Tasawuf/Akhlak

Enam Adab Peminta menurut Imam al-Ghazali

Sen, 6 Januari 2020 | 11:00 WIB

Enam Adab Peminta menurut Imam al-Ghazali

Meminta-minta hanya wajar bila dilakukan dengan terpaksa, itu pun mesti menggunakan etika.

Di dalam masyarakat sering kali terdapat orang-orang yang meminta-meminta. Menjadi peminta itu tidak baik tetapi memang tidak haram hukumnya sehingga boleh dilakukan karena terpaksa. Dikatakan tidak baik karena meminta itu pada dasarnya merugikan pihak lain, dalam arti mengurangi hak milik orang lain. Justru karena itu dalam meminta tidak diperbolehkan memaksa dan harus berperilaku baik.

 

Imam al-Ghazali dalam risalah al-Adab fid Din dalam Majmu'ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, t.th., halaman 438) menasihatkan enam adab peminta sebagai berikut:

 

آداب السائل: يبدي الفاقة بصدق الحقيقة، ويظهر السؤال بلطافة القول، ويأخذ ما أعطي بمقابلة الشكر وإن قل، وحسن الدعاء، فإن رد عليه رجع بجميل قبول العذر وترك المعاودة والإلحاح

 

Artinya, “Adab peminta, yakni: memperlihatkan kefakiran sebagaimana adanya; mengungkapkan permintaannya secara halus; menerima apa yang diberikan dengan penuh rasa syukur meski hanya sedikit; mendokan yang baik;, jika tidak diberi sebaiknya pulang dan mau menerima dengan baik apapun alasannya; dan tidak mengulangi permintaannya dan apalagi memaksa.

 


 

Dari kutipan di atas dapat diuraikan keenam adab peminta sebagai berikut:

 

Pertama, memperlihatkan kefakiran sebagaimana adanya. Seseorang yang meminta-meminta harus jujur dalam penampilannya sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Hal ini untuk memungkinkan orang yang dimintai menilai secara langsung tingkat kefakirannya. Apabila penampilannya menampakkan tingkat kefakiran yang lebih buruk dari yang sebenarnya sesungguhnya orang tersebut telah berbuat tidak jujur.

 

Di zaman sekarang, tidak jarang di kota-kota dijumpai orang-orang yang bernampilan lebih buruk dari tingkat kefakiran yang sebenanya. Mereka meminta-minta dari suatu tempat ke tempat lainnya yang jauh dari tempat tinggalnya sendiri. Perbuatan mereka meminta-minta memang tidak haram. Tetapi apabila mereka bersengaja berpenampilan seperti itu untuk mengelabui orang-orang yang dijumpainya supaya mau memberi, tentu hal ini tidak bisa dibenarkan karena sama saja telah berbohong.

 

Kedua, mengungkapkan permintaannya secara halus. Orang meminta berada pada posisi lemah. Maka ia dituntut mengungkapkan permintaannya dengan cara dan kata-kata yang baik supaya tidak mendapatkan penolakan yang bisa merugikan dirinya sendiri. Seseorang yang karena keadaan lalu terpaksa menjadi peminta-minta harus tetap diapresiasi karena bagaimanapun meminta itu lebih baik, dalam arti lebih ringan madharatnya, dari pada mencuri.

 

Hal itu sesuai dengan kaidah fiqh yang berbunyi:

 

إذا تعارض ضرران دفع أخفهما

 

Artinya, “Jika ada dua mudharat saling berhadapan maka diambil yang paling ringan.”

 

Jadi meminta-minta karena keadaan memaksa seperti tidak mampu (lagi) bekerja harus tetap dipandang sebagai sebuah bentuk ikhtiar manusia mencari rejeki secara halal demi melangsungkan hidupnya. Bahkan hukumnya bisa menjadi wajib sekiranya dengan tidak meminta membahayakan keselamatan jiwanya karena kelaparan.

 

Ketiga, menerima apa yang diberikan dengan penuh rasa syukur meski hanya sedikit. Manusia memang beragam. Ada yang bermurah hati dan ada pula yang pelit. Orang yang longgar hatinya akan cenderung bermurah hati. Sedang orang yang tidak longgar hatinya cenderung pelit.

 

Seorang peminta haruslah memahami hal itu sehingga selalu siap untuk menerima berapapun yang diberikan oleh orang lain kepadanya. Ia bahkan harus mensyukurinya karena sekecil apapun yang ia terima tentu ada manfaatnya. Syukur tidak hanya diwujudkan dalam bentuk merasa senang dengan apa yang diberikan Allah padanya, tetapi juga harus menampakkan kegembiraanya di hadapan orang yang memberi itu sekaligus mengucapkan terima kasih padanya.

 

Keempat, mendoakan yang baik. Lepas dari seberapa besar ia menerima permberian dari orang yang dia minta, seorang peminta hendaknya mendoakan yang baik-baik untuk orang yang telah bersedia memberikan sedekahnya. Bahkan sekalipun orang yang dia minta tidak memberi apapun ia tetap sebaiknya mendoakan yang baik.

 

Justru hal itulah yang membedakan antara peminta yang baik dengan peminta yang tidak baik. Peminta yang baik meminta maaf ketika permintaannya tidak dipenuhi. Sedang peminta yang tidak baik menunjukkan kemarahannya ketika permintaannya ditolak dengan melontarkan hujatan atau mendoakan yang jelek-jelek.

 

Kelima, jika tidak diberi sebaiknya pulang dan mau menerima dengan baik apapun alasannya. Fakta menunjukkan tidak semua orang selalu mau memberikan sedekahnya kepada peminta-minta dengan alasan masing-masing. Ketika seorang peminta ditolak ia hendaknya segera pergi. Selanjutnya ia dapat menuju ke tempat atau rumah orang lain dengan harapan-harapan baru akan diberi.

 

Kesabaran memang sangat diperlukan bagi mereka yang terpaksa menjadi peminta sebab banyak orang terkadang tidak percaya akan keadaan mereka. Atau mereka berpikir terlalu negatif terhadap orang yang meminta-minta. Padahal adanya adab bagi peminta sebagaimana dirumuskan Imam al-Ghazali ini menunjukkan bahwa agama memberikan ruang bagi orang-orang tertentu untuk menjadi peminta.

 

Keenam, tidak mengulangi permintaannya dan apalagi memaksa. Seorang peminta ketika sudah ditolak hendaknya segera pergi dan tidak mengulangi permintaannya. Artinya seorang peminta tetap harus berpikir tentang menjaga harga diri di tengah-tengah runtuhnya harga dirinya akibat meminta-minta. Jika ia mengulangi permintaaanya dan bahkan memaksa dengan kekerasan misalnya, sesungguhnya ia telah berlaku zalim. Sudah pasti hal seperti ini tidak bisa dibenarkan dan bahkan ia berdosa.

 

Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam kitabnya berjudul Sabîlul Iddikâr wal I’tibâr bimâ Yamurru bil Insân wa Yanqadli Lahu minal A’mâr (Dar Al-Hawi, Cet. II, 1998, hal.100), mengingatkan bahwa di antara hal-hal berat dan amat diperhitungkan oleh Allah pada hari kiamat adalah perbuatan zalim manusia terhadap manusia lainnya sebagaimana kutipan berikut ini:

 

واعلم أن مِنْ أشد الأشياء وأشقها في موقف القيامة: ظلم العباد، فإنه الظلم الذي لا يتركه الله

 

Artinya, “Ketahuilah bahwa di antara hal-hal berat dan sangat diperhitungkan pada hari kiamat adalah perbuatan zalim terhadap sesama manusia sebab hal ini merupakan kezaliman yang tidak akan dibiarkan oleh Allah.”

 

Demikianlah keenam adab peminta menurut Imam al-Ghazali yang sangat penting untuk diketahui bersama. Bagi para peminta keenam adab ini hendaklah menjadi pedoman agar mereka tidak melanggar norma-norma akhlak dan hukum. Bagi masyarakat umum pedoman ini perlu diperhatikan dengan baik agar mereka bijak dalam menyikapi para peminta yang sering dijumpai dimana saja. Memberi atau menolak mereka hendaklah dilakukan dalam rangka kehati-hatian.

 

 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.