Syariah

Bagaimana Tanggung Jawab Utang kepada Orang Meninggal yang Tak Punya Ahli Waris?

Sen, 17 Juni 2019 | 04:30 WIB

Bagaimana Tanggung Jawab Utang kepada Orang Meninggal yang Tak Punya Ahli Waris?

Ilustrasi (via Pixabay)

Kematian adalah suatu keniscayaan bagi semua orang. Suatu saat kita pasti mengalaminya. Kematian bukanlah akhir dari suatu perjalanan kehidupan manusia, justru dengan kematian kehidupan lain di akhirat baru dimulai. Karena itu langkah terbaik adalah bagaimana semaksimal mungkin menjalankan ibadah dan amal saleh sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Kita beramal seakan-akan besok akan meninggal, dan mengerjakan kehidupan duniawi seakan-akan hidup selamanya. Dengan begitu niscaya akan tercapai keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat.

Harta bukanlah tujuan, tapi sarana mempertahankan hidup dan beribadah. Namun, banyak diantara kita yang berusaha mengantisipasi keadaan sepuluh tahun, lima puluh tahun bahkan seratus tahun yang akan datang, tanpa jarang yang mengantisipasi kehidupan akhirat.

Sehubungan dengan harta, utang-piutang merupakan salah satu hal penting yang dibahas dalam fiqih. Karena dalam sebuah hadits diterangkan bahwa Rasulullah Saw. tidak mau menshalati jenazah yang masih menanggung utang. Karena orang yang meninggal masih dalam keadaan menanggung utang, di akhirat kelak akan dituntut dan dimintai pertanggungjawaban.
Oleh karena itu setiap muslim harus berusaha sekuat tenaga melunasi utang-utangnya. Kalau memang tidak mampu, hendaknya meminta kerelaan dain (pihak yang memberi utang) untuk membebaskannya. Dalam istilah fiqih hal ini disebut dengan istilah ibra’.

Kewajiban membayar utang tidak gugur meski telah meninggal. Sebab dengan kematian akan terjadi proses pewarisan atau peralihan kepemilikan dari si jenazah kepada ahli warisnya. Termasuk harta yang diwariskan adalah utang-utang yang diberikan kepada si jenazah kepada orang lain semasa hidupnya.

Dengan demikian, madin (pihak yang berutang) diwajibkan  membayar utangnya kepada ahli waris almarhum atau almarhumah. Adalah beban madin untuk berusaha mencari mereka guna membayar utang.

Pertanyaannya, bagaimana jika ahli waris tidak diketahui tempatnya? Seandainya semua ahli waris tidak ditemukan, dan madin pun tampak putus asa, tidak ada harapan sama sekali, kondisi ini tidak secara otomatis menggugurkan kewajiban. Dia masih terbebani melunasinya. Bagaimana caranya? Hal itu diatur dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin, yakni dengan menyerahkan utang itu untuk kepentingan umat Islam.

Jika di daerahnya kebetulan ada usaha pembangunan masjid atau madrasah, utang tersebut bisa disumbangkan. Meski jumlahnya mungkin tak seberapa dibandingkan dengan biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan itu. Karena yang penting, si madin menemukan saluran untuk melunasi utangnya.

Dalam hukum utang-piutang, bila utang beras 10 kilogram, maka membayarnya juga dengan jumlah dan kualitas yang sama pula. Utang seratus ribu rupiah membayarnya juga seratus  ribu rupiah. Itu adalah kewajiban dan ketentuan minimal. Dalam suatu hadis Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya: “Sesungguhnya yang terbaik diantara kalian adalah yang paling baik dalam membayar utang” (Muttafaq Alaihi)

Membayar utang dengan baik, artinya membayar degan jumlah lebih besar atau dengan kualitas lebih baik, disamping tidak mengulur-ulur waktu kalau pada kenyataanya telah sanggup melunasi. Hanya saja, harus diingat, tambahan yang dibayarkan haruslah dilakukan dengan sukarela dan tidak disyaratkan pada saat akad peminjaman dilakukan. Hal itu betul-betul berdasarkan ketentuan dari si madin. Sebab kalau diwajibkan atau disyaratkan pada saat akad, maka hukumnya malah menjadi haram. Sebab,  hal itu termasuk praktik riba, yang nyata-nyata diharamkan Islam, karena berlawanan dengan semangat saling membantu dan persaudaraan, at-ta’awun wa al-ukhuwah.

Sumber: KH.MA. Sahal Mahfudh. Dialaog Problematika Umat. Surabaya: Khalista & LTN PBNU


Catatan: Naskah ini terbit pertama kali di NU Online pada Kamis, 16 Februari 2012 pukul 15:03. Redaksi mengunggahnya ulang dengan sedikit penyuntingan.