Pemimpin yang Ideal dalam Islam: Selalu Mementingkan Kemaslahatan Umum
Rabu, 11 September 2024 | 17:00 WIB
Sayyida Naila Nabila
Kolomnis
Maslahat umum atau kepentingan rakyat merupakan hal primer dalam kehidupan negara demokrasi. Para pemimpin yang menjadi penyambung lidah rakyat sepatutnya menyingkirkan kepentingan pribadi maupun segelintir kelompok di atas maslahat seluruh umat.
Jangan sampai stigma ‘orang dalam’ semakin merambah luas dalam atmosfer pemilihan sumber daya manusia di Indonesia. Terlebih lagi, populisme atau aksi protes masyarakat yang terpinggirkan akibat tindak penyelewengan elite yang berkuasa bisa muncul. Abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan sendiri bukan merupakan cerminan perilaku keadilan sosial dan politik.
Jika kekuatan politik yang dominan tidak diiringi dengan nilai-nilai moral, maka akan mendorong penggunaan kekuasaan yang kurang wajar dan otoriter, hingga pemaksaan kehendak. (M. Quraish Shihab, Islam dan Kebangsaan, [Tangerang Selatan: Penerbit Lentera Hati], 2020, halaman 68).
Baca Juga
Memilih Pemimpin Non Muslim, Bolehkah?
Pemimpin Ideal dalam Pandangan Islam
Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa pemimpin yang ideal dalam Islam hendaklah memenuhi beberapa kriteria, di antaranya:
- Bertanggung jawab.
- Mau menerima pesan dari kalangan ulama.
- Berlaku baik kepada bawahannya.
- Rendah hati dan memiliki kelembutan hati.
- Tidak mementingkan dirinya sendiri.
- Memiliki loyalitas yang tinggi.
- Hidup dengan sederhana dan tidak berfoya-foya.
- Mencintai rakyatnya.
- Ikhlas dan tulus.
Kriteria-kriteria ini merupakan panduan untuk membentuk kepemimpinan yang bertanggung jawab, adil, dan peduli terhadap kesejahteraan umat. Namun, syarat mutlak yang paling ditekankan dalam Islam, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadits, adalah keadilan (Al-Ghazali, At-Tibrul Masbuk fi Nasihatil Muluk, [Beirut: Dar al-Kutub Al-ulumiyah, 1988], halaman 173).
Selain kriteria umum yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, salah satu sifat paling penting yang dituntut dalam Islam adalah keadilan. Keadilan adalah fondasi utama dalam menegakkan kesejahteraan sosial dan menjaga persatuan umat. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur'an:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Al-Maidah: 8).
Selain itu, dalam sebuah hadits Rasulullah SAW, disebutkan bahwa pemimpin yang adil termasuk salah satu dari tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari kiamat:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِل
Artinya, “Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Muhammad saw, ia bersabda, ‘Ada tujuh kelompok orang yang dinaungi oleh Allah pada hari tiada naungan selain naungan-Nya, yaitu pemimpin yang adil...” (Imam Al Bukhari, Shahihul Bukhari, [Damaskus: Darul Yamamah, 1993], hadits no. 629, halaman 234)
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa keadilan adalah syarat utama bagi setiap pemimpin dalam Islam. Pemimpin yang mengutamakan kepentingan kelompok tertentu di atas maslahat umat tidak hanya bertentangan dengan prinsip ini, tetapi juga berisiko merusak tatanan sosial.
Salah satu tantangan terbesar bagi pemimpin adalah menjaga dirinya dari sifat individualisme atau mementingkan kepentingan pribadi. Rasulullah SAW mengingatkan bahwa akan ada zaman di mana sikap egoisme dan ketidakadilan akan muncul dalam kepemimpinan:
عَنْ هِشَامٍ قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ لِلْأَنْصَارِ: إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً، فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي،وَمَوْعِدُكُمُ الْحَوْضُ
Artinya, "Diriwayatkan dari Hisyam, beliau mengatakan, aku mendengar Anas bin Malik berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada kalangan Anshar; 'Sesungguhnya sepeninggalku nanti, akan kalian jumpai sikap-sikap atsarah (individualis, egoisme, orang yang mementingkan dirinya sendiri). Maka itu bersabarlah kalian hingga kalian berjumpa denganku di telaga al-Haudh (di surga)'." (Imam Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, [Dimasyqi: Darul Yamamah, 1993], no. 3582, halaman 381).
Imam An-Nawawi menyebut bahwa perintah sabar pada hadis tersebut mengarah pada seseorang yang memiliki amanah (pemimpin) untuk menahan diri dan tidak berkeluh kesah, agar tetap istiqamah pada aturan atau norma agama, serta bertanggung jawab. (An-Nawawi, Syarhun Nawawi 'ala Muslim, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994], halaman 546).
Adapun kata atsarah berasal dari kata atsar yang berarti bekas, atau juga kecenderungan. Menurut Abu Ubayd, dalam konteks hadits tersebut berarti mementingkan diri sendiri dalam pembagian al-fay’ (harta rampasan). (al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Sharhi Jami' at-Tirmidzi, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid VI, halaman 427).
Kepentingan umum sebagai dasar kebijakan pemimpin juga masuk dalam diskursus kaidah fiqih, yaitu:
تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Artinya, "Tindakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus didasarkan pada kemaslahatan (kepentingan umum)."
Kaidah di atas dapat dipresentasikan bahwa segala kebijakan dan kepemimpinan seorang Imam (pemimpin) hendaknya mengacu pada manfaat duniawi maupun ukhrawi, terhadap subjek maupun objek hukum yang berada di bawah kepemimpinannya.
Abdul Wahab Khallaf (1888-1956 M), seorang cendekiawan Mesir yang pakar dalam bidang Ushul Fiqih, membahas nilai pemenuhan kemaslahatan dan kebutuhan masyarakat melalui kesesuaian persoalan kebutuhan negara dengan prinsip Islam. Hal ini tercakup dalam ketentuan Islam, yaitu as-Siyasah asy-Syar’iyyah. (M. Quraish Shihab, Islam dan Politik, [Tangerang Selatan: Penerbit Lentera Hati, 2023], halaman 67-68).
Dalam teori hukum Islam, kaidah tersebut sangat memperhatikan berbagai kemaslahatan masyarakat. Jika kemaslahatan itu bertentangan satu sama lain, maka kemaslahatan umum harus didahulukan dari kemaslahatan pribadi, dan diharuskan menolak kemudaratan yang lebih besar dengan meninggalkan dan melaksanakan yang lebih sedikit mudaratnya. (Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum dalam Alquran, Cet. ke-3; [Jakarta: Piramida, 2005], halaman 216-217).
Maka, jika kebijakan pemimpin hanya menguntungkan bagi lingkup mereka saja dan memberikan kesusahan bagi mayoritas masyarakat, hal tersebut tidaklah sejalan dengan sikap ‘adil’ dalam Islam maupun dalam bersosial-politik.
Sebagai negara dengan sistem demokrasi, demokrasi sendiri tidak tergambar wujudnya kecuali setelah terhimpun dalam satu kesatuan tiga unsur pokok, yakni persamaan, tanggung jawab individu, dan tegaknya hukum berdasar musyawarah dan atas dasar yang jelas tanpa pandang bulu. (M. Quraish Shihab, Islam dan Politik, halaman 133).
Imam Al-Ghazali memberikan nasihat dalam Nasihat Al-Muluk, bahwa penguasa hendaknya tulus beriman dan berniat untuk memerintah dengan adil, serta menolak godaan untuk mencintai kekuasaan dan kekayaan duniawi, demi kepentingan mereka sendiri. (Al-Ghazali, Counsel for Kings - Nasihat Al-Muluk, [London: Oxford University Press, 1964], halaman perkenalan xxxviii).
Oleh karena itu, tolok ukur idealnya pemimpin tak hanya tercermin melalui aspek luar ataupun visual saja. Yang lebih penting ialah memiliki kepemimpinan dan karakter transendental. Yakni kemampuan dalam tanggung jawab moral dan agama yang lebih tinggi.
Seorang pemimpin ideal dalam Islam harus meneladani prinsip kepemimpinan yang berlandaskan nilai-nilai agama dan sosial-politik. Keteladanan terbaik dapat diambil dari Nabi Muhammad SAW, yang memimpin dengan adil tanpa memandang perbedaan dan diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk dari berbagai agama.
Dengan menerapkan nilai-nilai tersebut, seorang pemimpin akan menghasilkan kebijakan yang selaras dengan prinsip keadilan. Hal ini menjadikannya layak disebut sebagai pemimpin ‘ideal’ dan ‘teladan’ bagi masyarakat dan lingkungannya. Wallahu A'lam
Ustadzah Sayyida Naila Nabila, Pegiat Kajian Keislaman
Terpopuler
1
Ustadz Maulana di PBNU: Saya Terharu dan Berasa Pulang ke Rumah
2
Kick Off Harlah Ke-102 NU Digelar di Surabaya
3
Pelantikan JATMAN 2025-2030 Digelar di Jakarta, Sehari Sebelum Puncak Harlah Ke-102 NU
4
Khutbah Jumat: Mari Menanam Amal di Bulan Rajab
5
Puluhan Alumni Ma’had Aly Lolos Seleksi CPNS 2024
6
Respons Gus Yahya soal Wacana Pendanaan Makan Bergizi Gratis Melalui Zakat
Terkini
Lihat Semua