Tasawuf/Akhlak

Mengenal Nafsu Muthmainnah

Sel, 10 Maret 2020 | 03:30 WIB

Mengenal Nafsu Muthmainnah

(Ilustrasi: NU Online/Dok. Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo)

Ketika nafsu telah tenang dengan Allah, tenteram dengan mengingat-Nya, berpulang kepada-Nya, rindu berjumpa dengan-Nya, bersandar pada kedekatan-Nya, maka itulah nafsu muthmainnah. Nafsu ini pula yang diseru jadi hamba yang ridha dan diridhai:

 

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّة

 

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya,” (QS. al-Fajr [89]: 27-28).

 

Dijelaskan oleh Ibnu ‘Abbas, nafsu muthmaninnah adalah nafsu yang membenarkan ketuhanan Allah. Sedangkan menurut Qatadah, nafsu muthmaninnah adalah nafsu seorang mukmin yang yakin terhadap janji-janji Allah, tenang berada di pintu makrifat kepada asma dan sifat-sifat-Nya, yakin terhadap segala yang dikabarkan rasul-Nya, percaya atas apa yang terjadi di alam barzakh dan hari akhir. Karena yakinnya, ia melihat semua perkara yang dijanjikan Allah seakan-akan nyata dan berada di depan matanya.

 

 

Tak hanya itu, nafsu muthmainnah juga tenang dengan takdir Allah. Ia pasrah dan rida terhadap segala ketentuan-Nya. Tak pernah mengeluh dan tergoyahkan keimanannya. Tak pernah putus asa atas rahmat-Nya. Tak pernah terlena dan terbuai atas segala pemberian-Nya. Sebab, ia yakin apa pun yang menimpa terjadi atas izin dan hikmah-Nya:

 

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إلاّ بِإِذْنِ اللهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ

 

“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya,” (QS. At-Taghabun [64]: 11).

 

Keistimewaan lain dari nafsu muthmainnah adalah taat terhadap segala perintah-Nya, ikhlas dalam beribadah kepada-Nya, murni mengharap ridha-Nya. Tidak pernah menunaikan perintah Allah hanya karena keinginan atau hawa nafsunya. Tidak pernah taklid jika bukan di jalan yang hak. Tidak pernah tenang dengan sesuatu yang menentang perintah-Nya. Tak pernah menginginkan sesuatu yang bukan haknya. Demikian sebagaimana yang diungkap oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:

 

لَا يَحِقُّ الْعَبْدُ حَقَّ صَرِيحِ الْإِيمَانِ حَتَّى يُحِبَّ لِلَّهِ، وَيُبْغِضَ لِلَّهِ، فَإِذَا أَحَبَّ لِلهِ، وَأَبْغَضَ لِلهِ، فَقَدِ اسْتَحَقَّ الْوَلَاءَ مِنَ اللهِ، وَإِنَّ أَوْلِيَائِي مِنْ عِبَادِي، وَأَحِبَّائِي مِنْ خَلْقِي الَّذِينَ يُذْكَرُونَ بِذِكْرِي، وَأُذْكَرُ بِذِكْرِهِمْ

 

Artinya, “Seorang hamba tidak akan mampu mewujudkan keimanan seterang-terangnya hingga ia mencintai sesuatu karena Allah dan membenci sesuatu karena Allah. Ketika seorang hamba sudah mencinta dan membenci karena Allah, maka dia berhak mendapat pertolongan dari-Nya. Disebutkan oleh Allah, ‘Sesungguhnya para wali-Ku di antara hamba-Ku dan para kekasih-Ku di antara makhluk-Ku adalah mereka yang berdzikir mengingat-Ku, sehingga Aku pun berdzikir mengingatnya,’” (HR. Ahmad).

 

Secara tidak langsung, hadits di atas membuktikan ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa dzikir dapat menenangkan hati dan jiwa:

 

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

 

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah, hati menjadi tenteram, (QS. Ar-Ra‘d [13]: 28).

 

Atas dasar itu, hamba yang bernafsu muthmainnah akan beralih dari maksiat kepada taubat, dari ragu kepada yakin, dari kebodohan kepada pengetahuan, dari kelalaian kepada dzikir, dari khianat kepada amanah, dari riya kepada ikhlas, dari dusta kepada benar, dari lemah kepada kuat, dari ujub kepada rendah hati, dari sombong kepada tawadlu. Di sana nafsu muthmainnah berada.

 

Namun, langkah pertama menuju nafsu muthmainnah adalah berjalan menuju Allah dan meniti ke negeri akhirat. Dasarnya adalah sadar sebagai hamba yang hina, merasa kecil di hadapan kuasa Allah, selalu melihat segala sesuatu dengan pandangan pelajaran dan hikmah, melihat akhirat sebagai kehidupan panjang yang lebih baik, sedangkan melihat dunia sebagai kehidupan sementara yang lekas berakhir. Tanpa dasar ini yang terjadi adalah penyesalan yang menyengsarakan diri, sebagaimana yang diungkap Al-Quran.

 

“Supaya jangan ada orang yang mengatakan, “Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedangkan aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah ),” (QS. Az-Zumar [39]: 56). (Lihat: Syekh Ahmad Farid, Tazkiyatun Nufus, [al-Iskandariyyah: Darul Aqidah], 1993, jilid 1, hal. 67).

 

 

Dari gambaran di atas, nafsu muthmainnah adalah nafsu tertinggi, sekaligus kebalikan dari nafsu amarah. Ketika nafsu muthmainnah menguat, maka hati akan terlindung dalam bentengnya, dan semakin dekat dengan kerajaannya. Sementara nafsu amarah kian tersisih. Ia tak lagi mampu memerintah yang buruk.

 

 

Ingatlah bahwa nafsu mutmainnah ialah peredam dan penghadang tentara setan, yakni nafsu amarah, marah, dan syahwat. Sementara syahwat adalah tabiat kebinatangan. Dengan syahwat, manusia akan zalim kepada dirinya akibat ketamakan dan kekikirannya. Kemudian marah merupakan tabiat buas kebinatangan yang lebih berbahaya dari syahwat. Sebab, dengan marah, manusia akan zalim kepada diri dan orang lain akibat ujub dan kesombongannya. Terakhir hawa nafsu atau nafsu amarah lebih besar bahayanya dari syahwat dan marah. Dengan hawa nafsu, manusia akan berani menantang Penciptanya, kufur dan menyekutukan-Nya.

 

Walhasil, nafsu muthmainndah adalah nafsu yang terang dengan cahaya hati, sehingga ia terlepas dari sifat-sifat tercela, dan penuh dengan sifat-sifat terpuji. Tak dipungkiri nafsu lawwamah pun mampu melahirkan perangai terpuji. Hanya saja, nafsu lawwamah sesekali masih cenderung kepada kelalaian. Keyakinan, ketenangan, dan kekhusyuan adalah buah dari nafsu muthmainnah, sedangkan taubat, istigfar, dan berpulang ke jalan Allah adalah buah dari nafsu lawwamah. Dan berbagai keburukan dan perangai tercela, seperti hasud, sombong, ujub, marah dan permusuhan datang dari nafsu amarah. (Lihat: Syekh Shalih ibn ‘Abdullah, dkk., Nadlratan Na‘im fi Makarimil Akhlaqir Rasul, [Jeddah: Darul Wasilah], cet. keempat, jilid 8, hal. 3306).

 

 

Penulis: M. Tatam Wijaya

Editor : Mahbib