Tasawuf/Akhlak

Kebersihan Hati Sebagai Bekal Akhirat

Rab, 29 Desember 2021 | 19:00 WIB

Kebersihan Hati Sebagai Bekal Akhirat

Kebersihan hati akan menimbulkan perilaku dan etika yang baik.

Barangkali kita sering mendengar dari para dai, mubalig, penceramah, dan lain sebagainya yang menyampaikan bahwa ketika kita wafat dan meninggalkan dunia ini, tidak ada harta sekecil apapun yang dapat dibawa ke akhirat. Mungkin harta tersebut bisa dimasukkan ke dalam kuburan, namun tidak ke alam selanjutnya.


Berbicara mengenai alam akhirat pasca kematian, ia adalah sesi final dari perjalanan hidup seorang manusia, apakah yang menyambutnya nanti malaikat penjaga pintu surga atau, na’uzubillah, penjaga pintu neraka. Tidak ada yang tahu mengenai hasil akhirnya kecuali Allah Swt. Kita hanya diperintahkan untuk sebanyak-banyaknya beramal ketika di dunia, khususnya adalah salat yang kelak dihisab pertama kali di akhirat, sebagaimana sabda Nabi:


إنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ


Artinya, “Sungguh amalan pertama yang dihisab pada hari kiamat nanti adalah salat”. (HR. Tirmidzi).


Hadits di atas jelas sekali menegaskan bahwa salat adalah amalan pertama yang dihitung di akhirat. Setelah salat, ada beberapa amalan lain yang sangat sentral, yaitu zakat, puasa, naik haji dan ibadah-ibadah sunah baik bersifat individual maupun sosial.


Namun, ada satu bekal akhirat yang sangat penting bagi setiap muslim, ia terlihat remeh dan kasat mata, namun menjadi kunci keselamatan di akhirat nanti. Dia adalah hati yang bersih atau selamat, yang dalam bahasa Al-Quran biasanya disebut Qalbun Salȋm atau dalam hadits Nabi disebut dengan Salȃmatus Shadr, keduanya memiliki makna yang sama.


Mengenai hati yang bersih, Allah menyebutkan kata qalbun salim dalam Al-Quran surah al-Syu’ara:


وَلَا تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ ... يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ ... إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ


Artinya, “(Janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, yaitu di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna (hari kiamat), kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih).” (Al-Syu’ara: 87-89).


Ayat di atas berlatar belakang tentang doa Nabi Ibrahim AS supaya kelak di hari kiamat tidak dihinakan. Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam karyanya At-Tafsir al-Munir menyebutkan makna kata qalbun salim dalam ayat tersebut:


اَلْمُرَادُ بِالْقَلْبِ السَّلِيْمِ: هُوَ الْخَالِي مِنَ الْعَقَائِدِ الْفَاسِدَةِ وَالأَخْلَاقِ الْمَرْذُوْلَةِ وَالْمَيْلِ إِلَى الْمَعَاصِي، وَعَلَى رَأْسِهَا الْكُفْرُ وَالشِّرْكُ وَالنِّفَاقُ


Artinya, “Yang dimaksud ‘qalbun salim’ adalah hati yang bersih dari akidah yang rusak, akhlak tercela dan kecenderungan melakukan maksiat, yang puncaknya adalah kufur, syirik dan nifak. (Syekh Wahbah al-Zuhaili, At-Tafsir al-Munir, Beirut: Dar el-Fikr, 1418, juz 19, hlm. 174)


Syekh Wahbah menjelaskan hati yang bersih, tidak lain adalah bersih dari penyakit-penyakit hati yang disebutkan di atas, dan kekufuran, kemunafikan, juga syirik adalah penyakit hati yang paling parah. Sa’id al-Musayyib  menjelaskan perihal qalbun salim, perkataan ini dikutip Syekh Wahbah dalam tafsirnya”


وَقَالَ سَعِيْدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ رَحِمَهُ اللّهُ: اَلْقَلْبُ السَّلِيْمُ: هُوَ الْقَلْبُ الصَّحِيْحُ وَهُوَ قَلْبُ الْمُؤْمِنِ لِأَنَّ قَلْبَ الْكَافِرِ وَالْمُنَافِقِ مَرِيْضٌ، قَالَ اللّهُ تَعَالَى: فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ


Artinya, “Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah menyebutkan, qalbun salim adalah hati yang sehat, yaitu hati seorang mukmin, sebab hati orang kafir dan munafik itu sakit, Allah Ta’ala berfirman: “Dalam hati mereka terdapat penyakit,” (Surat Al-Baqarah: 10). (Syekh Wahbah al-Zuhaili, At-Tafsir al-Munir, juz 19, halaman 174).


Beberapa tafsir menyebutkan hal yang sama, yaitu bersihnya hati dari kekufuran dan kemunafikan, pun demikian dengan Tafsir Al-Misbah karya Pak Quraish Shihab, “Kecuali bagi mereka yang beriman dan mengharap Allah dengan jiwa yang bersih dari kekufuran, kemunafikan dan sikap pamer”.


Mengenai kebersihan hati, terdapat kisah dalam hadis Nabi mengenai seorang sahabat yang masuk surga karena kebersihan hati. Hadis ini terdapat dalam beberapa kitab hadis seperti al-Muwattha, Musnad Ahmad, Sunan al-Nasa’i dan lain-lain. Dalam Sunan An-Nasa’i kisah ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik sebagai sahabat yang menyaksikan langsung peristiwa tersebut.


Suatu hari, Anas bin Malik bersama sahabat lainnya sedang duduk berbincang bersama Rasulullah saw. Tiba-tiba Rasulullah saw. berkata, “Sebentar lagi akan datang seorang ahli surga”. Kemudian muncullah seorang dari kalangan Anshar, di jenggotnya tampak tetesan bekas air wudunya, sendalnya ia tenteng di tangan kirinya.


Keesokan harinya, Rasulullah saw. menyebutkan hal yang sama, dan laki-laki dari Anshar itu pun datang dengan kondisi yang sama sebagaimana hari pertama Rasulullah mengatakannya. Hingga keesokan harinya pun sama, Rasulullah menyebut-nyebut ahli surga itu kepada para sahabatnya.


Tatkala Rasulullah saw. pergi, Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash yang mengetahui perihal tersebut dan mengikuti perbincangannya pergi mengikuti orang Anshar tersebut. 


“Aku sedang mengalami hubungan yang tidak baik dengan ayahku, lalu aku pun bersumpah untuk tidak menginap di rumahnya tiga malam, aku berpikir untuk menginap saja di rumahmu hingga habis masa sumpahku,” ujar Abdullah kepada orang Anshar tersebut.


“Ya, silakan” ujarnya


Anas bin Malik menceritakan, “Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash ketika itu menginap di rumah orang Anshar yang disebut Nabi sebagai ahli surga. Selama itu, Abdullah tidak sama sekali melihatnya bangun malam untuk beribadah kecuali setiap malam menjelang waktu tidurnya, ia berzikir menyebut Allah dan mengucapkan takbir hingga menjelang subuh ia berwudu. Selain itu,” kata Abdullah, “Aku tidak mendengar ia berkata-kata kecuali hal-hal yang baik”.


Selang tiga malam, hampir saja Abdullah menganggap remeh amalan orang Anshar itu, “Wahai engkau, sungguh aku dan ayahku sebenarnya tidak memiliki masalah dan aku pun tidak melakukan sumpah sebagaimana yang aku ceritakan kepadamu itu. Hanya saja, aku mendengar Rasulullah saw. menyebutkan, ‘Akan datang seorang ahli surga’, dan saat itu pun engkau datang, hal itu beliau ulang sebanyak tiga kali di tiga pertemuan, dan selalu saja engkau yang muncul saat Rasulullah berkata demikian.”


“Saat tahu bahwa engkau adalah seorang ahli surga, aku penasaran, akun pun berinisiatif untuk menginap di rumahmu, ingin tahu apa sebenarnya amalan yang engkau kerjakan sehingga menjadikanmu ahli surga. Akan tetapi, aku sama sekali tidak melihatmu melakukan amalan yang besar. Jadi, apa sebenarnya yang menjadikanmu ahli surga hingga Rasulullah saw. langsung menceritakannya kepada para sahabat?” ujar Abdullah sambil bertanya.


“Tidaklah yang aku lakukan kecuali apa yang engkau lihat”. jawab lelaki Anshar itu dengan singkat.


Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash pun pamit untuk pulang. Tak lama beberapa langkah dari rumahnya, lelaki Anshar memanggilnya kembali, ia menegaskan,


“Wahai Abdullah, tidak ada ibadah yang aku lakukan kecuali apa yang telah engkau lihat, hanya saja aku tidak mendapati dalam diriku dendam dan kedengkian terhadap seorang pun dari kaum muslimin, aku tidak menyimpan hasad atas apa yang telah dikaruniai Allah kepada mereka”.


Abdullah bin ‘Amru berkata, “Ternyata inilah amalan yang membuatmu mencapai derajat ahli surga! Itulah amalan yang berat bagi kami”.


Dari kisah ini, terdapat pelajaran berharga, yaitu kebersihan hati adalah bagian dari kunci surga. Ia menghantarkan sang pemilik hati menuju ke haribaan Allah dengan tenang dan selamat. Dalam riwayat lain yang serupa, dinukil dari Kitab Jȃmi al-‘Ulȗm wa al-Hikam disebutkan:


رَوَى أَسَدُ بْنُ مُوْسَى، حَدَّثَنَا أَبُو مَعْشَر عَنْ مٌحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: «قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَدَخَلَ عَبْدُ اللهِ بْنِ سَلَام، فَقَامَ إِلَيْهِ نَاسٌ، فَأَخْبَرُوْهُ، وَقَالُوا: أَخْبِرْنَا بِأَوْثَقِ عَمَلِكَ فِي نَفْسِكَ، قَالَ: إِنَّ عَمَلِي لَضَعِيْفٌ، وَأَوْثَقُ مَا أَرْجُو بِهِ سَلَامَةَ الصَّدْرِ، وَتَرْكِي مَا لَا يَعْنِيْنِي»


Artinya, “Asad bin Musa meriwayatkan: Abu Ma’syar telah mengabarkan kami dari Muhammad bin Ka’ab, ia berkata: Rasulullah saw. menyebutkan: “Orang pertama yang mendatangi kalian itu adalah seorang ahli surga”. Kemudian datanglah Abdullah bin Salam. Orang-orang yang ada saat itu pun berdiri menyambutnya, mereka mengabarkan pada Abdullah bin Salam bahwa ia adalah ahli surga. Mereka berkata pada Abdullah, “Beri tahu kami tentang amalanmu yang paling utama!”. Abdullah bin Salam menjawab, “Sungguh! Amalanku sangat lemah. Aku hanya mengandalkan kebersihan hati [dari penyakit hati] dan meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat bagiku”. (Imam Ibn Rajab al-Hanbali, Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001/1422, juz 1, hlm. 294)


Ayat dan hadis di atas mengingatkan kita kembali, bahwa selain amalan wajib dan sunah yang kita lakukan setiap hari, ada amalan lain yang lebih penting, yaitu menjaga kebersihan hati kita. Kebersihan hati adalah sesuatu yang semestinya ada dalam diri seorang muslim, bahkan setiap orang di muka bumi. 


Dari bersihnya hati, akan ada perkataan yang baik, sopan, ramah dan jauh dari menyakiti dan mencela orang lain. Tidak ada lagi sifat iri, dengki, benci dan dendam kepada orang lain. Kebersihan hati akan berpengaruh pada lisan. Sebab lisan adalah cerminan dari hati. Jika hatinya kotor, tidaklah yang keluar dari lisannya kecuali sesuatu yang buruk. 


Begitu pula, bersihnya hati akan menimbulkan perilaku dan etika yang baik. Dengan demikian, selain menjadikan seseorang sebagai hamba Allah yang mulia, kebersihan hati juga turut berperan dalam menjaga kedamaian sosial di tengah masyarakat, bahkan kedamaian alam semesta dan penghuninya. Wallahu a’lam.


Ustadz Amien Nurhakim, pegiat kajian hadits di Ciputat.