Ini Keutamaan Dzikir Menurut Ibnu Athaillah
Kam, 21 September 2017 | 01:05 WIB
Artinya, “Jangan tinggalkan dzikir karena kelalaian hatimu yang tidak bersama Allah karena kelalaian tanpa dzikir lebih buruk daripada kelalaian dengan dzikir. Bisa jadi Allah mengangkatmu dari dzikir dengan kelalaian ke dzikir dengan hati terjaga, dari dzikir dengan hati terjaga ke zikir dengan hati waspada, dari dzikir dengan hati waspada ke dzikir fana. Allah berfirman, ‘Dan yang demikian itu bagi Allah tidak sulit,’ (Surat Ibrahim ayat 20).”
Ibnu Athaillah menganjurkan kita berdzikir dengan hati lalai sekalipun. Ini menunjukkan betapa pentingnya dzikir. Mengapa demikian? Dzikir merupakan jalan utama mereka yang menempuh perjalanan Ilahi. Allah SWT sendiri memerintahkan kita untuk menyebut nama-Nya secara mutlak terus-menerus sebagaimana disinggung Ibnu Ajibah berikut ini.
Artinya, “Menurutku, dzikir adalah pilar utama dari jalan yang ditempuh para sufi. Ia adalah amalan paling utama. Allah berfirman, ‘Sebutlah nama-Ku, Aku akan menyebut namamu,’ dan ‘Wahai orang-orang yang beriman, sebutlah nama Allah dengan sebutan yang banyak.’ Maksud dari ‘Sebutan yang banyak’ adalah tidak melupakan Allah di hati selamanya. Ibnu Abbas berkata, ‘Allah menentukan waktu-waktu khusus untuk semua ibadah dan memaafkan hamba-Nya yang menunaikan ibadah itu di luar waktunya kecuali ibadah dzikir karena Allah tidak menentukan waktu khusus untuk ibadah ini. Allah berfirman, ‘Sebutlah nama Allah dengan sebutan yang banyak,’ dan ‘Bila kamu sekalian telah menunaikan sembahyang, maka sebutlah nama Allah saat kalian duduk, berdiri, dan berbaring.’ Seorang sahabat Rasul bertanya, ‘Ya rasul, syiar Islam kelewat banyak. Sebutlah satu amalan ringkas untukku di mana aku dapat menyusul ketertinggalan di masa lalu?’ ‘Jagalah lisanmu agar selalu basah menyebut nama Allah,’ jawab Rasul senyum. Rasulullah SAW bersabda, ‘Kalau ada seseorang memiliki banyak dirham di pangkuannya lalu ia membagikannya sampai habis, lalu seorang lagi hanya berdzikir menyebut nama Allah, niscaya orang kedua lebih utama di sisi-Nya,’’” (Lihat Ibnu Ajibah, Syarhul Hikam, Beirut, Darul Fikr, tanpa tahun, juz I, halaman 79-80).
Sebagian ulama bahkan menyebut dzikir sebagai kunci pembuka penyatuan seorang hamba dan Allah. Melalui dzikir, seorang hamba dapat memasuki majelis mulia bersama Allah SWT. Hal ini disebutkan oleh Syekh Burhanuddin As-Syadzili Al-Hanafi berikut ini. Menurutnya, tidak ada ketentuan terhadap lafal dzikir. Artinya, dzikir dengan lafal yang mana saja dapat membuka pintu langit.
Artinya, “Menurut saya, dzikir yang diperintahkan ustadznya apakah itu ‘Lâ ilâha illallâh’, ‘Allâh’, atau dzikir lainnya sesuai pertimbangan kemaslahatan ustadz adalah kunci pintu ruang utama penyaksian Allah, penyatuan dengan-Nya, pokok dari fondasi kehadiran (wushul) jiwa-jiwa suci di majelis Allah nan suci lagi mulia,” (Lihat Syekh Burhanuddin As-Syadzili Al-Hanafi, Ihkamul Hikam fi Syarhil Hikam, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2008 M/1429 H, halaman 51).
Syekh Zarruq memandang pentingnya zikir. Menyebut asma Allah dapat menghidupkan batin seseorang. Tetapi lupa akan Allah dapat berakibat fatal, jatuh di lembah maksiat.
Artinya, “Peringatan: dzikir itu menghidupkan hati. Lalai itu mematikan hati. Sementara puncak dari kelalaian itu nanti berakhir pada menganggap baik sesuatu yang sebenarnya adalah tidak baik. Sedangkan awal dari semua itu adalah lupa atas ketidakbaikan hal itu,” (Lihat Syekh Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H, halaman 61).
Selalai apapun, dzikir tetap harus dilakukan karena dzikir dapat mendekatkan kita kepada Allah. Kalaupun baru berdzikir dengan hati lalai, minimal lisannya sudah dekat dengan Allah. Sebagai manusia, kita hanya berusaha. Selebihnya kita serahkan kepada Allah SWT.
Artinya, “Tidak dzikir itu tanda jauh dari Allah baik secara hati maupun lisan. Lain halnya dengan dzikir karena meskipun hatimu jauh dari Allah, lisanmu tetap dekat dengan-Nya karena itu kau tetap harus menyebut nama Allah sekalipun hatimu lalai terhadap-Nya saat dzikir... (untuk sampai ke sana) seorang murid hanya berkewajiban menjalani sebab (sebagai syariat), sementara kesampaian dan terangkatnya hijab adalah wewenang Allah,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyah, tanpa tahun, juz I, halaman 40). Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)
Terpopuler
1
Membatalkan Puasa Syawal karena Disuguhi Hidangan saat Bertamu, Bagaimana Hukumnya?
2
Festival Ketupat Lebaran Idul Fitri, Warga Kediri dan Pengguna Jalan Dapat Nikmati Makan Gratis
3
Sungkeman saat Lebaran Idul Fitri, Bagaimana Hukumnya?
4
Doa Arus Balik Lebaran, Dibaca Sepanjang Perjalanan
5
Tellasan Topak, Tradisi Perayaan Lebaran Ketupat di Madura pada 8 Syawal
6
Hadapi Qatar di Piala Asia U-23 2024, Begini Prediksi Susunan Pemain Timnas Indonesia
Terkini
Lihat Semua