Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 10

Jum, 25 Desember 2020 | 10:30 WIB

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 10

Surat An-Nisa ayat 10 turun berkaitan perbuatan Martsad bin Zaid RA dari klan Ghathafan yang memakan harta keponakannya yang yatim.

Berikut ini adalah kutipan, terjemahan, dan sejumlah tafsiran Surat An-Nisa ayat 10:


إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا


Innalladzīna ya’kulū amwālal yatāmā zhulman innama ya’kulūna fi buthūnihim nāran, wa sayashlauna sa’īran.


Artinya, “Sungguh orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim secara zalim niscaya mereka sebenarnya memakan api dalam perut mereka dan mereka akan masuk ke neraka.” (Surat An-Nisa ayat 10).


Sababun Nuzul

Abu Bistham Muqatil bin Hayyan An-Nabthi (wafat sekitar 150 H), salah seorang perawi hadits terpercaya dalam Kitab Shahih Muslim menjelaskan, Surat An-Nisa ayat 10 turun berkaitan perbuatan Martsad bin Zaid RA dari klan Ghathafan yang memakan harta keponakannya yang yatim. Ibnu Hajar mengutip riwayat:


نَقَلَ الثَّعْلَبِيُّ عَنْ مُقَاتِلِ بْنِ حَيَّانَ أَنَّهَا نَزَلَتْ فِي رَجُلٍ مِنْ غَطَفَانَ يُقَالُ لَهُ مَرْثَدُ بْنُ زَيْدٍ وَلِيَ مَالَ ابْنِ أَخِيهِ وَهُوَ يَتِيمٌ صَغِيرٌ، فَأَكَلَهُ. فَأَنَّزَلَ اللهُ تَعَالَى فِيهِ هَذِهِ الْآيَةَ.


Artinya, “At-Tsa’labi menukil riwayat dari Muqatil bin Hayyan bahwa Surat An-Nisa’ ayat 10 turun berkaitan dengan laki-laki dari bani Ghathafan yang bernama Martsad bin Zaid, yang menjadi wali harta keponakan laki-lakinya yang yatim dan masih kecil, lalu ia memakannya. Berkaitan dengannya lalu Allah turunkan ayat ini.” (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Al-‘Ujab fi Bayanil Asbab, [Damam, Dar Ibnul Jauzi: 1997 M], tahqiq: Abdul Hakim Muhammad Anis, cetakan pertama, juz II, halaman 841).


Ragam Tafsir Surat An-Nisa ayat 10


Imam Fakhruddin Ar-Razi (544-606H/1150-1210 M) menerangkan, Allah telah menyampaikan berbagai ancaman terhadap orang memakan harta anak yatim secara zalim. Seperti ayat 2 yang menyatakan memakan harta anak yatim sebagai dosa besar, dan Surat An-Nisa ayat 9 yang memerintahkan wali agar berhati-hati dengan urusan harta yatim.


Kemudian dalam Surat An-Nisa ayat 10 secara lebih tegas Allah mengancamnya dengan siksa api neraka. Semua ancaman tersebut merupakan rahmat perlindungan Allah kepada anak yatim, yang berbanding lurus dengan kondisinya yang sangat lemah. Semakin lemah seseorang maka semakin kuat proteksi Allah kepadanya.


Berkaitan frasa إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا “Sungguh orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim secara zalim”, meski yang disebut hanya perbuatan makan, namun maksudnya adalah semua perbuatan merusak harta yatim. Sebab anak yatim tetap rugi meskipun hartanya rusak karena dimakan, dibakar, dikorup atau selainnya.


Penggunaan diksi “memakan” untuk menunjukkan makna “merusak” sesuai dengan argumentasi ilmiah. Satu, saat ayat turun umumnya harta anak yatim berupa hewan peliharaan yang dikonsumsi daging dan susunya, karenanya kemudian ayat turun sesuai konteks ruang dan waktu. Dua, setiap orang yang menasarufkan harta biasanya juga sering disebut sebagai orang yang memakan harta. Tiga, makan merupakan sebagian besar tasaruf harta yang dilakukan manusia.


Sementara berkaitan frasa إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا “niscaya mereka sebenarnya memakan api dalam perut mereka” terdapat dua penafsiran ulama. Pendapat pertama,sebagaimana dikatakan pakar tafsir generasi tabiin Imam Ismail bin Abdurrahman As-Sudi (wafat 168 H/745 M), maksud ayat sesuai lahiriahnya. Yaitu bila orang nekat memakan harta anak yatim secara zalim maka di hari kiamat ia akan dibangkitkan dengan kondisi kobaran api keluar dari mulut, telingadan matanya, yang dengannya orang lain tahu bahwa ia telah melakukan dosa memakan harta anak yatim. Ini selaras dengan hadits Nabi SAW: 


عَنْ أَبِي سَعِيدِ الْخُدْرِيِّ قَالَ قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا رَأَيْتَ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِكَ؟ قَالَ:اِنْطَلَقَ بِي إِلَى خَلْقٍ مِنْ خَلْقِ اللهِ كَثِيرٍ. رِجَالٌ كُلُّ رَجُلٍ لَهُ مِشْفَرَانِ كَمِشْفَرِ الْبَعِيرِ وَهُوَ مُوَكَّلٌ بِهِمْ رِجَالٌ يَفُكُّونَ لِحْيَ أَحَدِهِمْ. ثُمَّ يُجَاءُ بِصَخْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيُقْذَفُ فِي فِي أَحَدِهِمْ حَتَّى يَخْرُجَ مِنْ أَسْفَلِهِ. وَلَهُجُؤَارٌ وَصُرَاخٌ. قُلْتُ يَا جَبْرَائِيلُ، مَنْ هَؤُلَاءُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءُ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا ... الآية [النساء: 10](رواه ابن أبي حاتم)


Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri RA ia berkata: ‘Kami pernah bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apa yang Anda lihat pada malam perjalanan Isra’?’ Beliau menjawab: ‘Jibril pergi denganku menuju makhluk dari makhuk Allah yang banyak. Ada beberapa lelaki yang masing-masing mempunyai bibir tebal seperti bibir unta dalam kondisi masing-masing dipasrahkan kepada beberapa lelaki lain yang memegang janggut salah seorang dari mereka. Lalu didatangkan batu dari api kemudian dimasukkan ke dalam mulutnya sampai keluar lewat bagian bawah tubuhnya. Ia bersuara menguak seperti hewan (sapi dan semisalnya) dan menjerit-jerit dengan keras. Aku pun bertanya: ‘Wahai Jibril, siapa mereka?’ Jibril menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim … dan seterusnya sampai akhir [Surat An-Nisa ayat 10]’.” (HR Ibnu Abi Hatim). 


Pendapat kedua, menyatakan redaksi ayat seperti itu sebenarnya hanya untuk memudahkan (tawassu’). Sedangkan maksud sebenarnya adalah memakan harta anak yatim disamakan dengan memakan api dari sisi perbuatan tersebut akan membuat pelakunya masuk ke neraka. Pendapat ini kemudian dinilai sebagai tafsir yang ideal oleh Al-Qadhi sebagaimana dikutip Imam Ar-Razi. Karena ayat ini menjadi isyarat bagi siapapun agar tidak memakan harta anak yatim.(Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Kutub ‘Ilmiyyah: 1421 H/2000 M], juz IX, halaman 162-163); (Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Al-Jami’ li Akhamil Qur’an,[Riyad: Dar ‘Alamil Kutub, 1423 H/2003 M], tahqiq: Hisyam Samir al-Bukhari, juz V, halaman 54); dan (Badruddin Abu Muhammad Mahmud bin Muhammad al-‘Aini, ‘Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari, [Beirut, DarulKutubil ‘Ilmiyyah: 1421 H/2001 M], tashih: Abdullah Mahmud Muhammad Umar, cetakanpertama, juz XIV, halaman 84-85).


Terakhir berkaitan frasa وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا “dan mereka akan masuk ke neraka”,Syaikh Sulaiman al-Jamal (wafat 1204 H/1790 M) menjelaskan, ini mirip ucapan: صَلَيْتُ الرَّجُلَ نَارًا yang berarti “Aku masukkan seseorang ke api dan aku jadikan ia merasakan panasnya”. Sementara diksi سَعِيرًا “neraka” disampaikandengan kata yang bersifat umum (nakirah), karena yang dimaksud adalah salah satu neraka tanpa penjelasan lebih detail (mubham).


Yang jelas, tidak ada yang mengetahui puncak maksimal panasnya kecuali Allah. Secara lebih mudah maksud frasa adalah “Dan mereka akan masuk ke dalam neraka yang menyala-nyala yang kadar panasnya tidak diketahui oleh siapapun kecuali Allah Ta’ala.” Demikian terang Syekh Sayyid Thanthawi. Wallahu a’lam.

 

(Sulaiman bin Umar Al-‘Ujaili Al-Jamal, Al-Futuhatul Ilahiyya bi Tauhhihit Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Ihya’it Turats Al-‘Arabi: tth], juz I, halaman 360); dan (Muhammad As-Sayyid Thanthawi, Al-Wasith, juz I, halaman 781).


Ustadz Ahmad Muntaha AM–Founder AswajaMuda