Bahtsul Masail

Air Bak Mandi Sedikit yang Kemasukan Kotoran Tikus, Apakah Najis?

Sabtu, 17 Agustus 2024 | 17:00 WIB

Air Bak Mandi Sedikit yang Kemasukan Kotoran Tikus, Apakah Najis?

Sumber: Canva/NU Online

Pertanyaan:
Assalamualaikum. Saya mau bertanya, di atap rumah saya kan banyak tikus dan suka ada kecoak di kamar mandi kadang bingung itu kotoran tikus atau kecoak. Nah, di Kamar mandi itu atapnya ada celah kotorannya suka jatuh mengenai bak air, namun kurang dari dua kulah, padahal celah atapnya sekarang sudah ditutup menggunakan selotip.

 

Pertanyaan saya, jika kotoran yang jatuhnya hanya satu biji, terus airnya ada yang memakainya, tetap najis atau tidak? Bagaimana cara membersihkan air yang terkena lantai karena terbawa kaki? (Pina Agustini). 

 

Jawaban:

Waalaikumussalam Wr. Wb. Penanya dan pembaca setia NU Online yang berbahagia, di mana pun berada. Semoga kita semua selalu berada dalam lindungan Allah. Amin


Setelah membaca dan mencermati pertanyaan yang diajukan, intinya ada dua, yaitu hukum air yang kurang dari dua kulah kejatuhan satu kotoran tikus atau kecoak, dan bagaimana cara membersihkan lantai (yang diasumsikan najis) karena terbawa kaki. Kami coba membahas satu persatu.
 

Hukum Air Kurang dari Dua Kulah Kejatuhan Kotoran Tikus atau Kecoak


Perlu diketahui, menurut pendapat mazhab Syafi'i, kotoran dan urine semua hewan, baik yang halal dimakan maupun tidak, termasuk burung, adalah najis. Begitu pula kotoran ikan, belalang, dan hewan yang tidak memiliki darah mengalir seperti lalat. (lihat Abu Zakariya Muhyiddin Yahya Bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Muhadzab, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid II, halaman 550).
 

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kotoran tikus atau kecoak hukumnya najis. Lalu terkait kotoran hewan tersebut, sekalipun hanya satu biji masuk ke dalam air yang sedikit kurang dari dua kulah, maka hukum airnya menjadi mutanajjis, baik mengubah sifat-sifat air maupun tidak. Dua kulah sendiri sama dengan ± 190 liter menurut Syekh Musthafa Dhib al-Bugha dalam at-Tadzhib.

 

Kendati demikian, beberapa ulama dari kalangan mazhab Syafi'i memilih mengikuti pendapat Imam Malik, yaitu bahwa air yang kemasukan najis tidak menjadi mutanajjis kecuali ada perubahan pada sifat-sifatnya. Berikut disampaikan oleh Syekh Zainuddin al-Malibari:


واختار كثيرون من أئمتنا مذهب مالك: أن الماء لا ينجس مطلقا إلا بالتغير والجاري كراكد. وفي القديم: لا ينجس قليله بلا تغير وهو مذهب مالك.


Artinya, "Banyak di antara para imam kita (mazhab Syafi'i) memilih pendapat Imam Malik yang mengatakan bahwa air tidak menjadi najis secara mutlak (baik air sedikit atau banyak) kecuali jika terjadi perubahan, dan air yang mengalir dihukumi seperti air yang diam. Menurut qaul qadim, air yang sedikit tidak menjadi najis tanpa perubahan, dan ini adalah pendapat Imam Malik." (Fathul Mu'in, [Beirut: Darul Ibnu Hazm, t.t.], halaman 44). 


Imam Taqiyuddin al-Hishni dalam Kifayatul Akhyar menyatakan hal yang sama dan menyebutkan ulama kalangan mazhab Syafi'i yang dimaksud dalam pendapat tersebut:
 

وَقَالَ مَالك رَحمَه الله تَعَالَى المَاء الْقَلِيل لَا ينجس إِلَّا بالتغير كالكثير وَهُوَ وَجه فِي مَذْهَبنَا وَاخْتَارَهُ الرَّوْيَانِيّ وَفِي قَول قديم أَن المَاء الْجَارِي لَا ينجس إِلَّا بالتغير وَاخْتَارَهُ جمَاعَة مِنْهُم الْغَزالِيّ والبيضاوي فِي كِتَابه غَايَة القصوى وَهُوَ قوي من حَيْثُ النّظر


Artinya, "Imam Malik berkata bahwa air yang sedikit tidak menjadi najis kecuali jika ada perubahan, seperti halnya air yang banyak. Ini adalah salah satu pendapat dalam mazhab kami (Syafi'i) yang dipilih oleh Imam ar-Ruyani.

 

Dalam qaul qadim disebutkan bahwa air yang mengalir tidak menjadi najis kecuali jika ada perubahan (pada sifatnya). Pendapat ini dipilih oleh sekelompok ulama, termasuk al-Ghazali dan al-Baidhawi dalam kitabnya al-Ghayatul Quswa, dan ini adalah pendapat yang kuat dari segi pengamatannya." (Damaskus: Darul Khair, 1994, halaman 16). 


Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa alasan para ulama dari kalangan mazhab Syafi'i mengikuti pendapat Imam Malik terkait air sedikit yang kemasukan najis tidak otomatis menajiskannya (mutanajjis) kecuali jika terjadi perubahan pada sifat-sifatnya, adalah untuk memudahkan urusan manusia. Ia menyebut:


وَاخْتَارَ كَثِيرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا مَذْهَبَ مَالِكٍ أَنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجَّسُ مُطْلَقًا إلَّا بِالتَّغَيُّرِ وَكَأَنَّهُمْ نَظَرُوا لِلتَّسْهِيلِ عَلَى النَّاسِ، وَإِلَّا فَالدَّلِيلُ صَرِيحٌ فِي التَّفْصِيلِ كَمَا تَرَى


Artinya, "Banyak dari sahabat kami yang memilih pendapat mazhab Maliki, yaitu air tidak menjadi najis secara mutlak kecuali jika terjadi perubahan (pada air tersebut). Seolah-olah mereka memandang pendapat ini sebagai solusi yang memudahkan orang-orang. Namun, sebenarnya dalil jelas menunjukkan adanya perincian, seperti yang kamu lihat." (Tuhfatul Muhtaj, [Beirut: Dar Ihya' At-Turats, t.t.] jilid I, halaman 88).


Dengan demikian, jika memang kasus yang dialami cukup sulit, seperti halnya menjaga agar kotoran tikus atau kecoak tidak masuk ke dalam bak mandi yang airnya sedikit, maka dapat mengikuti pendapat yang menyebut air tidak menjadi najis secara mutlak kecuali jika terjadi perubahan pada sifat-sifatnya.

 

Pendapat ini disebutkan oleh banyak ulama mazhab Syafi'i yang mengikuti pendapat Imam Malik. Tentunya, secara praktik pendapat tersebut merupakan sebuah solusi yang memudahkan. 


Dengan adanya jawaban bahwa air tetap suci selama tidak ada perubahan akibat terkena satu kotoran tikus atau kecoak, maka pertanyaan kedua tidak memerlukan jawaban.

 

Kemudian apabila berubah sehingga air dihukumi najis, maka cara membersihkan lantai yang terkena najis yang terbawa oleh kaki dilakukan seperti halnya mensucikan najis mutawassitah pada umumnya. 


Lebih detail terkait praktik membersihkannya, jika najisnya terlihat oleh mata atau disebut juga sebagai najis 'ainiyyah, maka penanya harus menghilangkan wujudnya, lalu berupaya menghilangkan sifat-sifat berupa rasa, warna, atau baunya, kemudian mengaliri bagian yang terkena najis dengan air yang suci. 


Akan tetapi, jika najisnya tidak terlihat oleh mata atau dalam istilah fiqih disebut dengan najis hukmiyyah, maka penanya cukup mengalirkan air pada bagian yang terkena najis tersebut, meskipun hanya sekali aliran saja.
 

Adapun bagian yang harus disucikan, maka penanya hanya perlu melakukannya pada lantai tertentu yang diyakini terkena najis, bukan seluruhnya. Alasannya karena jika tidak terkena najis, maka otomatis lantai tersebut suci. Wallahu a'lam

 


Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo