Tasawuf/Akhlak

Pola dan Cara Makan Rasulullah (3)

Sab, 31 Agustus 2019 | 05:15 WIB

Pola dan Cara Makan Rasulullah (3)

Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada kita untuk selalu berbagi makanan dengan siapa saja.

Pada tulisan sebelumnya telah disampaikan sembilanbelas pola dan cara makan Rasulullah ﷺ Di antaranya tak mencela makanan, makan dengan tangan kanan, membaca basmalah sebelum makan, makan dengan tiga jari, tidak duduk bersandar, dan sebagainya. Kali ini akan dipaparkan sejumlah pola dan cara makan Rasulullah ﷺ lainnya.
Kedua puluh, Rasulullah ﷺ mengajarkan agar kita tidak mengambil napas atau mengeluarkannya dalam gelas minum, sebagaimana dalam hadits, “Jika salah seorang kalian minum, maka janganlah bernapas di dalam gelas. Namun, jauhkanlah gelas itu dari mulutnya,” (HR Ibnu Majah). 
 
Ibnu ‘Abbâs meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ melarang mengambil atau mengeluarkan napas dalam gelas minum (HR al-Tirmidzi). Dalam riwayat selanjutnya, Ibnu Abbas menyebutkan bahwa Nabi ﷺ juga melarang mengeluarkan napas pada makanan dan minuman kecuali ada kebutuhan (HR Ahmad dan al-Thabrani). 
 
Kemudian jika minum dengan satu napas tidak puas, lakukan sampai tiga kali, selain cara itu lebih mampu menghapus rasa haus. Anas ibn Malik meriwayatkan bahwa di saat minum, Rasulullah ﷺ mengambil napas sampai tiga kali. Beliau juga bersabda, “Cara ini lebih baik dan lebih mampu menghilangkan rasa haus,” (HR Ahmad). 
 
Ibnu al-Qayyim berkomentar, maksud bernapas saat minum adalah memisahkan gelas dari mulut lalu mengambil napas di luar gelas. Lalu kembali menempelkan gelas pada mulut. 
 
Hal itu juga pernah ditanyakan oleh seorang pria, “Wahai Rasul, aku tidak merasa puas minum dengan satu napas.” Beliau menjawab, “Pisahkanlah gelas air minummu dari mulut, lalu ambillah napas,” (HR al-Baihaqi). 
 
Kedua puluh satu, makan dan minumlah dengan tidak berlebihan (HR Ibnu Majah). Hal ini juga sudah diperingatkan dalam Al-Qur’an, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan, (QS al-A’raf [7]:31). 
 
Kedua puluh dua, melumat sisa-sia makanan yang masih menempel pada jari-jari. Hal ini diriwayatkan oleh Anas. Riwayat ini menyebutkan bahwa bila makan sesuatu, Rasulullah ﷺ selalu melumat ketiga jarinya (HR al-Tirmidzi).
 
Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Ketika salah seorang dari kalian makan, maka lumatlah (semua) jari-jarinya. Sebab dia tidak tahu di jari manakah keberkahan itu berada,” (HR Muslim). 
 
Dijelaskan oleh Ibnu Hajar, keberkahan itu tidak diketahui di jari yang mana ia berada. Karena itu, hendaknya seseorang melumat seluruh jarinya secara berurutan. Ketiga jarinya dilumat sampai tiga kali (jika makannya dengan tiga jari). Dimulai dari jari tengah, sebab ia paling panjang jadi mungkin paling kotor dan paling banyak makanan yang menempel. Setelah itu, jari telunjuk, lalu ibu jari. Dan itu bukan perbuatan yang kotor, sebagaimana anggapan sebagian orang (lihat: Asyraf al-Wasa’il, h. 203). 
 
Kedua puluh tiga, jika dibawakan makanan oleh seseorang atau mungkin oleh pelayan, hendaknya kita menerima makanan itu dengan senang hati dan menikmatinya. Jika perlu ajak pula ia memakannya. Kendati ia tidak mau duduk bersama kita, ambillah satu atau dua suap makanan darinya sebagai penghormatan, sebagaimana yang disampaikan Rasulullah ﷺ, “Jika pelayanmu datang membawa makanan maka terima dan nikmatilah. Duduklah engkau bersamanya. Jika engkau tidak duduk bersamanya, maka ambillah satu atau dua suap darinya,” (HR al-Bukhari). 
 
Kedua puluh empat, Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada kita untuk selalu berbagi makanan dengan siapa saja, sebagaimana sabdanya, “Jika kalian memasak dalam sebuah wajan, maka perbanyaklah airnya agar tetangga kalian dapat turut menikmatinya,” (HR al-Bukhari). 
 
Kedua puluh lima, hendaknya kita menghabiskan makanan yang sudah dalam piring kita. Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah terkejut karena al-tsufl. Maksud dari al-tsufl adalah makanan yang tersisa (HR Ahmad dan al-Hakim). 
 
Kedua puluh enam, Rasulullah ﷺ mengajarkan bilamana makanan kita terkena lalat, maka celupkanlah seluruh lalat itu, “Ketika ada lalat masuk ke dalam minuman kalian, maka celupkanlah seluruh tubuh lalat itu lalu angkat kembali. Sebab, dalam salah satu sayapnya ada penyakit, sedangkan pada sayap yang lain ada penawarnya,” (HR al-Bukhari). 
 
Kedua puluh tujuh, Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada kita agar menghindari makanan-makanan berbau, seperti bawang, kecuali setelah dimasak sempurna sehingga hilang baunya. “Siapa yang makan bawang merah atau bawang putih, hendaklah dia menjauhi kami, menjauhi masjid kami, dan tetap berada di rumahnya,” (HR al-Bukhari). 
 
Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Siapa yang makan sayuran ini, yakni bawang merah, bawang putih, dan bawang bakung, hendaklah dia tidak mendekati masjid kami. Sebab para malaikat terganggu seperti halnya terganggunya keturunan Adam,” (HR Muslim). 
 
Dalam riwayat berikutnya, beliau bersabda, “Siapa yang makan keduanya, maka sempurnakanlah memasaknya.” (HR Abu Dawud). 
 
Selain masjid, juga tentu tempat-tempat umum atau keramaian lainnya, seperti pasar, tempat resepsi, dan sebagainya. 
 
Demikian pula semua makanan yang beraroma tidak sedap dan mengganggu orang banyak dapat diperlakukan seperti bawang merah dan bawang putih. Contohnya jengkol dan petai (lihat: Abdul Basith Muhammad al-Sayyid, al-I’jâz al-‘Ilmi fî al-Tasyrî‘ al-Islâmî, [Darul Kutub: Beirut], hal. 353). Wallahu‘lam ‘alam
 
Bersambung....
 
 
Ustadz M. Tatam Wijaya, Alumni PP Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.