Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 3 (Bagian 2)

Jum, 11 Desember 2020 | 04:00 WIB

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 3 (Bagian 2)

Surat An-Nisa ayat 3 bagian 2 ini merupakan pembahasan lanjutan terkait poligami yang sudah dibahas pada Surat An-Nisa ayat 3 bagian 1.

Berikut ini adalah kutipan ayat, transliterasi, terjemahan, dan sejumlah tafsir Surat An-Nisa ayat 3:


وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ، فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا 


Wa in khiftum allaa tuqsithuu fil yataamaa fankihuu maa thaaba lakum minannisaa-i matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa’, fa in khiftum allaa ta’diluu fa waahidatan au maa malakat aimaanukum, dzaalika adnaa allaa ta’uluu. 


Artinya, “Bila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim perempuan, maka nikahilah dari perempuan-perempuan yang kalian sukai, dua, tiga atau empat. Lalu bila kalian khawatir tidak adil (dalam memberi nafkah dan membagi hari di antara mereka), maka nikahilah satu orang perempuan saja atau nikahilah budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat pada tidak berbuat aniaya.”


Ragam Tafsir

Ayat ini mengandung hukum tentang perintah nikah, batas maksimal istri dan keadilan. Pertama, apakah perintah menikah dalam ayat ini bersifat wajib atau tidak? Ada ulama yang cenderung memandang lahiriah redaksi ayat sehingga menyatakan wajib. Sementara Imam As-Syafi’i menyatakan tidak wajib, mengingat dalam ayat 25 Surat An-Nisa, Allah menjelaskan bahwa bersabar untuk tidak menikah dalam kondisi tidak berkemampuan finansial adalah lebih baik daripada menikah. Nah, penjelasan Al-Qur’an seperti ini menunjukkan bahwa hukum asal nikah adalah tidak sunnah, apalagi wajib.  (Fakhruddin Muhammad Ar-Razi, Tafsir al-Fakhr ar-Razi, [Bairut: Dar al-Fikr, tth.], juz IX, halaman 177-178).


Kedua, berkaitan dengan batas maksimal istri yang boleh dinikah. Ulama Ahlussunnah menjelaskan bahwa batas maksimal istri yang boleh dinikah adalah empat orang. Hal ini sesuai dengan beberapa riwayat hadits, ijma, dan pendekatan kebahasaan. 


Dari sisi kebahasaan, penafsiran frasa مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ dengan makna “dua tambah tiga, tambah empat, sehingga batas maksimal istri adalah sembilan, karena huruf wawu menunjukan makna mutlaqul jam’i (penjumlahan)” adalah penafsiran yang keliru. Sebab bahasa Al-Qur’an adalah bahasa yang paling fasih, sementara dalam bahasa Arab penggunaan diksi “dua, tiga  dan empat” untuk menunjukkan bilangan sembilan adalah diksi yang sangat buruk.


Ini sebagaimana buruknya diksi “Berilah Si Fulan empat, enam dan delapan” untuk menunjukkan bilangan 18, dibandingkan dengan diksi “Berilah Si Fulan 18”.


Adapun huruf wawu dalam ayat berfungsi sebagai badal (menunjukkan makna pengganti), sehingga pemaknaannya yang tepat adalah: “Kalian nikahlah dua  istri; nikahilah tiga istri sebagai ganti dari dua istri; dan empat istri sebagai ganti tiga (3) istri”.


Dari sisi hadits terdapat riwayat yang secara jelas membatasi jumlah istri, yaitu saat keislaman Ghailan bin Salamah At-Tsaqafi Ra yang punya 10 istri dan Al-Harits bin Qais RA yang punya delapan istri, yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW agar menyisakan empat istri saja sebagaimana riwayat berikut:


عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ تَحْتَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا ... (رواه الترمذي وابن ماجه وأحمد والبزار وأبو يعلى. ورجال أحمد رجال الصحيح)


Artinya, “Diriwayatkan dari Ibn Umar Ra, sungguh Ghailan bin Salamah at-Tsaqafi masuk Islam di saat mempunyai 10 istri. Kemudian Nabi Saw bersabda kepadanya: ‘Pilihlah empat orang dari mereka’ …” (HR At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan selainnya. Para perawi riwayat Ahmad adalah para perawi hadits shahih.


عَنِ الْحَارِثِ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ مُسَدَّدٌ ابْنُ عُمَيْرَةَ وَقَالَ وَهْبٌ الأَسَدِىِّ: قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثَمَانُ نِسْوَةٍ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا (رواه أبو داود وابن ماجه)


Artinya, “Diriwayatkan dari al-Harits bin Qais Ra, Musaddad bin ‘Umairah dan Wahb al-Asdi berkata, ‘Al-Harits bin Qais Ra berkata, ‘Aku masuk Islam saat mempuyai delapan (8) istri, lalu Aku sampaikan kepada Nabi SAW dan ia bersabda, ‘Pilihlah empat orang dari mereka,’’’” (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).


Sementara dari sisi ijma’, ulama Islam telah mencapai ijma’ atas ketidakbolehan menikah lebih dari empat istri. Sebab tidak ada satu riwayatpun yang menunjukkan bahwa ada sahabat atau tabi’in yang mempunyai istri lebih dari empat orang dalam satu waktu. (Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, [Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1423 H/2003 M], juz V, halaman 17-18).


Ketiga, berkaitan dengan keadilan. Merujuk pakar tafsir generasi tabi’in, Ad-Dhahak (wafat 102 H) dan ulama lainnya, maksud keadilan yang dikhawatirkan tidak terpenuhi dalam ayat adalah kecenderungan hati, kecintaan, jima’, mu’asyarah dan pembagian waktu yang harus dilakukan oleh suami di antara para istrinya secara adil, ketika memilih berpoligami.


Karena itu, bila khawatir tidak mampu berbuat adil maka seorang lelaki hendaknya menikah dengan jumlah istri yang mampu dipenuhi keadilannya. Jika tidak mampu berbuat adil dalam poligami, hendaknya mencukupkan diri dengan satu istri. Sebab keadilan ini hukumnya adalah wajib. (Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz V, halaman 17-18).


Dalam bahasa lebih lugas, Ibnu Katsir menyatakan, bila khawatir poligami membuat seorang laki-laki tidak mampu berlaku adil di antara para istrinya, maka hendaknya ia mencukupkan diri menikahi satu istri saja. (Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, [ttp: Dar Thaibah, 1420 H/1999 M], cetakan kedua, juz II, halaman 212).


Penulis Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda