Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 8

Rab, 23 Desember 2020 | 08:15 WIB

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 8

Surat An-Nisa ayat 8 ini dapat dipahami sebagai ayat pembagian wasiat yang tidak bertentangan dengan ayat-ayat pembagian waris, sehingga keduanya dapat diamalkan, tetap berlaku, dan tidak saling menafikan.

Berikut ini adalah kutipan ayat, trasliterasi, dan sejumlah tafsir atas Surat An-Nisa ayat 8:


وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا


Wa idzā hadharal qismata ulul qurbā wal yatāmā wal masākīnu farzuqūhum minhu wa qūlū lahum qaulan ma’rūfan.


Artinya, “Ketika para kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin (yang tidak mempunyai hak waris) menghadiri pembagian harta (warisan atau wasiat), maka berilah mereka rezeki dari harta itu. Katakan kepada mereka perkataan yang baik.” (Surat An-Nisa ayat 8).


Ragam Tafsir

Ada tiga bahasan utama dalam Surat An-Nisa ayat 8. Satu, apakah konteks ayat adalah pembagian waris atau wasiat; dua, apakah setatusnya muhkamah (masih berlaku) atau mansukh (sudah diganti dengan ayat lain); dan tiga, apakah pemberian yang disinggung ayat bersifat wajib atau sunnah.


Bahasan pertama, ini ayat tentang pembagian harta warisan atau harta wasiat dimana ulama mufassir berbeda pendapat dalam menafsirkan konteksnya. Pendapat pertama sebagaimana disampaikan Ibnu Abbas RA, Urwah bin Zubair, Mujahid dan lainnya menyatakan konteks ayat adalah pembagian waris.


Bila saat pembagian waris ternyata ada kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin yang tidak punya hak waris ikut datang ke majelis, hendaknya mereka juga diberi sebagian kecil dari harta waris bila jumlahnya banyak.


Bila jumlahnya sedikit atau harta waris berupa tanah sehingga tidak mudah diberikan kepada mereka, hendaknya disampaikan secara baik-baik mereka tidak diberi sebagian harta tersebut. Ibnu Abbas RA berkata:


أَمَرَ اللهُ الْمُؤْمِنِينَ عِنْدَ قِسْمَةِ مَوَارِيثِهِمْ أَنْ يَصِلُوا أَرْحَامَهُمْ وَأَيْتَامَهُمْ وَمَسَاكِينَهُمْ مِنَ الْوَصِيَّةِ إِنْ كَانَ أَوْصَى لَهُمْ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ وَصِيَةٌ وَصَلَ إِلَيْهِمْ مِنْ مَوَارِيثِهِمْ.


Artinya, “Allah memerintahkan orang-orang mukmin saat pembagian harta waris mereka agar menyambung silaturrahim (berbuat baik kepada sanak kerabat), anak-anak yatim dan orang-orang miskin mereka dengan memberinya sebagian harta dari wasiat mayit. Bila tidak ada wasiat dari mayit hendaknya mereka diberi dari harta waris.” 


Adapun pendapat kedua sebagaimana riwayat lain dari Ibnu Abbas RA, pendapat Sa’id bin Al-Musayyab, Ibnu Zaid, dan lainnya menyatakan, ayat ini menerangkan pembagian harta wasiat, bukan warisan.


Semisal ada orang sakit yang menginginkan hartanya dibagikan kepada orang lain dengan jalur wasiat, dan kebetulan saat itu hadir pula kerabatnya, anak yatim dan orang miskin yang tidak mempunyai hak waris, maka hendaknya orang-orang tersebut diberi bagian harta wasiatnya yang dapat membahagiakan mereka. 


Pendapat pertama kemudian dinilai shahih dan dipedomani oleh Imam Al-Qurthubi, serta diunggulkan oleh Imam Fakhurddin Ar-Razi. Alasan Ar-Razi sederhana, sebab ayat-ayat sebelumnya menjelaskan waris, tidak menjelaskan wasiat sama sekali.(Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, [Kairo, Darul Hijrah: 1422 H/2001 M], tahqiq: Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, cetakan pertama, juz VI, halaman 431-432); (Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Al-Jami’ li Akhamil Qur’an, [Riyad, Dar ‘Alamil Kutub: 1423 H/2003 M], tahqiq: Hisyam Samir al-Bukhari, juz V, halaman 48-49); dan (Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Kutub ‘Ilmiyyah: 1421 H/2000 M], juz IX, halaman 160).


Bahasan kedua, apakah status ayat muhkamah atau mansukh. Ulama mufassirin berbeda pendapat. Pendapat pertama, menurut Ibnu Abbas RA, Sa’id bin Jubair, Mujahid dan lainnya menyatakan statusnya muhkamah, tetap berlaku, namun termasuk ayat yang disepelekan banyak orang. Dalam Shahih Al-Bukhari diriwayatkan:


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: إِنَّ نَاسًا يَزْعُمُونَ أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ نُسِخَتْ وَلَا وَاللهِ مَا نُسِخَتْ وَلَكِنَّهَا مِمَّا تَهَاوَنَ النَّاسُ. هُمَا وَالِيَانِ وَالٍ يَرِثُ وَذَاكَ الَّذِي يَرْزُقُ وَوَالٍ لَا يَرِثُ فَذَاكَ الَّذِي يَقُولُ بِالْمَعْرُوفِ. يَقُولُ: لَا أَمْلِكُ لَكَ أَنْ أُعْطِيَكَ. رواه البخاري


Artinya, “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, ‘Sungguh orang-orang menyangka bahwa ayat ini telah dinasakh. Tidak, Demi Allah ayat ini tidak dinasakh, namun memang termasuk ayat yang disepelekan orang. Ayat berbicara tentang dua macam wali yang bertugas sebagai pembagi harta warisan. Yaitu wali yang punya hak waris, yang diperintahkan memberikan sebagian harta waris kepada orang yang hadir dalam majelis pembagian yang tidak punya hak waris sebagaimana dalam ayat; dan wali yang tidak punya hak waris yang diperintahkan untuk berkata dengan perkataan yang baik kepada mereka. Ia katakan, ‘Aku tidak punya kekuasaan yang bermanfaat bagimu untuk memberimu sebagian harta warisan,’”(HR Al-Bukhari).


Pendapat kedua, Ibnu Abbas RA dalam riwayat lain, Sa’id bin Al-Musayyab, Ikrimah dan lainnya menyatakan status ayat telah dinasakh dengan ayat-ayat wasiat dan ayat-ayat waris sehingga hukumnya sudah tidak berlaku.


Lebih detail Sa’id menjelaskan, ayat ini pernah berlaku sebelum turun ayat-ayat yang menjelaskan ketentuan waris. Namun setelah ayat-ayat itu turun, maka harta waris dibagikan kepada ahli waris, sementara harta wasiat diberikan kepada para kerabat yang tidak mempunyai hak waris.


Dari dua pendapat di atas Imam Al-Qurthubi kemudian menilai pendapat pertama yang menyatakan status ayat masih berlaku sebagai pendapat lebih shahih, karena ayat ini menjelaskan hak ahli waris atas bagian mereka dan kesunnahan berbagi kepada orang yang tidak mempunyai hak waris yang ikut hadir dalam majelis pembagian harta.


Demikian pula Imam At-Thabari juga mengunggulkan pendapat pertama, namun menurutnya konteks ayat adalah pembagian harta wasiat, bukan warisan. Argumentasinya, hukum-hukum Allah yang ada dalam Al-Quran atau hadits tidak dapat dianggap menasakh hukum yang lain selama masih dapat dikompromikan antara keduanya.


Nah, Surat An-Nisa ayat 8 ini dapat dipahami sebagai ayat pembagian wasiat yang tidak bertentangan dengan ayat-ayat pembagian waris, sehingga keduanya dapat diamalkan, tetap berlaku, dan tidak saling menafikan. Oleh karenanya tidak tepat bila dianggap telah dinaskh dengan ayat lain. Menurutnya, pemahaman seperti inilah yang secara ilmiah dapat diterima dibandingkan pemahaman lain. (At-Thabari, Jami’ul Bayan, juz VI, halaman 435-438); dan (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, juz V, halaman 49).


Pembahasan ketiga, apakah perintah memberi sebagian harta warisan kepada kerabat, anak yatim dan orang miskin yang sebenarnya tidak punya hak waris namun ikut hadir dalam majelis pembagian hukumnya sunnah atau wajib.


Pendapat pertama menurut Ibnu Abbas RA dalam riwayat Ikrimah, Abu Musa Al-Asy’ari RA, Ibrahim an-Nakha’i dan lainnya menyatakan wajib. Mereka juga memberikan sebagian harta waris kepada orang yang ikut menghadiri majelis pembagian.


Dalam konteks ini diriwayatkan praktik pembagian harta waris yang dilakukan oleh Abdullah bin Abdirrahman bin Abi Bakr As-Shiddiq:


أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرِ الصِّدِّيقِ قَسَمَ مِيرَاثَ أَبِيهِ وَعَائِشَةَ حَيَّةٌ، فَلَمْ يَتْرُكْ فِي الدَّارِ أَحَدًا إِلَّا أَعْطَاهُ وَتَلَا هَذِهِ الْآيَةَ.


Artinya, “Sungguh Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Bakr As-Shiddiq membagi harta waris ayahnya, sementara Sayyidah RA masih hidup. Lalu Abdullah tidak membiarkan seorang pun yang hadir di rumahnya (saat itu) kecuali ia beri sebagian dari harta waris, dan ia membaca ayat ini.”


Sementara pendapat kedua menurut An-Nuhas, yang kemudian menjadi pendapat populer ulama di berbagai negeri Islam menyatakan, hukum memberi sebagian harta warisan kepada kerabat, anak yatim dan orang miskin yang sebenarnya tidak punya hak waris namun ikut hadir dalam majelis pembagian adalah sunnah, tidak wajib. Argumentasinya pun kuat. Satu, andaikan wajib maka berarti mereka mempunyai hak waris sebagaimana ahli waris, akan tetapi besarannya tidak jelas. Ini sangat bertentangan dengan hikmah pembagian harta warisan dan justru menyebabkan pertikaian dan persengketaan. Demikian urai Imam Al-Qurthubi yang menilai pendapat kedua inilah yang shahih.


Adapun ulama lain berdalil, andaikan mereka mempunyai hak sebagaimana ahli waris, niscaya akan Allah jelaskan besarannya sebagaimana besaran hak ahli waris. Namun karena nyatanya tidak ada penjelasan besaran bagian hak mereka, maka dapat diyakini bahwa pemberian tersebut hukumnya tidak wajib.


Selain itu, andaikan itu wajib, niscaya kebutuhan dalil naqli atas besaran hak waris mereka menjadi kebutuhan mendesak dan seharusnya ada, karena fakir miskin sangat membutuhkan kejelasan besaran haknya. Andaikan dalil naqli itu ada, niscaya akan diriwayatkan secara mutawatir. Namun faktanya tidak ada. Karena itu, hukumnya tidak wajib. Demikian kutipan Imam Fakhruddin Ar-Razi dari argumentasi para ulama. (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Akhamil Qur’an, juz V, halaman 48-49); dan (Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, juz IX, halaman 160).


Di akhir penjelasan ayat, Imam Ar-Razi menyatakan, penafsiran paling ideal untuk frasa ‘perkataan yang baik’ dalam ayat: وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا “dan berkatalah kepada mereka dengan perkataan yang baik”, adalah pemberian kepada kerabat, anak yatim dan orang miskin hendaknya tidak diikuti dengan ucapan yang mengungkit-ungkit pemberian dan yang menyakitkan; atau maknanya adalah janji orang yang memberi akan menambah pemberiannya dan penyampaian uzur dari orang yang tidak memberi. Wallahu a’lam.(Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, juz IX, halaman 160).


Ustadz Ahmad Muntaha AM–Founder AswajaMuda