Tasawuf/Akhlak

Ilmu Sufi: Ikut Bersitan Hati atau Petunjuk Guru?

Sel, 23 Agustus 2022 | 16:00 WIB

Ilmu Sufi: Ikut Bersitan Hati atau Petunjuk Guru?

Ilmu sufi: ikut bersitan hati atau petunjuk guru?

Di antara para wali dan sufi ada yang gemar berpuasa sekaligus ibadah malam tanpa pernah alpa. Ada yang senang berdzikir dan membaca wirid-wirid harian. Selain itu, ada yang lebih senang mendekatkan diri kepada Allah dan merasakan kasih sayang-Nya melalui bertafakur dan mengurusi pelbagai urusan umat (khidmatul ummah), seperti mengajari anak-anak membaca Al-Qur’an, membaca “kitab kuning” karya para ulama, dan membimbing akhlak serta kepribadian mereka agar tumbuh menjadi insan mulia. 


Lalu, apa kiranya alasan di balik ragam aktivitas para sufi yang berbeda-beda itu? Mengapa tidak seragam saja?


Syekh Abdurrahman Bawa bin Muhammad al-Malibari menerangkan persoalan ini:


تنوعت أجناس الأعمال على العاملين لتنوع واردات الأحوال أي الواردات التي تنتج أحوالا قائمة بقلوبهم تقتضى ميلهم إلى تلك الأعمال


Artinya, “Ragam amalan berbeda-beda yang ditekuni oleh para penganut asketisisme (orang suluk), sebenarnya didasari oleh kondisi hati mereka masing-masing. Dari kondisi hati itulah kemudian menyelimuti pikiran, lalu terekspresikan menjadi gerak raga.” (Abdurrahman Bawa bin Muhammad al-Malibari, Limadza?, halaman 205).


Penjelasan​​​​​​ ini menegaskan bahwa jalan menuju Tuhan (wushûl ilallâh) memang tidak satu. Terbukti urusan ini dikembalikan kepada hati. Kita tahu, bagaimana makhluk bernama hati (qalb) itu. La yusamma qalba illâ litaqallubihi, tidak disebut hati jika tidak berbolak-balik, dalam ungkapan yang cukup masyhur. Terlebih, yang membolak-balik hati adalah Sang Pencipta sendiri. Kita Sebagai makhluk hanya memiliki porsi menjalani anugerah yang Allah berikan. Tidak lebih dari itu. 


Ikut Hati atau Petunjuk Guru?

Dalam dunia tasawuf, kita mengenal istilah mursyid. Mursyid adalah seorang alim, wira’i, lagi sufi, yang bertugas membimbing spiritualitas para muridnya. Ia mengantarkan para murid setapak demi setapak hingga berhasil mencapai derajat wushûl ilallâh


Jika dilihat sekilas, antara munculnya bersita​​​​​​n atau kecenderungan hati (wâridat) seorang murid dan hadirnya mursyid, bukanlah satu masalah. Namun jika ditanya, mana yang harus diikuti oleh para murid, ketika saran mursyidnya tidak sesuai dengan bersitan yang melintas di hatin​​​​ya? Satu sisi murid dituntut mengikuti bersitan atau kecenderungan hatinya, di sisi lain mursyid menyarankan hal berbeda. 


Syekh Abdurrahman Bawa menyinggung hal ini: 
 

وينبغي لكل أحد أن يعمل بمقتضى ميله المذكور إن لم يكن تحت تربية شيخ وإلّا فلا يشتغل بشيء إلا بإذنه وإرادته


Artinya, “Sebaiknya seorang murid terus mengikuti kecenderungan hatinya sendiri, selama tidak berada di bawah asuhan seorang mursyid. Jika sudah masuk dalam bimbingan guru, ia harus pasrah dan mengubur kecenderungan hatinya sedalam mungkin. Murid hanya boleh melakukan amalan atas izin mursyidnya.”


Alasannya, karena mursyid jauh lebih paham tingkat dan kondisi spiritual muridnya daripada si murid sendiri. 


Kisah Santri Rushaifah 

Ada salah seorang santri Rushaifah, tempat Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki Makkah, yang sangat istikamah melakukan shalat tahajud. Tiada malam berlalu tanpa catatan sujudnya. Sampai di suatu malam, saat semua santri terlelap karena aktivitas sepanjang hari yang cukup melelahkan, santri tadi terjaga seorang diri. Seperti biasa, sepayah apapun ia tetap menyempatkan shalat tahajud meskipun dua rakaat. Tetapi kali ini gagal. Ketika beranjak bangun untuk shalat, Sayyid Muhammad langsung menegurnya, dan menyuruhnya tidur kembali. 


Selidik punya selidik, belakangan diketahui, Sayyid Muhammad menilai santri itu akan terjebak dalam penyakit “bangga diri” andaikan malam itu dibiarkan tahajud sebagimana biasanya.

Bagaimana tidak, saat semua santri tengah tenggelam dalam nikmat istirahat, ia justru tahajud dan bersujud kepada Allah swt. Daripada tahajud akan menjerumuskannya dalam penyakit bangga diri, Sayyid Muhammad mencegahnya dan menyuruhnya tidur kembali. Demikian dikisahkan oleh KH Achmad Azaim Ibrahimy dalam pengajian kitab al-Hikam karya Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari. Wallâhu a’lam.



Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, Alumni Ma’had Aly Situbondo dan Founder Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok, NTB.