Tasawuf/Akhlak

Ini Komentar Sahabat dan Ulama terkait Pengendalian Emosi

Kam, 16 Desember 2021 | 06:30 WIB

Ini Komentar Sahabat dan Ulama terkait Pengendalian Emosi

“Nabi Ayub as berkata, ‘Kesabaran sesaat (murah hati atas kesalahan orang lain) menolak banyak keburukan,’”

Kondisi tertentu, kekecewaan atas sesuatu atau tindakan seseorang bisa jadi membuat seseorang menjadi marah, bahkan kalap. Sedangkan setan bertakhta di atas orang yang kalap. Padahal, kesudahan kemarahan dan juga tindakan saat seseorang kalap berujung pada penyesalan.


Imam Al-Ghazali menghimpun pandangan sejumlah sahabat nabi dan komentar ulama perihal kemarahan. Kami kutip sejumlah komentar tersebut dari karyanya Ihya Ulumiddin.


قال عمر رضي الله عنه من اتقى الله لم يشف غيظه ومن خاف الله لم يفعل ما يشاء ولولا يوم القيامة لكان غير ما ترون


Artinya, “Sayydina Umar bin Khattab ra berkata, ‘Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya tidak melampiaskan kemarahannya. Siapa yang takut kepada Allah, niscaya tidak akan berbuat semaunya. Andai tidak ada hari kiamat, niscaya ini semua akan berbeda dari yang kalian saksikan’” (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439 H-1440 H], juz III, halaman 181).


Lukman Al-Hakim berpesan kepada anaknya, “Nak, jangan hilangkan air wajahmu dengan meminta-minta. Jangan lampiaskan marah dengan perbuatan burukmu. Ketahuilah kemampuanmu agar penghasilanmu memberi manfaat kepadamu.” (Al-Ghazali, 2018 M/1439 H-1440 H: III/181).


وقال أيوب حلم ساعة يدفع شرا كثيرا 


Artinya, “Nabi Ayub as berkata, ‘Kesabaran sesaat (murah hati atas kesalahan orang lain) menolak banyak keburukan,’” (Al-Ghazali, 2018 M/1439 H-1440 H: III/181).


***


Sufyan As-Tsauri, Abu Khuzaimah Al-Yarbu’i, dan Fudhail bin Iyadh suatu hari bertemu sejenis forum multaqa sufi. Mereka mendiskusikan masalah zuhud. Mereka kemudian bersepakat bahwa amal paling utama adalah murah hati ketika marah dan sabar ketika gelisah-putus asa.


***


Suatu hari salah seorang anggota masyarakat mengkritik Amirul Mukminin Umar bin Khattab. “Wahai Amirul mukminin, kau tidak adil dalam membuat kebijakan dan tidak memberikan bagian yang banyak,” kata orang tersebut.


Mendengar itu, Sayyidina Umar ra marah bukan kepalang. Hal itu diketahui dari perubahan wajahnya. Orang-orang yang hadir mulai khawatir. Kemarahan Umar mesti membawa bahaya. Salah seorang kemudian memberanikan diri menasihati Sayyidina Umar.


“Wahai Amirul mukminin, apakah kau tidak mendengar firman Allah, ‘Khudzil afwa wa’mur bil ‘urfi wa a‘ridh ‘anil jāhilīn,’ (‘Ambillah jalan maaf, perintahkan yang ma’rfu, dan berpalinglah dari orang bodoh,’ [Surat Al-A’raf ayat 199]). Maafkan dia. Dia hanya orang bodoh,” kata orang tersebut.


“Kau benar. Kemarahan itu laksana api, lalu aku padamkan,” jawab Sayyidina Umar ra.


***

 
Muhammad bin Ka’ab berkata, “Siapa saja yang mana tiga hal ini terdapat pada dirinya, maka sempurnalah keimanannya kepada Allah: pertama, apabila sedang senang, kesenangannya tidak membuatnya jatuh pada kebatilan; kedua, apabila sedang marah, kemarahannya tidak membuatnya keluar dari hak; ketiga, apabila sedang kuasa, kekuasaannya tidak menjangkau sesuatu yang bukan haknya.”


***


Suatu hari seseorang mendatangi sahabat Salman ra. Ia meminta nasihat, “Wahai hamba Allah, berwasiatlah untukku.”


“Jangan marah,” kata Salman ra.


“Aku tidak berdaya,” katanya.


“Baik, kalau kau sedang marah, tahan ucapan dan tanganmu (dari sesuatu yang membuatmu menyesal kesudahannya),” pesan Salman ra.

 


Demikian sejumlah komentar sahabat dan uama perihal pengendalian emosi di mana seseorang sedang dilanda kemarahan. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)