Tasawuf/Akhlak

Mengenal Konsep Takhalli dan Tahalli dalam Tarekat

Sabtu, 19 Oktober 2024 | 08:00 WIB

Mengenal Konsep Takhalli dan Tahalli dalam Tarekat

Ilustrasi takhalli dan tahalli. Sumber: Canva/NU Online

Dalam ajaran tarekat, salah satu langkah utama dalam perjalanan spiritual adalah takhalli, yang berarti penarikan diri atau pengosongan diri dari segala sifat tercela dan penyakit hati yang merusak.

 

Konsep ini bukan sekadar aktivitas fisik, melainkan sebuah transformasi batiniah yang dalam, di mana seorang salik (pejalan spiritual) membersihkan jiwanya dari noda-noda yang menghalangi kedekatan dengan Allah.


Takhalli berasal dari kata Arab "خلى" yang berarti mengosongkan atau meninggalkan. Dalam konteks tarekat, istilah ini merujuk pada upaya untuk mengosongkan diri dari akhlak yang buruk, nafsu duniawi, dan kecenderungan maksiat yang menjauhkan seorang hamba dari Tuhannya.

 

Penyakit-penyakit hati seperti riya, sombong, hasad (dengki), dan hubbud dunya (cinta dunia) menjadi penghalang utama dalam perjalanan spiritual. Oleh karena itu, takhalli adalah langkah penting untuk mencapai derajat yang lebih tinggi dalam kesucian hati dan ketakwaan.


Pada intinya, takhalli melibatkan dua aspek penting: pengosongan diri dari sifat tercela dan penghindaran dari segala bentuk maksiat. Seorang salik harus sadar akan dorongan hawa nafsu yang sering kali membawa kepada keburukan, seperti keserakahan, kemarahan, atau keinginan untuk dipuji.

 

Penarikan diri ini tidak berarti lari dari dunia atau mengasingkan diri secara fisik, melainkan sebuah perjuangan batin untuk menjauhkan diri dari dorongan nafsu yang merusak.


Sementara itu, dalam kitab Tanwirul Qulub, Syekh Amin Al-Kurdi menyebutkan bahwa takhalli merupakan proses membersihkan diri dari sifat-sifat tercela yang bersifat najis secara maknawi. Takhalli sejatinya, sebagai tahap pertama yang harus dijalani oleh seorang murid setelah tobat. 


Dalam konteks tarekat, seorang murid yang telah bertaubat dari dosa-dosa zahir dan batin harus memurnikan dirinya dari segala sifat yang dapat menghalangi kedekatan dengan Allah. Hal ini menjadi inti dari proses tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), yang merupakan salah satu tujuan utama dalam praktik tasawuf.

 

Tanpa proses takhalli, hati seseorang akan tetap terhalang dari menerima cahaya Ilahi, karena sifat-sifat tercela ini bertindak sebagai hijab (penghalang) yang menutupi cahaya dan kebenaran.


Lebih jauh lagi, menurut Syekh Amin Al-Kurdi, sifat-sifat tercela yang ada pada manusia dapat diibaratkan sebagai najis maknawi. Sebagaimana najis fisik yang tidak dapat digunakan dalam beribadah, demikian pula najis maknawi tidak dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah. 


Oleh karena itu, setiap murid wajib mensucikan dirinya dari sifat-sifat tersebut agar layak untuk mendekatkan diri kepada hadirat Allah. Dengan kata lain, takhalli adalah langkah esensial dalam pembersihan hati sebelum seorang murid bisa melanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu tahalli—menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji.


Sifat-Sifat Tercela dalam Takhalli

Lebih jauh, Syekh Amin Al-Kurdi menyebutkan setidaknya ada 13 sifat tercela yang harus dihindari oleh para murid [salik] dalam proses takhalli. Nah berikut penjelasannya;

  1. Hasad (Dengki): Sifat iri hati terhadap nikmat yang diberikan Allah kepada orang lain, berharap agar nikmat tersebut lenyap.
  2. Hiqd (Dendam): Perasaan marah dan kebencian yang dipendam terhadap seseorang, yang dapat menggerakkan tindakan buruk.
  3. Kibr (Kesombongan): Merasa lebih unggul atau lebih baik dari orang lain.
  4. Ujub (Bangga Diri): Mengagumi diri sendiri secara berlebihan, terutama terkait dengan amal ibadah atau kelebihan yang dimiliki.
  5. Bakhil (Kikir): Ketidakmauan untuk berbagi harta, ilmu, atau kelebihan lainnya kepada orang lain meskipun mampu.
  6. Riya (Pamer): Melakukan amal ibadah atau perbuatan baik dengan tujuan dipuji atau dilihat orang lain.
  7. Hubbul Jah (Cinta Kedudukan): Ambisi untuk memperoleh status atau pengaruh di masyarakat demi kemuliaan pribadi.
  8. Tafakhur (Berbangga Diri): Menyombongkan diri di hadapan orang lain atas prestasi atau kelebihan yang dimiliki.
  9. Ghadab (Marah): Emosi yang tidak terkendali, yang sering kali menuntun seseorang untuk bertindak zalim.
  10. Ghibah (Menggunjing): Membicarakan keburukan orang lain yang sebenarnya, meskipun benar adanya.
  11. Namimah (Mengadu Domba): Menyebarkan informasi atau ucapan seseorang untuk menimbulkan permusuhan atau konflik antara orang-orang.
  12. Kadzib (Dusta): Berbohong atau menyampaikan informasi yang tidak benar.
  13. Katsratul Kalam (Banyak Bicara): Bicara berlebihan tanpa tujuan yang baik atau manfaat, yang dapat menimbulkan kesia-siaan atau dosa.


Sifat-sifat ini, dalam pandangan Syekh Amin Al-Kurdi, merupakan penghalang utama bagi murid untuk meraih maqam spiritual yang lebih tinggi. Setiap sifat tercela ini mengotori hati dan menjauhkan murid dari kedekatan dengan Allah.

 

Simak keterangan Syekh Amin Al-Kurdi;


اعلم أيها المريد أنه ينبغي لك بعد التوبة أن تتخلى عن الأوصاف الذميمة لأنها نجاسات معنوية لا يمكن التقرب بها إلى الحضرة القدسية الإلهية ، كما لا يمكن التقرب بالنجاسات الصورية إلى العبادات الإلهية فلابد للمسالك أن يزكي نفسه من جميعها ويتحلى بالأوصاف الحميدة . فالأوصاف الذميمة كالحسد ، والحقد ، والكبر، والعجب، والبخل ، والرياء ، وحب الجاه ، والرياسة والتفاخر ، والغضب ، والغيبة ، والنميمة ، والكذب، وكثرة الكلام ونحو ذلك


Artinya; Ketahuilah wahai murid, bahwa setelah bertaubat, kamu harus [takhalli] atau membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, karena sifat-sifat tersebut adalah najis secara maknawi yang tidak dapat mendekatkan diri kepada hadirat suci Ilahi. Sebagaimana najis secara fisik tidak dapat digunakan untuk mendekatkan diri dalam ibadah kepada Allah. Maka, setiap pejalan (menuju Allah) harus mensucikan dirinya dari semua sifat tercela tersebut dan menghiasi dirinya dengan sifat-sifat terpuji. Sifat-sifat tercela seperti hasad (dengki), dendam, kesombongan, ujub (bangga diri), kikir, riya (pamer), cinta kedudukan, kepemimpinan, berbangga diri, marah, ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba), dusta, banyak bicara, dan sifat-sifat sejenisnya. (Amin Al-Kurdi, (Damaskus; Darul Qalam, al-Arabi, tt), hlm. 488)


Mengenal Tahalli

Dengan membersihkan hati dari sifat-sifat tercela, seorang murid mempersiapkan diri untuk menerima cahaya ilahi yang hanya bisa hadir dalam hati yang suci. Setelah menjalani proses takhalli, murid bisa melanjutkan ke tahapan selanjutnya, yaitu tahalli. 


Secara definisi, tahalli adalah menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji seperti keikhlasan, kerendahan hati, kasih sayang, dan kesabaran. Tahalli merupakan wujud nyata dari implementasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, yang melahirkan akhlak mulia dan perilaku terpuji.


Syekh Amin Al-Kurdi dalam kitabnya Tanwirul Qulub menjelaskan secara rinci tentang sifat-sifat terpuji yang harus dimiliki oleh seorang salik, serta bagaimana sifat-sifat tersebut berperan penting dalam mencapai kedekatan dengan Allah.


Nah berikut ada beberapa sifat terpuji yang harus ditanamkan oleh seorang murid tarekat, di antaranya:


Pertama, Akidah yang Benar. Akidah yang benar adalah landasan utama bagi setiap muslim. Keyakinan yang lurus kepada Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan takdir adalah syarat mutlak dalam mencapai kesucian jiwa. Dengan akidah yang benar, seorang salik akan memiliki pandangan hidup yang terarah dan fokus pada tujuan spiritualnya, yaitu ridha Allah.


Kedua, tobat dari maksiat. Taubat adalah langkah pertama yang harus dilakukan seorang salik dalam memperbaiki hubungan dengan Allah. Taubat yang sungguh-sungguh diikuti dengan menjauhi maksiat dan penyesalan atas dosa-dosa yang telah dilakukan akan membersihkan hati dari noda spiritual. Dengan hati yang bersih, salik lebih mudah menerima cahaya hidayah dan bertumbuh dalam ketaatan.


Ketiga, sifat malu kepada Allah.  Rasa malu kepada Allah adalah perasaan yang mendorong seseorang untuk selalu menjaga perilakunya agar tidak melanggar perintah-Nya. Orang yang memiliki sifat malu kepada Allah akan senantiasa menghindari perbuatan dosa, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Hal ini menunjukkan tingkat keimanan yang tinggi, karena ia menyadari bahwa Allah selalu mengawasi segala perbuatannya.


Keempat, Zuhud dan Qana'ah. Zuhud berarti sikap menjauhi cinta dunia dan harta, dengan fokus pada kehidupan akhirat. Orang yang zuhud tidak terlalu memikirkan keuntungan duniawi, melainkan mencari keridhaan Allah dalam setiap amalnya. Sifat qana'ah, yaitu merasa cukup dengan apa yang Allah berikan, juga merupakan kunci kebahagiaan seorang salik. Dengan qana'ah, ia tidak terjebak dalam ambisi duniawi yang dapat menghalangi perjalanannya menuju Allah.


(وأما الأوصاف الحميدة فكثيرة أيضاً مثل العقيدة الصحيحة والتوبة والإعراض عن المعصية والندم على فعلها و الحياء من الله والطاعة والصبر والورع والزهد والقناعة والرضا والشكر والثناء وصدق الحديث والوفاء وأداء الأمانة وترك الخيانة وحفظ حق الجوار وبذل الطعام وإفشاء السلام وحسن العمل وحب الآخرة


Artinya; Adapun sifat-sifat terpuji juga banyak, seperti akidah yang benar, taubat, menjauhkan diri dari maksiat, menyesali perbuatan dosa, rasa malu kepada Allah, ketaatan, kesabaran, sikap wara' (kehati-hatian dalam beragama), zuhud, qana'ah (merasa cukup), ridha, syukur, pujian, berkata jujur, menepati janji, menunaikan amanah, meninggalkan pengkhianatan, menjaga hak tetangga, memberi makanan, menyebarkan salam, beramal dengan baik, dan mencintai akhirat. (hlm. 499).


Dengan demikian, sejatinya takhalli dan tahalli merupakan dua prinsip inti dalam tarekat yang mencerminkan perjalanan seorang salik dalam membersihkan diri dari sifat-sifat buruk dan menghiasi hati dengan sifat-sifat terpuji.

 

Secara sederhana, takhalli berfokus pada pengosongan diri dari segala hal yang mengotori hati. Sementara tahalli merupakan proses pengisian hati dengan sifat-sifat mulia. Keduanya saling melengkapi dan bertujuan untuk membawa seorang salik menuju tajalli, yaitu penyaksian kehadiran Allah secara langsung.

 

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal Parung