Apakah Terbukanya Dagu Wanita Membatalkan Shalat? Ini Penjelasannya Berdasarkan Fiqih Mazhab
Kamis, 13 Maret 2025 | 16:00 WIB
Muhammad Zainul Millah
Kolomnis
Assalamu’alaikum wr wb. Izin bertanya. Selama ini saya tidak mengetahui batasan aurat wanita dalam shalat, yaitu dagu termasuk aurat. Setelah saya mencari tahu, saya baru faham ternyata dagu termasuk aurat. Pertanyaannya, apakah shalat yang saya lakukan selama ini sudah sah atau harus diulangi? Syukran.
Jawaban
Wa’alaikumussalam wr wb. Terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan. Semoga taufiq dan hidayah Allah selalu menyertai kita dalam menjalankan ibadah sehari-hari. amin.
Berkaitan permasalahan dagu perempuan yang terbuka saat shalat, dalam mazhab Syafi’i dijelaskan, dagu termasuk dari aurat perempuan yang wajib ditutupi dalam shalat. Sehingga ketika bagian tersebut terbuka, maka hukum shalatnya tidak sah dan harus mengulangi shalat kembali.
Kewajiban mengulangi shalat ini tentu terasa berat, terutama bagi perempuan yang selalu shalat dengan dagu terbuka karena belum mengetahui hukumnya, seperti yang dialami penanya. Karena itu, sebagai solusi, ia dapat mengikuti mazhab lain, seperti Hanafi dan Maliki yang menganggap terbuka dagu tidak membatalkan shalat, sehingga ia tidak perlu mengulangi shalatnya.
Imam An-Nawawi menjelaskan, aurat perempuan merdeka dalam shalat adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Menurut ulama Khurasan hanya ada satu pendapat. Namun menurut ulama lain, dalam mazhab Syafi’i ada pendapat yang mengatakan telapak kaki bukanlah aurat.
وَأَمَّا عَوْرَةُ الْحُرَّةِ فَجَمِيْعُ بَدَنِهَا اِلَّا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ إِلَى الْكُوْعَيْنِ وَحَكَى الْخُرَاسَانِيُّوْنَ قَوْلًا وَبَعْضُهُمْ يُحْكِيْهِ وَجْهًا أَنَّ بَاطِنَ قَدَمَيْهَا لَيْسَ بِعَوْرَةٍ وَقَالَ الْمُزَنِي الْقَدَمَانِ لَيْسَا بِعَوْرَةٍ وَالْمَذْهَبُ الْاَوَّلُ
Artinya, “Adapun aurat perempuan merdeka adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan hingga pergelangan. Ulama Khurasan meriwayatkan hanya ada satu pendapat. Sebagian ulama yang lain meriwayatkan adanya pendapat bahwa telapak kaki bukanlah aurat. Al-Muzani mengatakan bahwa telapak kaki bukanlah aurat, dan yang menjadi mazhab adalah yang pertama.” (Al-Majmu’, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah: 2011], juz IV, halaman 191).
Al-Mawardi menjelaskan, dalam mazhab Syafi’i terbuka sedikit aurat saja mengharuskan orang untuk mengulangi shalat. Berbeda dengan mazhab maliki yang mengatakan menutup aurat hukumnya sunah.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: وَعَلَى الْمَرْأَةِ إِنْ كَانَتْ حُرَّةً أَنْ تَسْتَتِرَ فِي صَلَاتِهَا حَتَّى لَا يَظْهَرَ مِنْهَا شَيْءٌ إِلَّا وَجْهُهَا وَكَفَّاهَا فَإِنْ ظَهَرَ مِنْهَا شَيْءٌ سِوَى ذَلِكَ أَعَادَتِ الصَّلَاةَ. قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ سَتْرُ الْعَوْرَةِ فِي الصَّلَاةِ وَاجِبٌ فِي الصَّلَاةِ. وَقَالَ مَالِكٌ: سَتْرُ الْعَوْرَةِ مُسْتَحَبٌّ فِي الصَّلَاةِ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ. فَمَنْ صَلَّى مَكْشُوفَ الْعَوْرَةِ وَكَانَ الْوَقْتُ بَاقِيًا أَعَادَ وَإِنْ كَانَ فَائِتًا لَمْ يُعِدْ
Artinya, “Imam As-Syafi’i berkata: ‘Jika seorang perempuan itu merdeka, maka ia harus menutup auratnya ketika shalat, sehingga tidak terlihat kecuali wajah dan telapak tangannya. Jika ada sedikit yang terlihat selain itu, maka ia harus mengulang shalatnya.’ Al-Mawardi berkata: ‘Hal ini seperti yang ia katakana bahwa menutup aurat ketika shalat adalah wajib.’
Malik berkata: ‘Menutup aurat itu hukumnya sunah ketika shalat, tidak wajib. Jika seseorang shalat dengan auratnya terbuka dan masih ada waktu tersisa, maka ia harus mengulanginya. Jika sudah keluar waktu, maka ia tidak mengulanginya.” (Al-Hawil Kabir [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah] juz II, halaman 165)
Berikut kami jelaskan batasan aurat bagi perempuan menurut empat mazhab, serta dampak hukum jika aurat tersebut terbuka dalam shalat.
Aurat perempuan versi Hanafiyah
Ibnu Najim Al-Mishri (wafat 970 H) menjelaskan, aurat perempuan merdeka adalah seluruh badannya kecuali wajah, kedua telapak tangan, dan kedua telapak kali. Jadi selain wajah, dua telapak tangan, dan dua telapak kaki, wajib tertutup saat shalat. (Al-Bahrur Raiq, juz III, halaman 64).
Menurut Muhammad As-Sarkhasi (wafat 483 H), batas wajah adalah dari batas tumbuhnya rambut kepala sampai bawah dagu, dan antara dua telinga. Hal ini dipahami dari kata wajah yang mengarah pada muwajahah, yaitu bagian yang berhadapan dengan orang yang melihatnya. (Al-Mabsuth, juz I, halaman 10).
Jadi menurut mazhab Hanafi, bawah dagu juga termasuk bagian aurat yang harus ditutup dalam shalat. Meski demikian, dalam mazhab Hanafi, terbuka sedikit aurat dalam shalat, seperti bagian bawah dagu, tidak menyebabkan shalat batal.
Abu Bakar Az-Zabidi (wafat 800 H) menjelaskan, sedikit terbuka aurat tidak membatalkan shalat. Batasan sedikit menurut Abu Hanifah dan Muhammad adalah kurang dari seperempat (1/4) anggota tubuh yang terbuka. Sedangkan menurut Abu Yusuf, batasan sedikit adalah kurang dari setengah (1/2) anggota. (Al-Jauharatun Nayyirah, juz I, halaman 189).
Aurat perempuan versi Mazhab Maliki
Ali As-Sha’idi Al-‘Adawi (wafat 1189 H) menjelaskan, batas aurat perempuan merdeka adalah seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan. (Hasyiyah Al-'Adawi, juz II, halaman 21).
Sehingga perempuan merdeka wajib menutupi bagian selain wajah dan kedua telapak tangan, termasuk bagian leher, kepala, pundak, betis, dan telapak kaki. (Muhammad Ad-Dasuqi, Hasyiyah Ad-Dasuqi, juz II, halaman 301).
Menurut Muhammad At-Tharabalisi Al-Maghrabi (wafat 954 H) batas wajah dalam mazhab Maliki adalah antara tempat tumbuhnya rambut kepala, dua telinga, dan dagu. Dalam Bahasa lain, batas wajah adalah antara tempat tumbuhnya rambut kepala sampai akhir dagu, dan antara dua pelipis. Menurut kutipannya, ulama telah sepakat bagian bawah dagu bukan termasuk dari wajah yang wajib dibasuh dalam wudhu. (Mawahibul Jalil, juz I, halaman 267 dan juz IV, halaman 202).
Kemudian berkaitan dengan dagu terbuka, Muhammad Al-Kharasyi (wafat 1101 H) menjelaskan, aurat perempuan terbagi menjadi dua. Pertama aurat mughalladhah, yaitu bagian antara perut dan lutut, dan yang kedua aurat mukhaffafah, yaitu bagian di atas perut dan di bawah lutut. (Syarhu Khalil lil Kharasyi, juz III, halaman 207).
Dari dua pembagian aurat tersebut, Al-Kharasyi menambahkan, jika aurat mughalladhah terbuka dalam shalat, seperti terbuka perut, paha, dan lainnya, baik itu disengaja, tidak tahu, maupun lupa, maka ia harus mengulangi shalat selamanya tanpa ada batas waktu.
Sedangkan jika yang tampak adalah aurat mukhaffafah seperti dagu, leher, telapak kali, dan lainnya, maka ia mengulangi shalatnya dalam batas waktu tertentu, yaitu:
- untuk shalat Dhuhur dan Ashar sampai waktu langit menguning menjelang maghrib;
- untuk shalat Maghrib dan Isya’ sampai habisnya malam, dan
- untuk shalat subuh sampai terbitnya matahari.
Menurut Muhammad Al-'Abdari (wafat 897 H), dalam permasalahan aurat mukhaffafah, seperti perempuan yang shalat dengan kepala terbuka, atau memakai kerudung tipis yang transparan sehingga terlihat lehernya, hukum mengulangi shalatnya adalah sunah dengan batas waktu yang telah ditentukan. (At-Tajul wal Iklil, juz I, halaman 379).
Aurat perempuan versi Mazhab Syafi’i
Zakariya Al-Anshari (wafat 926 H) menjelaskan bahwa aurat perempuan dalam shalat adalah seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan, baik bagian luar maupun bagian dalam, sampai batas pergelangan tangan. Jadi yang boleh terbuka dalam shalat hanyalah wajah dan dua telapak, bukan lainnya. (Asnal Mathalib, juz III, halaman 41).
An-Nawawi (w 676 H) menjelaskan bahwa batas wajah adalah antara tempat tumbuhnya rambut kepala pada umumnya, sampai bagian dagu yang menghadap kedepan dan dua tulang rahang, serta bagian antara dua telinga. (Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, juz I, halaman 371).
Berdasarkan penjelasan di atas, bagian bawah dagu bukanlah termasuk bagian dari wajah, sehingga jika bagian tersebut terbuka, maka dapat membatalkan shalat, karena syarat shalat tidak terpenuhi. Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa syarat merupakan khitab wadh’i yang tidak terpengaruh dengan keadaan lupa dan tidak tahu. (Al-Minhajul Qawwim, juz I, halaman 232).
Aurat perempuan versi Hanbali
Ibnu Quddamah menjelaskan bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangan menurut satu riwayat. Sedangkan riwayat yang lain mengatakan bahwa telapak tangan termasuk dari bagian aurat, dan ini merupakan riwayat yang jelas dari ungkapan imam Ahmad bin Hanbal. (As-Syarhul Kabir, juz I, halaman 458).
Adapaun batas wajah dalam mazhab Hanbali sama dengan mazhab lainnya. Abu Amr Yusuf Al-Qurthubi (wafat 463 H) menjelaskan, batas wajah adalah dari tempat tumbuhnya rambut kepala pada umumnya, sampai bagian rahang dan dagu, serta antara dua telinga. (Al-Kafi fi Fiqhi Ibni Hanbal, juz I, halaman 55).
Menurut Ibnu Quddamah, dalam mazhab Habali, terbuka sedikit aurat yang tidak mencolok dalam penglihatan, tidak membatalkan shalat. Adapun batas sedikit adalah sesuatu yang tidak dianggap parah (fahisy) untuk dilihat pada umumnya. Dalam penerapannya tentu akan berbeda antara aurat mughalladhah dan mukhaffafah. (As-Syarhul Kabir, juz I, halaman 463).
Solusi bagi Wanita yang belum Mengetahui Dagu adalah Aurat
Syekh Ismail Zen menjelaskan, dalam mazhab Syafi’i, terbuka dagu dapat membatalkan shalat. Namun, bagi perempuan yang tidak mengetahuinya, ia tidak perlu untuk qadha shalat, dengan dasar mengikuti pendapat mazhab Hanafi dan Maliki yang mengatakan terbuka dagu tidak membatalkan shalat.
اِنْكِشَافُ مَا تَحْتَ الذَّقَنِ مِنْ بَدَنِ الْمَرْأَةِ فِي حَالِ الصَّلَاةِ وَالطَّوَافِ يَضُرُّ فَيَكُوْنُ مُبْطِلًا لِلصَّلَاةِ وَالطَّوَافِ … هَذَا مَذْهَبُ سَادَتِنَا الشَّافِعِيَّةِ وَأَمَّا عِنْدَ غَيْرِهِمْ كَالسَّادَةِ الْحَنَفِيَّةِ وَالسَّادَةِ الْمَالِكِيَّةِ فَإِنَّ مَا تَحْتَ الذَّقَنِ وَنَحْوَهُ لَا يُعَدُّ كَشْفُهُ مِنَ الْمَرْأَةِ مُبْطِلًا لِلصَّلَاةِ … وَحِيْنَئِذٍ لَوْ وَقَعَ ذَلِكَ مِنَ الْعَامِيَّاتِ اللَّاتِي لَمْ يَعْرِفْنَ كَيْفِيَةَ التَّقْلِيْدِ بِمَذْهَبِ الشَّافِعِيَّةِ فَإِنَّ صَلَاتَهُنَّ صَحِيْحَةٌ لِاَنَّ الْعَامِي لَا مَذْهَبَ لَهُ وَحَتَّى مِنَ الْعَارِفَاتِ بِمَذْهَبِ الشَّافِعِي إِذَا أَرَدْنَ تَقْلِيْدَ غَيْرِ الشَّافِعِي مِمَّنْ يَرَى ذَلِكَ فَإِنَّ صَلَا تُهُنَّ تَكُوْنُ صَحِيْحَةً لِأَنَّ أَهْلَ الْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ كُلَّهُمْ عَلَى هُدًى
Artinya, “Terbuka bagian bawah dagu dari tubuh perempuan ketika shalat dan tawaf itu bermasalah, maka dapat membatalkan shalat dan thawaf ... Ini adalah mazhab Syafi’i kita. Adapun mazhab lainnya, seperti kalangan Hanafiyah dan Malikiyah, sesungguhnya terbuka bagian bawah dagu dan sesamanya bagi perempuan tidak membatalkan shalat …
Dengan demikian, apabila hal tersebut terjadi pada perempuan awam yang belum mengetahui tata cara mengikuti mazhab Sya’fi’i, maka shalat mereka tetap sah. Karena orang awam tidak terikat mazhab. Begitu juga bagi perempuan yang mengerti dengan mazhab Syafi’i ketika mereka menghendaki untuk mengikuti pendapat selain Syafi’i yang mengatakan tidak batal, maka shalat mereka juga sah, karena Imam empat mazhab semuanya dalam petunjuk.” (Qurratul 'Ain bi Fatawi Isma'il bin Az-Zain, halaman 52-53).
Demikian penjelasan tentang perempuan yang baru mengetahui bahwa dagu termasuk dari aurat. Ia tidak harus melakukan qadha untuk shalat yang sudah lewat. Untuk berikutnya, ia harus lebih berhati-hati saat memakai mukena, agar bagian di bawah dagu tidak terlihat. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pengasuh Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar.
Terpopuler
1
Doa Qunut pada Witir Ramadhan, Lengkap dengan Latin dan Artinya
2
Khutbah Jumat: Nuzulul Qur’an dan Anjuran Memperbanyak Tadarus
3
PBNU Adakan Mudik Gratis Lebaran 2025, Berangkat 25 Maret dan Ada 39 Bus
4
Khutbah Jumat: Pengaruh Al-Qur’an dalam Kehidupan Manusia
5
Menemukan Uang di Jalan: Boleh Dipakai atau Wajib Dikembalikan? Temukan Jawabannya!
6
Kultum Ramadhan: Nuzulul Qur'an, Momen Mengenal Keagungan Al-Qur'an
Terkini
Lihat Semua