Tasawuf/Akhlak

Hubungan Tawakal dan Ikhtiar dalam Sunnah Rasul

Rab, 2 Juni 2021 | 01:30 WIB

Hubungan Tawakal dan Ikhtiar dalam Sunnah Rasul

Tawakal dan sebab/upaya/ikhtiar/syariat tidak dipertentangkan, dihadap-hadapkan, dan dipilih salah satunya karena keduanya dapat berjalan seiring. Yang pasti, keduanya memiliki domain masing-masing. (Ilustrasi: pixabay)

Tawakal merupakan ikhtiar batin yang memasrahkan segala hal kepada Allah SWT. Sedangkan ikhtiar merupakan upaya lahiriah dalam mencapai tujuan baik untuk sebuah kemaslahatan maupun untuk memperkecil mafsadat.


Dengan demikian, keduanya (tawakal dan sebab/upaya/ikhtiar/syariat) tidak dipertentangkan, dihadap-hadapkan, dan dipilih salah satunya karena keduanya dapat berjalan seiring. Yang pasti, keduanya memiliki domain masing-masing.


Kita dapat menyaksikan bagaimana Rasulullah mengajarkan tawakal dan sebab/upaya/ikhtiar/syariat kepada sahabatnya sebagaimana riwayat hadits berikut ini:


عن أنس بن مالك قال جاء رجل على ناقة له، يا رسول الله، أدَعها وأتوكل؟ فقال اعقلْها وتوكَّلْ


Artinya, “Dari Anas bin Malik RA, ia bercerita bahwa suatu hari seseorang dengan mengendarai unta miliknya mendatangi Rasulullah. Ia bilang, ‘Wahai Rasulullah, aku melepasnya dan aku bertawakal.’ Rasulullah menjawab, ‘Ikatlah untamu. Tawakallah,’” (Lihat Abul Qasim Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah,[Kairo, Darus Salam: 2010 M/1431 H], halaman 92).


Dalam bahasa lain, seorang sufi besar Sahal bin Abdullah At-Tustari menjelaskan dengan tepat terkait hubungan tawakal dan sebab/upaya/ikhtiar/syariat sebagai berikut:


وقال سهل بن عبد الله: التوكل حال النبي صلى الله عليه وسلم، والكسبُّ سنته؛ فمن بقي على حاله، فلا يتركن سنتَّه


Artinya, “Sahal bin Abdullah At-Tustari berkata, ‘Tawakal merupakan sikap batin Nabi Muhammad SAW. Sedangkan sebab/upaya/ikhtiar/syariat adalah jalan sunah atau anjurannya. Siapa saja yang kondisinya masih saja demikian (belum ada perubahan ke arah yang diinginkan), hendaknya jangan meninggalkan sebab/upaya/ikhtiar/syariat sebagai sunah Nabi Muhammad SAW,’” (Lihat Al-Qusyairi, 2010 M/1431 H: 93).


Rasulullah SAW bersama para sahabat pernah membatalkan puasa Ramadhan dalam perjalanan pada peristiwa Fathu Makkah (630 M/8 H) ketika kondisi kebugaran fisik sebagian sahabatnya menurun drastis. Hal ini dilakukan dalam rangka ikhtiar penyelamatan jiwa sebagaimana riwayat Imam Muslim. (Imam Muslim, Shahih Muslim pada Al-Minhaj bi Syarhi Shahih Muslim Ibnil Hajjaj, [Kairo, Darul Hadits: 2001 M/1422 H], juz IV, halaman 248).


Nabi Muhammad SAW bersama sekitar 10.000 pasukan bergerak dari Kota Madinah menuju Kota Makkah dalam kondisi berpuasa di tengah terik matahari dan pada pasir panas yang menyengat. Ketika tiba di Kadid, sebuah mata air sekira 41-42 mil dari Makkah, Rasulullah SAW berhenti. Satu riwayat menyebut Kira Al-Ghamim, sebuah lembah di depan bukit Usfan, sekira 48 mil dari Kota Makkah. (Imam An-Nawawi, Al-Minhaj bi Syarhi Shahih Muslim Ibnil Hajjaj, [Kairo, Darul Hadits: 2001 M/1422 H], IV/251).


“Wahai Rasulullah, banyak orang mengalami kepayahan perjalanan dalam berpuasa. Mereka menunggu sikapmu,” kata orang tersebut.


Rasulullah kemudian meminta segelas air. Beliau mengangkat tinggi-tinggi gelasnya sehingga orang banyak melihatnya. Rasulullah meminum air tersebut setelah Ashar. Ia membatalkan puasanya yang disaksikan banyak orang. (Muslim, 2001 M/1422 H: IV:247).


Nabi Muhammad SAW merupakan seorang pemimpin yang mampu mencontohkan secara mudah pengamalan agama dan syariat Islam untuk umat manusia. Ia mengetahui kapan harus mendahulukan mana kebutuhan darurat, keselamatan jiwa dan mana rukun Islam yang wajib.


Di tengah banyak orang membatalkan puasanya, sebagian orang mengikuti hawa nafsunya dalam beragama. Mereka bersikukuh memaksakan diri untuk menahan dahaganya. Mereka memilih untuk menyulitkan diri sendiri. Mereka tetap berpuasa. Sikap mereka mengejutkan para sahabat. Tindakan memaksakan diri ini kemudian dilaporkan kepada Rasulullah SAW.


“Mereka bermaksiat. Mereka bermaksiat,” kata Rasulullah SAW untuk mereka yang memaksakan diri berpuasa.


Kata “Mereka bermaksiat” dilontarkan Rasulullah secara berulang. Pengulangan kata “maksiat” itu ditujukan kepada mereka yang memaksakan diri berpuasa dengan mengabaikan keselamatan jiwa yang diamanahkan Allah. Kemaksiatan yang disebut dua kali merujuk pada penentangan mereka atas perintah pembatalan puasa yang sangat jelas kemaslahatannya untuk mereka. (An-Nawawi, 2001 M/1422 H: IV/252).


Yang jelas, sahabat yang memaksakan diri untuk menjalankan ibadah puasa pada perjalanan hari itu hanya dapat dianggap sebagai orang yang bermaksiat ketika membahayakan keselamatan jiwanya dengan memaksakan diri berpuasanya. (An-Nawawi, 2001 M/1422 H: IV/252).


Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah tetap melakukan sebab/upaya/ikhtiar/syariat selain tawakal di hati dalam rangka pengamanan harta benda dan penyelamatan jiwa manusia. Kedua riwayat ini mengajarkan kepada kita perihal hubungan tawakal dan ikhtiar bahwa perintah tawakal tidak menggugurkan kewajiban sebab/upaya/ikhtiar/syariat. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)