Tasawuf/Akhlak

Memaafkan tanpa Batas: Ketika Ajaran Religius Dijadikan Alat Politik

NU Online  ยท  Senin, 1 September 2025 | 19:00 WIB

Memaafkan tanpa Batas: Ketika Ajaran Religius Dijadikan Alat Politik

Ilustrasi papan tulis bertuliskan "Jangan menjadi bangsa yang pelupa."

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai religius dan budi pekerti yang luhur. Dalam konteks sosial misalnya, semangat gotong royong, toleransi, dan saling memaafkan menjadi karakter yang sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Adapun dalam konteks spiritual, suara lantunan azan di masjid hingga suara gamelan dalam upacara adat dan ritual keagamaan menjadi suara yang sama sekali tidak asing di telinga.


Salah satu bukti nyata dari sikap religius masyarakat Indonesia tersebut adalah hadirnya karakter โ€œmemaafkan tanpa batasโ€ yang telah mengakar kuat dalam interaksi sosial. Karakter ini tidak hanya sekadar tradisi, tetapi seringkali diangkat sebagai nilai luhur yang dibingkai dalam narasi religius, seolah mengampuni segala kesalahan tanpa pertimbangan adalah puncak dari akhlak yang mulia.ย 


Maka tidak heran jika dalam banyak kasus, masyarakat Indonesia akan dengan cepat mengulurkan maaf, bahkan untuk pelanggaran yang serius sekali pun hanya karena keyakinan bahwa memaafkan adalah jalan untuk meraih pahala dan surga.


Terdapat banyak sekali contoh nyata di balik hal ini, misalnya bagaimana figur publik yang terjerat kasus korupsi atau pelanggaran etik berat dapat dengan mudah kembali diterima masyarakat hanya dengan tampil memohon maaf di hadapan publik dengan membawa-bawa simbol dan bahasa agama, seolah permintaan maaf yang ritualistik tersebut telah cukup untuk menebus kesalahan dan menghapus tuntutan pertanggungjawaban hukum serta moral.


Akibatnya, karakter pemaaf tanpa batas ini sering kali dieksploitasi oleh para politikus untuk melegitimasi kesalahan mereka. Mereka dengan sengaja melakukan berbagai bentuk pengkhianatan publik, mulai dari korupsi hingga kebijakan yang menyengsarakan rakyat, dengan perhitungan bahwa setelah kesalahan itu terbongkar, mereka hanya perlu mengucapkan kata maaf dengan dibungkus retorika religius untuk segera mendapat pengampunan massa.


Tak hanya itu, masyarakat Indonesia selain mudah memaafkan, juga memiliki kecenderungan untuk mudah melupakan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan sekalipun kesalahan itu diulang-ulang, sehingga seorang politikus yang telah terbukti korupsi misalnya, bisa saja menghilang dari sorotan untuk beberapa saat, hanya untuk kembali kemudian dengan wajah baru dan narasi yang dipoles.


Kemudahan untuk melupakan ini dimanfaatkan dengan baik oleh para politikus. Mereka paham bahwa kemarahan rakyat bersifat sementara dan akan mereda seiring bergantinya isu. Politisi yang sama bisa kembali mencalonkan diri, bahkan terpilih lagi karena publik sudah melupakan atau mengabaikan track record buruknya.


Pengkhianatan, korupsi, dan janji palsu pun tidak lagi dianggap sebagai aib yang memalukan, melainkan sebatas kesalahan biasa yang bisa dihapus dengan permintaan maaf dan kemudian dilupakan, sehingga siklus yang sama terulang terus menerus tanpa akhir. Lantas, apakah konsep memaafkan dalam Islam memang tanpa batas sebagaimana yang dipahami oleh banyak orang? Mari kita bahas mulai dari akar religius dari memaafkan tersebut hingga munculnya anggapan memaafkan tanpa batas.


Akar Religius dalam Islam tentang Anjuran Memaafkan

Harus diakui bahwa Islam secara tegas menganjurkan umatnya untuk memiliki sifat pemaaf dan mengedepankan sikap ini dalam menghadapi kesalahan orang lain. Anjuran ini tak sekadar pesan moral saja, tetapi perintah yang memiliki landasan kukuh dalam Islam, baik Al-Qurโ€™an maupun Hadits Rasulullah. Salah satunya adalah sebagaimana Allah tegaskan, yaitu:


ูˆูŽุงู„ู’ูƒูŽุงุธูู…ููŠู†ูŽ ุงู„ู’ุบูŽูŠู’ุธูŽ ูˆูŽุงู„ู’ุนูŽุงูููŠู†ูŽ ุนูŽู†ู ุงู„ู†ู‘ูŽุงุณู ูˆูŽุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ูŠูุญูุจู‘ู ุงู„ู’ู…ูุญู’ุณูู†ููŠู†ูŽ


Artinya, โ€œOrang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.โ€ (QS Ali Imran [3]: 134).


ูˆูŽุฌูŽุฒูŽุงุกู ุณูŽูŠู‘ูุฆูŽุฉู ุณูŽูŠู‘ูุฆูŽุฉูŒ ู…ูุซู’ู„ูู‡ูŽุง ููŽู…ูŽู†ู’ ุนูŽููŽุง ูˆูŽุฃูŽุตู’ู„ูŽุญูŽ ููŽุฃูŽุฌู’ุฑูู‡ู ุนูŽู„ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุฅูู†ู‘ูŽู‡ู ู„ุง ูŠูุญูุจู‘ู ุงู„ุธู‘ูŽุงู„ูู…ููŠู†ูŽ


Artinya, โ€œBalasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal. Akan tetapi, siapa yang memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat), maka pahalanya dari Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang zalim.โ€ (QS Asy-Syura [42]: 40).


ุฎูุฐู ุงู„ู’ุนูŽูู’ูˆูŽ ูˆูŽุฃู’ู…ูุฑู’ ุจูุงู„ู’ุนูุฑู’ูู ูˆูŽุฃูŽุนู’ุฑูุถู’ ุนูŽู†ู ุงู„ู’ุฌูŽุงู‡ูู„ููŠู†ูŽ


Artinya, โ€œJadilah pemaaf, perintahlah (orang-orang) pada yang makruf, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh.โ€ (QS Al-Aโ€™raf, [7]: 199).


Tidak hanya bersumber dari beberapa ayat-ayat Al-Qurโ€™an di atas, anjuran untuk memaafkan juga ditegaskan oleh Rasulullah melalui berbagai haditsnya. Sabda-sabda yang disampaikan olehnya tidak hanya mengulang perintah untuk memaafkan, tetapi juga menjanjikan keutamaan dan kemuliaan bagi siapa saja yang mampu melaksanakannya. Berikut beberapa hadits Rasulullah perihal anjuran untuk memaafkan:


ู…ูŽุง ุฒูŽุงุฏูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุนูŽุจู’ุฏู‹ุง ุจูุนูŽูู’ูˆู ุฅูู„ุง ุนูุฒู‘ู‹ุง


Artinya, โ€œTidaklah Allah menambahkan seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan menambah kemuliaan baginya.โ€ (HR Muslim).


ุตูู„ู’ ู…ูŽู†ู’ ู‚ูŽุทูŽุนูŽูƒูŽ ูˆูŽุฃูŽุนู’ุทู ู…ูŽู†ู’ ุญูŽุฑูŽู…ูŽูƒูŽ ูˆูŽุงุนู’ูู ุนูŽู…ู‘ูŽู†ู’ ุธูŽู„ูŽู…ูŽูƒูŽ


Artinya, โ€œSambunglah hubungan dengan orang yang memutuskanmu, berilah orang yang menghalangimu (dari pemberian), dan maafkanlah orang yang telah menzalimimu.โ€ (HR Ahmad).


Demikian beberapa ayat-ayat Al-Qurโ€™an dan hadits-hadits Nabi Muhammad yang secara menjelaskan keutamaan serta anjuran untuk memaafkan. Tidak hanya menjelaskan pentingnya memaafkan, beberapa ayat dan hadits tersebut juga menjanjikan balasan kemuliaan, pertolongan, dan kasih sayang dari Allah bagi siapa pun yang mampu melaksanakannya.


Memaafkan dalam Konteks Spiritual

Dalam perspektif spiritual, memaafkan merupakan jalan transformatif menuju ketenangan hati dan kebaikan sosial. Sabda Rasulullah bahwa โ€œmemaafkan akan menambah kemuliaan seseorangโ€ memiliki makna spiritual bahwa kemuliaan sejati berupa ketenangan hati dan pahala di akhirat bisa didapat melalui cara memaafkan orang lain. Hal ini sebagaimana penjelasan Syekh Abdurraufย al-Munawi, dalam kitabnya mengatakan:


ู…ูŽุง ุฒูŽุงุฏูŽ ุงู„ู„ู‡ู ุนูŽุจู’ุฏู‹ุง ุจูุนูŽูู’ูˆู ุงูู„ุงู‘ูŽ ุนูุฒู‘ู‹ุง. ุฃูŽูŠู’ ูููŠ ุงู„ุฏู‘ูู†ู’ูŠูŽุงุŒ ููŽุงูู†ู‘ูŽ ู…ูŽู†ู’ ุนูุฑูููŽ ุจูุงู„ู’ุนูŽูู’ูˆู ุนูŽุธูู…ูŽ ูููŠ ุงู„ู’ู‚ูู„ููˆู’ุจูุŒ ุฃูŽูˆู’ ูููŠ ุงู„ู’ุขุฎูุฑูŽุฉู ุจูุฃูŽู†ู’ ูŠูุนูŽุธู‘ูŽู…ูŽ ุซูŽูˆูŽุงุจูู‡ู ุฃูŽูˆู’ ูููŠู’ู‡ูู…ูŽุง


Artinya, โ€œTidaklah Allah menambahkan seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan menambah kemuliaan baginya. Yaitu kemuliaan di dunia, sebab siapa yang dikenal sebagai pemaaf maka ia akan diagungkan dalam hati manusia, atau kemuliaan di akhirat dengan dilipatgandakannya pahala, atau keduanya sekaligus.โ€ (at-Taisir bi Syarhil Jamiโ€™is Shaghir, [Riyadh: Maktabah Imam asy-Syafiโ€™i, 1988 M], jilid II, halaman 715).


Selain itu, memaafkan juga akan menjadi obat bagi hati. Dengan memaafkan, artinya seseorang sedang melepaskan beban dendam dan kebencian yang justru berbahaya pada dirinya sendiri. Memaafkan juga akan menjadi perekat hubungan persaudaraan. Ia akan mencegah adanya permusuhan dan perpecahan yang bisa melemahkan. Maka ketika Islam menganjurkan untuk saling memaafkan, itu artinya Islam menghindari terjadinya cekcok dan permusuhan antar sesama.


Memaafkan bukan Legitimasi Kezaliman

Namun, penting untuk dicermati bahwa ajaran memaafkan dalam Islam ditujukan untuk konteks kehidupan pribadi dan sosial antarindividu, bukan untuk membiarkan kezaliman berulang secara sistematis. Ia hadir sebagai solusi untuk konflik sehari-hari, kesalahpahaman, atau kekeliruan personal yang wajar terjadi dalam interaksi manusia. Ruangnya adalah di ranah privat dan komunitas terdekat, di mana memaafkan berfungsi sebagai perekat yang memulihkan harmoni yang sempat retak.


Ajaran mulia ini tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi tameng bagi kezaliman yang dilakukan secara terstruktur, berulang, dan sistematis. Memaafkan dalam Islam bukanlah konsep yang mengajarkan untuk membiarkan pelanggaran terus berjalan tanpa koreksi, atau untuk menoleransi pengkhianatan terhadap amanah publik.


Sebab, Islam sangat menekankan tanggung jawab dan amanah. Maka membiarkan kezaliman berulang secara sistematis dengan dalih memaafkan adalah distorsi terhadap makna memaafkan itu sendiri, karena ia mengorbankan prinsip kebenaran dan membuka pintu bagi kerusakan yang lebih luas dan lebih besar (mafsadah).


Dalam ranah politik, narasi โ€œmemaafkanโ€ dan โ€œmelupakanโ€ sering dieksploitasi sebagai strategi pencucian citra yang sistematis. Para politikus yang terlibat dalam skandal korupsi, pelanggaran etik, atau pengingkaran janji, kerap mengemas permintaan maaf sebagai bentuk responsibilitas palsu, sembari mengajak publik untuk โ€œmelupakanโ€ kesalahan tersebut dan membuka lembaran baru. Umumnya, narasi ini dibungkus dalam bahasa yang seolah-olah mengedepankan rekonsiliasi, padahal bertujuan memutus tuntutan akuntabilitas dan mengalihkan perhatian dari substansi kesalahan.


Dampaknya, masyarakat terjebak dalam siklus politik yang stagnan, yaitu kemarahan publik mereda oleh retorika maaf, tuntutan pertanggungjawaban hukum dan moral pun menguap, sementara perubahan nyata tidak pernah terwujud. Rakyat menjadi korban dari siklus yang sama, yaitu pengkhianatan, maaf, lupa, dan pengkhianatan kembali tanpa pernah menyentuh reformasi struktural.


Politisi terus mengulangi pola yang sama karena mereka tahu bahwa publik mudah terbuai oleh permintaan maaf simbolis, sementara akar masalah seperti korupsi, pengkhianatan, hingga pengabaian amanah tetap tidak tersentuh.


Salah Kaprah dalam Penerapan

Kesalahan fundamental dalam penerapan nilai memaafkan ini sebetulnya terletak pada ketidakmampuan membedakan antara kesalahan pribadi yang layak dimaafkan dengan pengkhianatan publik yang memerlukan pertanggungjawaban hukum dan politik.


Kesalahan pribadi seperti ucapan yang menyinggung atau kelalaian individual memang menjadi ranah di mana ajaran memaafkan berlaku untuk menjaga harmoni sosial. Namun pengkhianatan publik seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, atau pengingkaran mandat rakyat adalah kejahatan struktural yang dampaknya melampaui tingkat interpersonal dan menyentuh hajat hidup orang banyak.


Sayangnya, sebagai bangsa kita sering terjebak dalam pemahaman yang keliru dengan menganggap semua kesalahan dapat diselesaikan dengan mekanisme memaafkan secara moral. Akibatnya, pertanggungjawaban hukum menjadi terabaikan dan konsekuensi sosial terus berjalan.


Ketika koruptor dimaafkan tanpa proses peradilan, yang terjadi bukanlah rekonsiliasi melainkan pembiaran terhadap kejahatan yang justru akan terulang kembali. Memaafkan dalam konteks ini bukanlah solusi, melainkan bagian dari masalah yang melanggengkan budaya impunitas dan merusak tatanan hukum yang seharusnya ditegakkan. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah saw pernah bersabda kepada sahabat:


ุงู†ู’ุตูุฑู’ ุฃูŽุฎูŽุงูƒูŽ ุธูŽุงู„ูู…ู‹ุงุŒ ุฃูŽูˆู’ ู…ูŽุธู’ู„ููˆู…ู‹ุง


Artinya, โ€œTolonglah saudaramu yang zalim maupun yang dizalimi.โ€ (HR al-Baihaqi).


Tentu saja sabda Rasulullah ini menjadikan para sahabat kebingungan. Satu sisi menolong orang-orang yang dizalimi memang anjuran dalam Islam dan ini memiliki dalil yang sangat jelas dan kuat, tapi bagaimana menolong orang yang berbuat zalim? Maka para sahabat bertanya kepada Nabi, โ€œWahai Rasulullah, kami paham menolong yang dizalimi, tapi bagaimana menolong yang zalim?โ€ Maka Nabi menjawab:


ุชูŽุญู’ุฌูุฒูู‡ู ุฃูŽูˆู’ ุชูŽู…ู’ู†ูŽุนูู‡ู ุนูŽู†ู ุงู„ุธู‘ูู„ู’ู…ูุŒ ููŽุฅูู†ู‘ูŽ ุฐูŽู„ููƒูŽ ู†ูŽุตู’ุฑูู‡ู


Artinya, โ€œEngkau cegah atau halangi dia dari perbuatan zalim, itulah pertolonganmu kepadanya.โ€ (Ibnul Atsir, Jamiโ€™ul Ushul fi Ahaditsir Rasul, [Damaskus: Maktabah Darul Bayan, 1971 M], jilid VI, halaman 568).


Berkaitan dengan hal ini, hadits Rasulullah tentang perintah menolong saudara yang zalim justru menjadi koreksi telak terhadap salah kaprah tersebut. Sabda Nabi di atas menegaskan bahwa bentuk memaafkan yang benar bukanlah membiarkan kezaliman, melainkan menghentikannya secara aktif.ย 


Dalam konteks pengkhianatan publik misalnya, memaafkan yang sebenarnya adalah dengan menjalankan proses hukum yang adil, karena justru dengan menuntut pertanggungjawaban, kita sesungguhnya sedang menolong pelaku dari terus terjerumus dalam kezaliman, sekaligus melindungi masyarakat dari dampak kerusakan yang lebih luas.


Tidak hanya itu, menurut Imam Ibnul Arabi sebagaimana dikutip oleh Imam Syamsuddin al-Qurthubi (wafat 671 H) konteks antara membalas kezaliman dengan anjuran memaafkan tidak bisa dibenturkan secara absolut, sebab keduanya memiliki konteks penerapan yang berbeda. Sebab Allah memuji kedua sikap ini dalam situasi yang berbeda, pembalasan terhadap pelaku kezaliman dipuji dalam konteks tertentu, sementara memaafkan juga dipuji dalam konteks lain. Hal ini menunjukkan bahwa kedua ajaran ini tidak saling menafikan, melainkan diterapkan sesuai dengan kondisi dan dampaknya.


Kunci utamanya terletak pada niat dan keadaan pelaku. Jika pelaku kezaliman bersikap terbuka dalam keburukannya, terus-menerus menyakiti masyarakat, dan tidak menunjukkan penyesalan, maka menegakkan keadilan dengan membalas atau memberikan sanksi (al-intiqam) justru lebih utama. Dalam kitabnya disebutkan:


ุฅูุญู’ุฏูŽุงู‡ูู…ูŽุง ุฃูŽู†ู’ ูŠูŽูƒููˆู’ู†ูŽ ุงู„ู’ุจูŽุงุบููŠ ู…ูุนู’ู„ูู†ู‹ุง ุจูุงู„ู’ููุฌููˆู’ุฑูุ› ูˆูŽู‚ุญู‹ุง ูููŠ ุงู„ู’ุฌูู…ู’ู‡ููˆู’ุฑูุŒ ู…ูุคู’ุฐููŠู‹ุง ู„ูู„ุตู‘ูŽุบููŠู’ุฑู ูˆูŽุงู„ู’ูƒูŽุจููŠู’ุฑูุ› ููŽูŠูŽูƒููˆู’ู†ู ุงู„ู’ุงูู†ู’ุชูู‚ูŽุงู…ู ู…ูู†ู’ู‡ู ุฃูŽูู’ุถูŽู„ูŽ


Artinya, โ€œSalah satu kondisi (di mana membalas dan memaafkan memiliki konteks yang berbeda) adalah ketika pelaku kezaliman secara terang-terangan melakukan kesalahan, bersikap lancang di hadapan khalayak, serta menyakiti orang kecil maupun besar, maka dalam keadaan seperti ini membalas (dengan memberikan hukuman) kepadanya adalah lebih utama.โ€ (al-Jamiโ€™ li Ahkamil Qurโ€™an, [Riyadh: Dar Alamil Kutub, 2003 M], jilid XVI, halaman 39).


Konsekuensi Bangsa yang Mudah Lupa

Kebiasaan memaafkan secara impulsif terhadap kesalahan politik yang sistematis akan melahirkan konsekuensi yang jauh lebih berbahaya, yaitu melemahnya budaya kritik dan akuntabilitas. Masyarakat yang terlalu cepat โ€œmelupakanโ€ dan โ€œmemaafkanโ€ cenderung kehilangan daya kritisnya, sehingga tidak lagi mampu menuntut pertanggungjawaban dari para pemegang amanah. Politisi pun belajar bahwa mereka tidak perlu takut pada konsekuensi, karena publik akan dengan mudah melupakan kesalahan mereka hanya dengan permintaan maaf simbolis.


Dampak jangka panjangnya adalah terbentuknya siklus politik yang stagnan, yaitu rakyat terus menjadi korban dari kebijakan yang tidak berpihak dan praktik korupsi yang terus berulang, sementara politikus tetap untung dan leluasa menguasai sumber daya tanpa pernah benar-benar dimintai pertanggungjawaban. Maka dalam kondisi seperti ini, memaafkan tidak lagi menjadi kebajikan atau virtue, melainkan bumerang yang melanggengkan ketidakadilan dan memundurkan demokrasi.


Oleh karena itu, kita perlu mereorientasi pemahaman tentang makna memaafkan yang sebenarnya. Memaafkan tidak boleh dimaknai sebagai penghapusan pertanggungjawaban atau pembiaran terhadap kesalahan, melainkan langkah awal untuk memperbaiki dan mencegah terulangnya kesalahan yang sama.


Maka dalam konteks ini, memaafkan harus berjalan seirama dan selalu beriringan dengan penegakan keadilan serta akuntabilitas, terutama untuk kesalahan yang bersifat sistematis dan merugikan banyak orang. Bahkan menurut Imam ad-Dzahabi (wafat 748 H), pejabat-pejabat yang melakukan hal-hal demikian tidak layak dimaafkan, mereka sudah seharusnya dicopot dari kekuasaannya atau menghukumnya. Ad-Dzahabi dalam kitabnya mengatakan:

 

ูˆูŽุฃูŽู†ู’ ู„ูŽุง ูŠูŽุนู’ูููˆูŽ ุนูŽู†ู’ ูˆูŽุงู„ู ุธูŽุงู„ูู…ูุŒ ูˆูŽู„ุงูŽ ุนูŽู†ู’ ู‚ูŽุงุถู ู…ูุฑู’ุชูŽุดูุŒ ุจูŽู„ู’ ูŠูุนูŽุฌูู‘ู„ู ุจูุงู„ู’ุนูŽุฒู’ู„ูุŒ ูˆูŽูŠูุนูŽุงู‚ูุจู ุงู„ู’ู…ูุชู‘ูŽู‡ูŽู…ู ุจูุงู„ุณูู‘ุฌู’ู†ู


Artinya, โ€œDan seorang (penguasa) seharusnya tidak boleh memaafkan pejabat yang zalim, atau hakim yang menerima suap, bahkan harus segera mencopotnya dan menghukum terdakwa dengan penjara.โ€ (Siyaru Aโ€™lamin Nubala, [Damaskus: Muassasah ar-Risalah, 1985 M], jilid IV, halaman 385).


Karenanya, penting bagi kita untuk menyeimbangkan nilai-nilai agama dengan prinsip keadilan sosial. Memaafkan memang ajaran yang mulia, tetapi bukan berarti kita harus mengabaikan tanggung jawab untuk menuntut pertanggungjawaban dari mereka yang melakukan kesalahan. Justru dengan menegakkan keadilan, kita sedang menjalankan perintah agama untuk mencegah kerusakan dan kezaliman di muka bumi. Allah berfirman dalam Al-Qurโ€™an:


ูŠูŽุง ุฃูŽูŠู‘ูู‡ูŽุง ุงู„ู‘ูŽุฐููŠู†ูŽ ุขู…ูŽู†ููˆุง ูƒููˆู†ููˆุง ู‚ูŽูˆู‘ูŽุงู…ููŠู†ูŽ ู„ูู„ู‘ูŽู‡ู ุดูู‡ูŽุฏูŽุงุกูŽ ุจูุงู„ู’ู‚ูุณู’ุทู ูˆูŽู„ุง ูŠูŽุฌู’ุฑูู…ูŽู†ู‘ูŽูƒูู…ู’ ุดูŽู†ูŽุขู†ู ู‚ูŽูˆู’ู…ู ุนูŽู„ูŽู‰ ุฃูŽู„ุง ุชูŽุนู’ุฏูู„ููˆุง ุงุนู’ุฏูู„ููˆุง ู‡ููˆูŽ ุฃูŽู‚ู’ุฑูŽุจู ู„ูู„ุชู‘ูŽู‚ู’ูˆูŽู‰


Artinya, โ€œWahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa.โ€ (QS Al-Maโ€™idah: 8).


Oleh karena itu, seruan ini penting untuk disampaikan bahwa jangan sampai umat terjebak pada doktrin yang dipelintir atas nama agama untuk melegitimasi ketidakadilan. Memaafkan bukanlah alat untuk melindungi para pelaku kezaliman, melainkan jalan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan bertanggung jawab. Dengan demikian, memaafkan dapat benar-benar menjadi tindakan kebajikan yang membawa kebaikan bagi semua, tidak sekadar alat untuk melanggengkan ketidakadilan. Wallahu aโ€™lam bisshawab.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.