Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 15

Sel, 20 April 2021 | 18:30 WIB

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 15

Secara substansial Surat An-Nisa ayat 15 berisi penjelasan tentang hukuman wanita pezina di masa awal Islam. (Ilustrasi: via bitterwinter.org)

Berikut ini adalah Surat An-Nisa, beserta terjemahan, dan kutipan sebagian ahli tafsir tentangnya:


وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ، فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيلًا


Wallâtî ya’tînal fâhisyata min nisâ-ikum fastasyhidû ‘alaihinna arba’atam minkum, fa-in syahidû fa-amsikûhunna fil buyûti hattâ yatawaffâhunnal mautu au yaj’alallâhu lahunna sabîlâ.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Artinya, “(Terhadap) para wanita kalian yang melakukan perbuatan keji, hendaklah hadirkan empat orang saksi dari kalian (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah para wanita itu dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepada mereka.”


Ragam Tafsir

Imam Fakhruddin Ar-Razi (544-606 H/1150-1210 M) menjelaskan, dalam ayat terdapat tiga faedah atau pelajaran. Pertama, setelah pada ayat-ayat sebelumnya Allah memerintahkan para lelaki berbuat dan bergaul secara baik dengan para wanita dan hal-ihwal seputarnya, maka pada ayat ini Allah melengkapinya dengan menyampaikan hukuman bagi para wanita bila melakukan perbuatan keji. Sebab pada hakikatnya hukuman tersebut merupakan kebaikan Allah kepada mereka dan untuk menjaga nasib mereka di akhirat kelak.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Kedua, perintah Allah kepada para lelaki untuk berbuat baik kepada para wanita hendaknya tidak menjadi sebab untuk membiarkan atau tidak menghukum mereka ketika melakukan kekejian dan kerusakan.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

Ketiga, dengan ayat ini menjadi jelas bahwa sebagaimana Allah memberikan anugerah kepada makhluk-Nya, Allah juga memberi peringatan dan ancaman kepada mereka. Selain itu, ayat juga menunjukkan bahwa dalam hukum-hukum Allah tidak ada muhabah atau keberpihakan kepada orang tertentu. Standar syariat-Nya adalah keadilan dan moderat, terjaga dari ifrath (terlalu keras) maupun tafrith (terlalu lemah). 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Secara substansial ayat merupakan penjelasan tentang hukuman wanita pezina di masa awal Islam. Adapun makna asal kata الْفَاحِشَةَ adalah sesuatu yang keji. Seperti perkataan: فَحِشَ الرَّجُلُ يَفْحَشُ فَحْشًا وَفَاحِشَةً  “seorang lelaki telah melakukan perbuatan keji, ia sedang melakukan perbuatan keji”, dan perkataan أَفْحَشَ إِذَا جَاءَ بِالْقَبِيحِ مِنَ الْقَوْلِ أَوِ الْفِعْلِ “ia datang dengan ucapan atau perbuatan keji”. Kemudian Jumhur Mufassirin sepakat bahwa maksudnya adalah zina, sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Tafsirul Jalalain, Mafatihul Ghaib, Al-Jami’ li Ahkamil Quran, Marahul Labid dan semisalnya. Imam Fakhurddin Ar-Razi menjelaskan, kata الْفَاحِشَةَ digunakan untuk menunjukkan makna zina mengingat level kekejian zina melebihi kekejian perbuatan lainnya. 


Sementara Abu Muslim Al-Ashfihani (254-366 H/868-934 M) mufassir Mu’tazilah dari kota Isfahan negeri Persia tempo dulu atau sekarang 340 km dari Teheran Iran, menafsirkannya dengan perbuatan keji as-sahiqah atau kaum lesbi, yaitu para wanita yang berhubungan seksual dengan sesama jenis yang hukumannya dipenjara seumur hidup sebagaimana redaksi dalam ayat. (Fakhruddin Muhammad ar-Razi, Tafsir al-Fakhr ar-Razi, [Beirut, Darul Fikr: tth.], juz IX, halaman 238-239).


Sedangkan maksud kata مِنْ نِسَائِكُمْ “wanita-wanita kalian” adalah wanita yang beragama Islam sebagaimana kata رِجَالِكُمْ “laki-laki kalian” dalam Al-Baqarah ayat  282, dimana Allah berfirman:

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ 


Artinya, “Persaksikanlah dengan dua saksi dari laki-laki kalian (yang beragama Islam).”


Imam Al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) menjelaskan argumentasinya, sebab terkadang wanita kafir masuk dalam golongan (lingkungan) wanita-wanita muslim karena hubungan nasab, sementara hukum dalam ayat ini tidak berlaku baginya. (Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qurân, [Riyadh, Dârul ‘Âlamil Kutub: 1423 H/2003 M], tahqiq: Hisyam Samir al-Bukhari), juz  V, halaman 83).


Demikian pula kata مِنْكُمْ dalam ayat juga bermakna dari kalian laki-laki yang beragama Islam sebagaimana penafsiran Imam As-Suyuthi. Kemudian lebih detail Imam Ahmad As-Shawi (1175-1241 H/1761-1852 M) menjelaskan, maksudnya yang menjadi saksi atas zina adalah orang yang adil, yaitu laki-laki, merdeka, mukallaf, bukan pelaku dosa besar dan dosa kecil yang hina serta menjaga muru’ah. Imam As-Shawi juga menjelaskan, bahwa yang menjadi sasaran perintah untuk menghadirkan saksi dalam ayat فَاسْتَشْهِدُوا “maka hadirkanlah saksi” adalah waliyyul amri atau penegak hukum dari pemerintah seperti para qadhi dan hakim. Dengan demikian secara substansial maksud frasa: وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ “Dan (terhadap) para wanita kalian yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah hadirkan empat orang saksi dari kalian (yang menyaksikannya)” adalah, atas wanita-wanita muslimah yang melakukan zina, maka para penegak hukum haruslah mendatangkan empat saksi dari lelaki muslim yang merdeka, mukallaf, bukan pelaku dosa besar dan dosa kecil yang hina serta yang menjaga muru’ah. (Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Hasyiyatus Shawi ‘ ala Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], editor: Shidqi Muhammad Jamil, juz I, halaman 277).


Adapun maksud frasa: فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيلًا “kemudian apabila mereka telah memberi persaksian maka kurunglah para wanita itu dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepada mereka” adalah, bila empat orang saksi yang memenuhi syarat telah bersaksi atas perbuatan zina wanita muslimah, maka sanksi yang diterapkan kepadanya adalah dikurung seumur hidup di dalam rumah atau menanti keputusan hukum baru dari Allah SWT. 


Keputusan hukum baru kemudian hadir dengan turunnya An-Nur ayat 2 yang menjelaskan hukuman pelaku zina gahiru muhshan (laki-laki dan wanita yang belum mempunyai pasangan sah) dan hadits riwayat ‘Ubadah bin As-Shamit Ra yang lebih detail menjelaskan hukuman pelaku zina muhsan (laki-laki dan wanita yang sudah mempunyai pasangan sah) maupun ghairu muhsan. Berikut ini ayat dan haditsnya:


اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ  النور: 2


Artinya, “Wanita dan lelaki pelaku zina (ghairu muhsan) maka cambuklah masing-masing dari mereka berdua 100 cambukan, dan janganlah rasa belas kasihan membuat kalian membiarkan mereka dalam (hukum) agama Allah  (tanpa dihukum atau diringankan hukumnya), bila kalian beriman kepada Allah dan hari akhir; dan hendaknya segolongan kaum beriman menghadiri pelaksanaan hukuman itu atas mereka berdua.” (An-Nur ayat 2)


عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذُوا عَنِّي، خُذُوا عَنِّي، فَقَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيلًا. اَلْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ، وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ، وَالرَّجْمُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ


Artinya, “Diriwayatkan dari ‘Ubadah bin As-Shamit RA, ia berkata: ‘Rasulullah SAW bersabda: “Ambilah hukuman zina dariku, ambilah hukuman zina dariku, sungguh Allah telah menjadikan jalan (hukum baru) bagi wanita muslimah pelaku zina. Orang yang belum punya pasangan (suami atau istri) yang berzina dengan orang yang belum punya pasangan hukumannya adalah dicambuk 100 kali dan diasingkan setahun, dan orang yang sudah punya pasangan (suami atau istri) yang berzina dengan orang yang sudah punya pasangan hukumannya adalah dirajam. (HR. Muslim) 


Namun ulama berbeda pendapat, apakah ayat 15 surat An-Nisa’ statusnya manshukh atau tersalin hukumnya dengan ayat dan hadits di atas sehingga hukumnya dianggap tidak berlaku lagi; atau sebenarnya statusnya mujmal, masih umum yang kemudian dijelaskan secara detail dengan ayat dan hadits tersebut.  Dalam hal ini Jumhur Ulama semisal Ibnu Abbas RA, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Atha’, Qatadah, dan Zaid bin Aslam Ad-Dhahak menyatakan statusnya mansukh; sementara Imam Az-Zamakhsyari, Abu Sulaiman Al-Khattabi dan As-Suyuthi menyatakan statusnya mujmal yang kemudian dijelaskan lebih terperinci dengan ayat dan hadits di atas. Pendapat terakhir inilah yang kemudian dinilai sebagai pendapat yang benar oleh Imam As-Shawi. (Muhammad As-Sayyid Thanthawi, Al-Wasîth, juz I, halaman 888).


Terlepas dari perbedaan status mansukh atau mujmal, secara lugas Imam As-Suyuthi menjelaskan, demikianlah hukum yang berlaku di masa awal-awal Islam. Bila ada wanita muslimah yang berzina maka hukumannya adalah dikurung seumur hidup di rumahnya agar tidak bergaul dengan laki-laki atau sampai ada hukum baru dari Allah. Hukum baru tersebut adalah dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun bagi wanita yang belum bersuami dan hukuman rajam atau dilempar batu sampai mati bagi wanita yang sudah bersuami, sesuai dengan An-Nur ayat 2 dan riwayat hadits di atas. Dengan tegas Imam Ar-Razi menyatakan, mengingat Nabi SAW telah menafsirkan ayat 15 dengan hadits tersebut, maka penafsiran inilah yang dipastikan kebenarannya. (Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsirul Jalalain dalam Hasyiyyatus Shawi, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], editor: Shidqi Muhammad Jamil, juz I, halaman 277-278); dan (Ar-Razi, Tafsir al-Fakhr ar-Razi, juz IX, halaman 242 dan juz III, halaman 155-156).


Pendapat senada disampaikan pula oleh Imam An-Nawawi saat memberi penjelasan hadits di atas. Ia menjelaskan, dari hadits tersebut kemudian para ulama bersepakat (ijma’) bahwa hukuman baru tersebutlah yang berlaku. Tidak ada yang menentang kesimpulan hukum tersebut kecuali kaum Khawarij dan sebagian kaum Mu’tazilah yang tidak menyepakati hukum rajam. (Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim bin Al-Hajjâj, [Beirut, Dâr Ihyâ’ut Turats Al-‘Arabi: 1392 H], juz XI, halaman 189). Wallâhu a’lam.


Ustadz Ahmad Muntaha AM-Founder Aswaja Muda

ADVERTISEMENT BY ANYMIND