Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 4

Sel, 15 Desember 2020 | 01:30 WIB

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 4

Surat An-Nisa ayat 4 ini ditujukan kepada para suami agar memenuhi mahar istrinya.

Berikut ini adalah kutipan teks ayat, transliterasi, terjemahan, dan sejumlah tafsir atas Surat An-Nisa’ Ayat 4:


وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً، فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا 


Wa ātun nisā’a shaduqātihinna nihlah. Fa in thibna lakum ‘an syai’in minhu nafsan fa kulūhu hanī’an marī’an. 

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Artinya, “Berikanlah wanita-wanita yang kalian nikahi maskawinnya secara sukarela. Lalu bila mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”


Sababun Nuzul

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

Para ulama mufassirin berbeda pendapat, apakah konteks ayat ini ditujukan kepada suami atau wali perempuan. Melihat riwayat sababun nuzulnya, Surat An-Nisa ayat 4 ini ditujukan kepada para wali perempuan agar tidak menguasai mahar ketika menikahkan anaknya. Imam Jalaluddin As-Suyuthi (849-991 H/1445-1505 M) meriwayatkan:


أَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ قَالَ: كَانَ الرَّجُلُ إِذَا زَوَّجَ ابْنَتَهُ أَخَذَ صَدَاقَهَا دُونَهَا فَنَهَاهُمُ اللهُ عَنْ ذَلِكَ فَأَنْزَلَ: وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Artinya, “Ibnu Abi Hatim mentakhrij riwayat dari Abu Shalih, ia berkata, ‘Ada seorang laki-laki ketika menikahkan anak perempuannya maka ia mengambil maharnya tanpa diberikan kepadanya. Kemudian Allah melarang mereka dari perbuatan tersebut dan Allah menurunkan ayat, ‘Wa ātun nisā’a shaduqātihinna nihlah.’’” (Jalaluddin As-Suyuthi, Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul, [Beirut, Muassasatul Kutub At-Tsaqafah: 1422 H /2002 M], cetakan pertama, halaman 71).


Namun menurut Imam Abu Ja’far At-Thabari (224-310 H/839-923 M), yang tepat adalah Surat An-Nisa ayat 4 ini ditujukan kepada para suami agar memenuhi mahar istrinya. Sebab ayat sebelumnya berbicara terhadap suami agar berperilaku adil terhadap istri, dan tidak ada petunjuk apapun yang dapat mengalihkan ayat keempat ini keluar dari konteks tersebut.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Pemahaman seperti inilah yang kemudian menjadi pemahaman yang lebih jelas, lebih shahih, serta sesuai dengan lahiriah Surat An-Nisa ayat 4. Selain itu, pemahaman ini yang disepakati oleh mayoritas ulama. (Ibnu Jarir At-Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, [ttp, Muassasatur Risalah: 1420 H/2000 M], juz VII, halaman 552-554); dan (Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Al-’Ujab fi Bayanil Asbab, [Dammam, Daru Ibnil Hazm: 1997 M], juz II, halaman 829). 


Dengan kata lain, riwayat sababun nuzul Surat An-Nisa ayat 4 yang disampaikan Imam As-Suyuthi tidak diterima oleh para ulama.


Ragam Tafsir

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

Surat An-Nisa ayat 4 ini mengandung dua hal pokok. Pertama, kewajiban suami memberi maskawin kepada istri yang ditunjukkan frasa  وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً“Berikanlah wanita-wanita yang kalian nikahi maskawinnya secara suka rela”. Namun ulama mufassir berbeda pendapat dalam memaknai kata nihlah. Apakah maknanya sebagai kewajiban, sebagai pemberiaan dan hibah, atau dari kesenangan hati (‘an thibi nafsin).


Ibnu Abbas, Qatadah Ibnu Juraij, dan Ibnu Zaid menafsirkan bahwa makna nihlah pada Surat An-Nisa ayat 4 adalah kewajiban. Sebab secara bahasa kata “nihlah” bermakna agama, syariat dan mazhab sehingga substansi makna ayat adalah “Berikanlah kepada para wanita mahar-mahar mereka karena hal itu merupakan ajaran agama yang wajib dilakukan.”


Al-Kalbi menafsirkan nihlah pada Surat An-Nisa ayat 4 dengan makna pemberian dan hibah sehingga substansi makna ayat adalah “Berikanlah kepada para wanita mahar-mahar mereka, karena mahar merupakan pemberian.”


Dalam pendapat ini, suami tidak mendapatkan timbal balik hak kepemilikan apapun dari pemberian mahar tersebut. Budhu’ (kelamin) istri tetap dalam posisi semula milik istri. Suami hanya diperbolehkan memanfaatkannya, bukan berarti ia memilikinya dengan ditukar mahar.


Senada dengan penjelasan Al-Kalbi, ulama lain mengatakan, Allah menjadikan pemenuhan syahwat seksual dan memperoleh keturunan dari akad nikah sebagai manfaat yang sama-sama menjadi hak suami dan istri. Allah memerintahkan suami untuk memberi mahar kepada istri sebagai pemberian yang murni dari perintah Allah semata.


Sementara Abu Ubaidah menafsirkan kata “nihlah” dengan makna dari kesenangan hati. Sebab kata “nihlah” secara bahasa tidak hanya bermakna pemberian, namun pemberian tanpa imbalan apapun sehingga substansi makna ayat adalah “Berikanlah kepada para wanita mahar-mahar mereka karena hal itu merupakan pemberian dari kesenangan hati, atau dari kerelaan.” Artinya, Allah memerintahkan suami untuk memberikan mahar kepada istrinya tanpa tuntutan imbalan apapun darinya. (Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1421 H/2000 M], juz IX, halaman 147).


Kedua, permasalahan pokok yang dijelaskan dalam Surat An-Nisa ayat 4 adalah kebolehan suami memakan atau memanfaatkan maskawin yang telah diberikan kepada istri bila memang diperkenan olehnya secara sukarela.


Hal itu ditunjukkan dalam frasa فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا  “Lalu bila mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” 


Imam Ahmad As-Shawi (1175-1241 H/1761-1852 M) menjelaskan, maksud “makanlah” dalam ayat adalah pemanfaatan secara mutlak, tidak terbatas pada makan. Artinya suami dapat memanfaatkan mahar yang telah diberikannya kepada istri untuk berbagai kepentingan asal mendapatkan kerelaan dari istri.


Secara lugas Imam Fakhruddin Ar-Razi (544-606 H/1150-1210 M) menyatakan, hal itu boleh dilakukan oleh suami apabila istri benar-benar merelakannya, bukan karena akhlak dan perilaku buruk suami terhadap istri. Demikan ini menunjukkan bahwa suami wajib berhati-hati dalam pemanfaatnya atas mahar yang telah diberikan kepada istrinya, sebab syaratnya adalah kerelaan istri. Bila tidak istri tidak rela, maka haram dan tidak  diperbolehkan. (Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Hasyiyyatus Shawi ‘ala Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], juz I, halaman 270); dan (Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz IX, halaman 148).

Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda

ADVERTISEMENT BY ANYMIND