Bahtsul Masail

Berapa Batas Minimal Mahar?

Kam, 11 Juni 2015 | 20:03 WIB

Assalamu’alaikum wr. wb. Perkenalkan nama saya Ahmad Saiful, sekarang saya tinggal bersama orang tua di Nabire Papua. Insya Allah bulan Syawal saya akan menikah dengan gadis pujaan saya. Insya Allah saya akan memberikan mahar sebesar dua juta rupiah, baik calon mertua maupun isteri sudah setuju dan tidak mempersoalkan. Bahkan keluarga calon isteri malah mengatakan kepada saya, kalau tidak ada uang ya jangan dipaksakan harus dua juta, yang penting ada maharnya.<>

Jujur saya jadi terharu melihat ketulusan calon isteri dan mertua saya sehingga saya berniat kalau ada rejeki lagi saya akan tambahi maharnya. Yang ingin saya tanyakan adalah mengenai batas minimal dan maksimal mahar, terutama menurut pandangan madzhab syafii. Adakah ketentuan mengenai batas berapa minimalnya dan berapa maksimalnya. Mohon untuk segera dijelaskan, dan kami ucapkan terimakasih. Wassalamu’alaikum wr. wb.

 ***

Assalamu’alaikum wr. wb

Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Mahar—sebagaimana yang telah kita ketahui bersama—bukan masuk kategori sebagai rukun maupun syarat dalam akad nikah, tetapi lebih merupakan konsekwensi logis yang timbul karena akad nikah itu sendiri. Inilah yang dipegangi oleh mayoritas pakar hukum Islam.

وَالْمَهْرُ لَيْسَ شَرْطًا فِي عَقْدِ الزَّوَاجِ وَلاَ رُكْنًا عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ ، وَإِنَّمَا هُوَ أَثَرٌ مِنْ آثَارِهِ الْمُتَرَتِّبَةِ عَلَيْهِ  

“Menurut mayoritas fuqaha` mahar bukanlah salah satu syarat dalam akad nikah, bukan juga salah satu rukunnya. Tetapi mahar hanyalah merupakan salah satu konsekwensi logis yang timbul karena akad nikah tersebut. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, cet ke-2, Kuwait-Dar as-Salasil, 1404 H-1427 H, juz, 24, h. 24)

Para ulama sepakat bahwa tidak ada batasan mengenai jumlah maksimal mahar. Namun mereka berselisih pandangan mengenai jumlah minimal mahar. Setidaknya ada dua pendangan yang beredar dikalangan para pakar hukum Islam.

Pertama, menurut imam Syafii, Ahmad, Ishaq, Abu Tsur, dan fuqaha` Madinah dari kalangan tabi’in berpendapat bahwa tidak ada batasan minimal jumlah mahar. Menurut mereka, segala sesuatu yang boleh dijual-belikan atau bernilai maka bisa dijadikan mahar. Pandangan ini juga dianut oleh Ibnu Wahab salah seoarang ulama dari kalangan madzhab maliki.   

وَأَمَّا قَدْرُهُ فَإِنَّهُمْ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ لِأَكْثَرِهِ حَدٌّ وَاخْتَلَفُوا فِي أَقَلِّهِ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَأَبُو ثَوْرٍ وَفُقَهَاءُ الْمَدِينَةِ مِنَ التَّابِعِينَ لَيْسَ لِأَقَلِّهِ حَدٌّ وَكُلُّ مَا جَازَ أَنْ يَكُونَ ثَمَنًا وَقِيمَةً لِشَيْءٍ جَازَ أَنْ يَكُونَ صَدَاقًا وَبِهِ قَالَ ابْنُ وَهْبٍ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ

“Adapun mengenai besaran mahar maka para ulama telah sepakat bahwa tidak batasan berapa jumlah maksimal mahar. (namun) mereka berbeda pendapat mengenai batas minimalnya. Menurut imam Syafii, Abu Tsaur, dan para fuqaha` Madinah dari kalangan tabi’in tidak batasan minimal mahar, dan setiap sesuatu yang bisa diperjual-belikan atau bernilai maka boleh dijadikan sebagai mahar. Pandangan ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahb salah seorang ulama dari kalangan madzhab maliki” (lihat Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Mesir-Musthafa Babi al-Halabi, cet ke-4, 1395 H/1975, juz, 2, h. 18)

Sedang pandangan kedua, di antaranya adalah menurut imam Abu Hanifah dan imam Malik bahwa mahar itu ditentukan batas minimalnya. Kendati kedua imam tersebut sepakat akan adanya ketentuan minimal mahar tetapi mereka berselisih mengenai jumlah minimalnya. Menurut imam Abu Hanifah, jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham atau yang senilai dengannya. Sedang menurur imam Malik adalah seperempat dinar atau perak seberat tiga dirham timbangan atau yang senilai dengan perak seberat tiga dirham timbangan (kail), atau bisa yang senilai dengan salah satu dari keduanya (seperempat empat dirham dan perak seberat tiga dirham timbangan).

وَقَاَل طَائِفَةٌ بِوُجُوبِ تَحْدِيدِ أَقَلِّهِ وَهَؤُلَاءِ اخْتَلَفُوا فَالْمَشْهُورُ فِي ذَلِكَ مَذْهَبَانِ: أَحَدُهُمَا مَذْهَبُ مَالِكٍ وَأَصْحَابُهُ. وَالثَّانِي مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَصْحَابُهُ فَأَمَّا مَالِكٍ فَقَالَ: أَقَلُّهُ رُبْعُ دِينَارٍ مِنَ الذَّهَبِ أَوْ ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ كَيْلًا مِنْ فِضَّةٍ أَوَ مَا سَاوَى الدَّرَاهِمَ الثَّلَاثَةَ أَعْنِي دَرَاهِمَ الْكَيْلِ فَقَطْ فِي الْمَشْهُورِ وَقِيلَ أَوْ مَا يَسَاوِي أَحَدَهُمَا وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: عَشْرَةُ دَرَاهِمَ أَقَلُّهُ وَقِيلَ خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَقِيلَ أَرْبَعُونَ دِرْهَمًا

“Sekelompok ulama berpendapat tentang kewajiban membatasi jumlah minimal mahar. Dan mereka berselisih pendapat, namun yang masyhur dalam persoalan ini ada dua madzhab. Pertama, madzhab imam Malik beserta para pengikutnya. Kedua, madzhab imam Abu Hanifah beserta para pengikutnya. Menurut imam Malik, jumlah minimal mahar adalah seperempat dinar emas atau perak seberat tiga dirham timbangan atau yang senilai dengan perak seberat tiga dirham timbangan saja. Hal ini menurut pendapat yang masyhur di kalangan madzhab maliki. Dan ada pendapat yang mengatakan atau yang senilai dengan salah satu dari keduanya. Sedangkan menurut imam Abu Hanifah, jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham, ada pendapat yang mengatakan lima dirham, dan ada juga yang mengatakan empat puluh dirham”. (Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Mesir-Musthafa Babi al-Halabi, cet ke-4, 1395 H/1975, juz, 2, h. 18)

Berangkat dari penjelasan di atas maka secara global dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa setidaknya ada dua pendapat mengenai mahar. Pertama, tidak membatasi berapa minimal dan maksimal mahar. Sedang pendapat kedua adalah membatasi jumlah minimal mahar, tetapi tidak jumlah maksimalnya.

Jika kemudian ditarik ke dalam konteks pertanyaan di atas, maka jawaban yang dapat kami kemukakan adalah bahwa menurut madzhab syafii tidak ada batasan minimal mengenai jumlah mahar. Apa saja bisa menjadi mahar sepanjang bernilai atau bisa diperjualbelikan. Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu’alaikum wr. wb

 

(Mahbub Ma’afi Ramdlan)