Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 1 (Bagian 6)

Sab, 10 Oktober 2020 | 08:15 WIB

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 1 (Bagian 6)

yekh Muhammad Nawawi Banten (1230-1316 H) secara lugas menafsirkan: Allah adalah Zat Yang Menjaga dan Melihat seluruh perbuatan dan ucapan yang keluar dari kalian, dan segala niat yang tersimpan dalam hati kalian.

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas Surat An-Nisa ayat 1:


يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا


Yā ayyuhan nāsut taqqū rabbakumul ladzī khalaqakum min nafsin wāhidatin wa khalaqa minhā zaujahā wa batstsa minhumā rijālan katsīran wa nisā’a. Wattaqullāhal ladzī tasā’alūna bihī wal arhām. Innallāha kāna ‘alaikum raqīban.


Artinya, “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu; yang telah menciptakan istrinya darinya; dan telah menyebarkan dari keduanya (keturunan) laki-laki dan perempuan yang banyak. Takutlah kalian kepada Allah Zat yang dengan-Nya kalian beradu sumpah. Takutlah kalian memutus silaturrahim. Sungguh Allah adalah Zat yang maha mengawasi kalian.”


Ragam Tafsir

Berkaitan frasa: إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا “Sungguh Allah adalah Zat Yang Maha Mengawasi kalian”, makna asal kata رَقِيبًا adalah penanti, penjaga, dan yang tahu. Dalam ayat kemudian dimaknai sebagai Allah Dzat Yang Maha Menjaga dan yang Maha Mengetahui.


Sebagaimana riwayat penafsiran dari Mujahid dan Ibn Zaid. Kemudian dari situ Imam Abu Ja’far at-Thabari (224-310 H/839-923 M) menafsirkan secara lebih lengkap. Maksudnya Allah adalah Zat Yang Maha Mengetahui secara persis amal-amal kalian, Zat Yang Maha Memeriksa penjagaan kalian atas kehormatan sanak kerabat kalian dan bagaimana kalian menyambung silaturrahim terhadap mereka, atau bagaimana kalian justru memutus silaturrahim terhadap mereka dan menyia-nyiakannya. (Abu Ja’far at-Thabari Muhammad bin Jarir, Jami’ul Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an,  [Beirut, Muassasatur Risalah: 1420 H/2000 M], juz VII, halaman 523).


Salah satu mufassir kontemporer paling masyhur asal Mesir, Syekh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi (1329-1419 H), menjelaskan, arti kata raqib adalah yang melihat secara sengaja, sebagaimana orang-orang berkata: “Fulan yuraqibu Fulanan (Si Fulan melihat dengan sengaja Si Fulan lainnya)”.


Realita dalam kehidupan manusia, memang ada orang yang melihat sepintas saja tanpa sengaja. Namun bila orang disebut sebagai muraqib (raqib-pen), maka konteksnya adalah ia sedang mengawasi orang lain dengan seksama, sebagaimana dalam ayat: إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا “Sungguh Allah adalah Zat Yang Maha Mengawasi kalian. 


Artinya, Allah tidak sekadar Zat Yang Maha Melihat, namun Ia adalah Raqibun, Zat Yang Maha Mengawasi. Sebagaimana kita mendapati seseorang terkadang melihat sesuatu secara sepintas saja. Ia melihat banyak hal yang dijumpainya, tetapi tidak bisa dikatakan sebagai raqib atau orang yang mengawasi kecuali dengan penuh kesadaran hatinya. Yang benar adalah Allah Maha Mengawasi kita semua tanpa ada detail yang terlewatkan sebagaimana dalam ayat lain:


إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ (14)


Artinya, “Sungguh Tuhanmu benar-benar mengawasi (seluruh amal manusia dan tidak lepas sedikitpun darinya, lalu Ia akan memberi balasan kepadanya).” (Al-Fajr: 14). (Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi, Tafsir As-Sya’rawi, [Mesir, Akhbarul Yaum: 1991 M], jilid VI, halaman 1992).


Dalam referensi tafsir lain, Syekh Muhammad Nawawi Banten (1230-1316 H) secara lugas menafsirkan: Allah adalah Zat Yang Menjaga dan Melihat seluruh perbuatan dan ucapan yang keluar dari kalian, dan segala niat yang tersimpan dalam hati kalian, dan Zat Yang Maha Berkehendak untuk memberi balasan atas semuanya. (Syekh M Nawawi Al-Jawi, At-Tafsirul Munir li Ma’alimit Tanzil, [Beirut, Darul Fikr: 1425 H/2006 M], juz I, halaman 152).


Sementara menurut Imam Ahmad bin Muhammad As-Shawi (1175-1241 H/1761-1852 M), posisi frasa: إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا “Sungguh Allah adalah Zat Yang Maha Mengawasi kalian”, merupakan ‘illat frasa-frasa sebelumnya, yaitu:


يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً، وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ،


Artinya, “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu; yang telah menciptakan darinya istrinya; dan telah menyebarkan dari keduanya (keturunan) laki-laki yang banyak dan perempuan. Takutlah kalian kepada Allah Zat yang dengan-Nya kalian beradu sumpah dan takutlah kalian memutus silaturrahim.” (Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Hasyiyatus Shawi ‘ ala Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], juz I, halaman 267-268).


Artinya mengapa manusia diperintah bertakwa kepada Allah yang telah menciptakannya dari satu jiwa yaitu Nabi Adam As; dan mengapa manusia diperintah bertakwa serta menjaga hubungan kekerabatan atau silaturrahim, tiada lain karena sungguh Allah adalah Zat Yang Maha Mengawasi segala aktivitas manusia, baik yang tampak lahiriah seperti perbuatan dan ucapan, maupun yang tersimpan secara batiniah, seperti niat, bersitan hati dan semisalnya. Tidak ada satupun aktivitas manusia yang lepas dari monitoring Allah SWT.


Merujuk penafsiran Imam Fakhruddin Ar-Razi (544-606H/1150-1210 M), Allah adalah Zat Maha Mengawasi seluruh amal perbuatan manusia, dan Zat Yang Maha Mengawasi seperti itu semestinya ditakuti murka-Nya sekaligus diharapkan rahmat-Nya. Allah telah menjelaskan bahwa Ia Maha Mengetahui rahasia sampai yang paling samar pun.


Bila demikan, maka setiap manusia wajib hati-hati dan waspada dalam setiap aktivitas yang dilakukan maupun ditinggalkannya. Karena tidak ada satupun aktivitasnya yang terlepas dari pengawasan Allah SWT. (Fakhruddin Muhammad Ar-Razi, Tafsir Al-Fakhr Ar-Razi, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz IX, halaman 172-173).


Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Sekretaris LBM NU Jatim