahui (tentang isi/tema yang dibicarakan); (tanda lainnya) adalah kecepatannya dalam menerima kebenaran meskipun berasal dari orang yang (lebih) rendah darinya; (tanda lainnya lagi) adalah pengakuannya atas kesalahan dirinya jika dia memang bersalah” (Imam Abu al-Faraj Abdurrahman ibnu al-Jauzi, Shifah al-Shafwah, Kairo: Dar al-Hadits, 2009, juz 2, hlm. 445).

 

****

 

Aib orang lain selalu tampak indah bagi kita untuk dinikmati, membuat kita enggan membiarkannya berlalu begitu saja, tanpa mencicipinya untuk menilai, membicarakan dan menyebarkannya. Siapapun kita, seringkali terjebak pada “kenikmatan” ini. Kejiwaan manusia memang lebih mudah menyalahkan dan menilai, daripada disalahkan dan dinilai, bahkan oleh dirinya sendiri, apalagi oleh orang lain.

 

Karena itu, Imam Dzun Nun al-Mishri (w. 245 H) mengingatkan manusia agar tidak terlalu sibuk memperhatikan aib orang lain sehingga melupakan aibnya sendiri. Sebagai makhluk hidup, manusia pasti menyimpan aibnya sendiri, aib yang berusaha ditutupinya, dicegahnya untuk tersebar dan disembunyikannya dari manusia lainnya. Andai manusia menggunakan akalnya dengan adil, dia tidak akan mudah menilai aib orang lain, apalagi menyebarkannya, karena dia pun tidak mau orang lain melakukan itu kepadanya.

 

Lagi pula, kata Imam Dzun Nun al-Mishri, kita tidak berwewenang untuk menjadi pengawas atau pemeriksa aib orang lain. Hanya Allah lah yang punya wewenang itu, “mâlik yaum al-dîn,” (Tuhan yang Menguasai hari pembalasan). Jika pun harus memberikan nasihat, kita tidak boleh menasihati di depan umum. Imam Sulaiman al-Khawwash mengatakan:

 

من وعظ أخاه فيما بينه وبينه فهي نصيحة. ومن وعظه على رؤوس الناس فإنما وبخه

 

“Barangsiapa yang menasihati saudaranya hanya di antara mereka (berdua) saja, maka itulah nasihat. Barangsiapa yang menasihatinya di hadapan (banyak) orang, maka sesungguhnya itu adalah celaan” (Imam Abu al-Faraj Abdurrahman ibnu al-Jauzi, Shifah al-Shafwah, 2009, juz 2, hlm. 415).

 

Dalam lanjutan nasihatnya, Imam Dzun Nun al-Mishri menekankan pentingnya mengenal Allah. Karena orang yang paling mencintai Allah adalah yang paling berakal/mengenal-Nya. “Paling berakal” atau “mengenal-Nya” ini dapat diketahui sedikitnya dengan tiga tanda. Pertama, “bi husni istimâ’ihi”, dengan kebagusan sikap saat mendengar pembicaraan, meskipun dia lebih tahu tentang itu. Kebagusan sikap di sini bukan hanya “anggah-ungguh” dalam budaya sopan-santun, tapi lebih luas daripada itu. Salah satunya adalah memilah mana yang mungkin diceritakan kepada orang lain, dan mana yang tidak.

 

Karena tidak sedikit orang yang bisa mendengar dengan baik, tanpa menyela lawan bicaranya meskipun dia sudah tahu isinya, tapi akan menceritakannya kepada orang lain, seperti mengatakan, “Kau tahu tidak, kemarin fulan membicarakan tentang tafsir ayat ini kepadaku, padahal aku ini ahli tafsir. Tapi kubiarkan saja agar dia tidak malu.”

 

Kedua, “sur’ah qabûlihi lil haq”, kecepatan menerima kebenaran meski berasal dari orang yang lebih rendah darinya. Bagi orang yang berakal, kebenaran bisa datang dari mana saja. Karena terkadang, manusia yang merasa berilmu luas dan berkedudukan tinggi, sering terjebak dalam “kenikmatan otoritas”. “Kenikmatan otoritas” ini jika menjebak terlalu dalam, membuat manusia kehilangan akal objektifnya.

 

Misalnya, kita tahu, setinggi apapun kedudukan kita; seluas apapun pengetahuan kita, kita tetap butuh nasihat takwa (washiyatut taqwa). Di setiap khutbah Jum’at, khatib selalu mengulang-ulang hal tersebut, “ittaqillah” (bertakwalah kepada Allah). Hanya saja, mungkin, karena kita sudah terlalu sering mendengarnya dan merasa sudah mengetahuinya, kita tanpa sadar menyepelekan kalimat “bertakwalah kepada Allah” tersebut.

 

Berbeda halnya dengan Imam Abu Hanifah, seoarang hamba yang mencintai dan mengenal Allah, ketika dia mendengar seseorang berkata kepadanya untuk bertakwa kepada Allah, dia gemetar, wajahnya pucat pasi, dan kepalanya tertunduk. Imam Abu Hanifah berkata kepada orang tersebut:

 

جزاك الله خيرا، ما أحوج الناس كل وقت إلى من يقول لهم مثل هذا

 

“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Betapa manusia sangat membutuhkan seseorang yang berkata seperti ini kepada mereka setiap saat” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubalâ’, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1982, juz 6, h. 400).

 

Penjelasan kisah ini dapat dibaca di artikel NU Online lainnya yang berjudul, “Ketika Imam Abu Hanifah Disuruh Bertakwa oleh Seseorang.”

 

Ketiga, “iqrârihi ‘alâ nafsihi bil khatâ’”, pengakuan diri atas kesalahan jika memang salah. Orang yang menggunakan akalnya dengan baik, dia akan mudah mengakui kesalahannya sendiri. Dia tidak takut mengakui, meminta maaf dan memperbaikinya. Jika kita bicara jujur, kebanyakan dari kita, lebih sering memendam kesalahan yang kita perbuat daripada mengakuinya. Andaipun mengakuinya, pengakuan itu hanya sebatas di hati tanpa berwujud dalam perbaikan dan permintaan maaf, sehingga tidak jarang kesalahan itu tertimbun oleh gerak waktu, yang pada akhirnya terlupakan begitu saja.

 

Oleh karena itu, penting rasanya bagi kita untuk memegang nasihat Imam Dzun Nun al-Mishri di atas, agar kita bisa memfungsikan akal kita dengan seimbang, paling tidak melatihnya untuk seimbang dan adil. Jika pun tidak mungkin seketika atau sekaligus, perlahan-lahan pun tak mengapa. Karena manusia selalu butuh proses untuk segala sesuatu, termasuk dalam proses penyempurnaan fungsi akal dan pentawadukkannya (tamâm al-‘aqli wa tawâdlu’ihi).

 

Pertanyaannya, maukah kita melakukannya?

 

Wallahu a’lam bish-shawwab.....

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.