Tasawuf/Akhlak

Ini Ujian Rumah Tangga yang Dihadapi Para Wali Allah

Sab, 20 Agustus 2022 | 13:43 WIB

Ini Ujian Rumah Tangga yang Dihadapi Para Wali Allah

Ini Ujian Rumah Tangga yang Dihadapi Para Wali Allah

Para wali Allah juga manusia biasa yang menjalani kehidupan sehari-hari, termasuk kehidupan berumah tangga. Para wali Allah, sebagaimana orang awam, menghadapi ujian-ujian dalam berumah tangga seperti menghadapi ucapan istri yang pahit dan menyakitkan.


Para wali Allah menghadapi cobaan dan ujian rumah tangga tersebut dalam taat kepada Allah. Para wali Allah bukan selalu manusia ideal tanpa cobaan dan ujian. Mereka kerap menghadapi ujian termasuk ujian di dalam rumah tangga. Tetapi, mereka menjalaninya dengan ringan tanpa khawatir dan sedih hati sebagaimana sifat para wali Allah yang disebutkan dalam Al-Qur’an, Surat Yunus ayat 62-63.


أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ


Artinya: “Ketahuilah sungguh wali-wali Allah tidak ada rasa takut dan tidak pula ada rasa sedih pada mereka, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka senantiasa bertaqwa,” (Surat Yunus ayat 62-63).


Para wali Allah menghadapi ujian rumah tangga tersebut dengan sabar. Mereka menahan diri untuk bersikap reaktif dan respons yang melanggar hukum syara atau hukum poisitif. Mereka cukup bersabar yang merupakan salah satu pilar kewalian.


والصبر على لسان النساء مما يمتحن به الأولياء


Artinya: “Sabar atas ucapan istri termasuk cobaan yang menguji para wali,” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2015 M], juz II, halaman 44).


Imam Az-Zabidi dalam syarah Ihya-nya menjelaskan ucapan istri yang dimaksud sebagai perkataan keji, tuduhan, kecurigaan, caci maki, atau ucapan pahit yang menyakitkan.


قوله (والصبر على لسان النساء) مما يتكلمن به من فحش القول


Artinya: “(Sabar atas ucapan istri) berupa ucapan keji(/pahit/menyakitkan) yang mereka lontarkan,” (Imam Az-Zabidi, Ithafus Sadatil Muttaqin bi Syarhi Ihya Ulumiddin, [Beirut, Muassastut Tarikh Al-Arabi: 1994 M/1414 H], juz V, halaman 341).


Para wali Allah menahan diri menghadapi ucapan istri yang kasar, pahit, dan menyakitkan karena (menjaga) ketinggian derajat dan maqam kerohanian-spiritual mereka di sisi Allah. Mereka tidak menjawab dan membalas dengan ucapan serupa yang menyakitkan. Mereka secara istiqamah menahan diri dari sikap reaktif. Mereka tidak mudah terprovokasi dan terpancing oleh ucapan-ucapan pahit di dalam rumah tangga mereka.


قوله (الأولياء) فهم الذين يصبرون ذلك لعلو مقامهم


Artinya: “(Para wali) di sini adalah mereka yang bersabar menahan diri atas ucapan itu karena ketinggian maqam (rohani-spiritual) mereka,” (Az-Zabidi, 1994 M/1414 H: V/341).


Abul Qasim Al-Qusyairi dalam karyanya Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah mengangkat pengertian wali. Ia menyebut dua kemungkinan kandungan makna kata tersebut. Kata “wali” dapat ditarik ke dalam wazan mubalaghah atau wazan fa’īl dengan makna maf’ūl.


فإن قيل  فما معنى الولي قيل يحتمل أمرين: أحدهما أن يكون فعيلاً مبالغة من الفاعل؛ كالعليم، والقدير وغيره، فيكون معناه: من توالت طاعاته من غير تخلل معصية
 

Artinya: “Jika ditanya, ‘Apa makna wali?’ maka jawabnya, ia mempunyai dua kemungkinan. Pertama, kata ‘wali’ mengikuti wazan ‘fa‘īl’ sebagai mubalaghah dari fā’il, sejenis makna superlatif (sangat), seperti ‘alīm,’ ‘qadīr,’ dan semisalnya sehingga makna wali adalah orang yang ketaatannya terus menerus tanpa tercederai maksiat,” (Abul Qasim Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, [Kairo, Darus Salam: 2010 M/1431 H], halaman 191).


Hal yang sama berlaku sebaliknya. Jika wali Allah itu istrinya, maka ia akan menghadapi ujian rumah tangga dari suaminya. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)