Bahtsul Masail

Hukum Berfoto Selfie Ria di Lokasi Bencana

Sab, 29 Desember 2018 | 09:00 WIB

Hukum Berfoto Selfie Ria di Lokasi Bencana

(Foto: @nakita.id)

Assalamu alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, bencana alam gempa dan tsunami melanda beberapa titik Indonesia belakangan ini. Banyak orang mendatangi lokasi bencana untuk menyalurkan bantuan atau sekadar memantau kondisi pasca-bencana. Tetapi ironisnya ada sejumlah orang yang berfoto ria bersama atau sendiri (selfie/swafoto) di lokasi tersebut. Mohon penjelasan agama untuk masalah ini? Wassalamu alaikum wr. wb. (Hadi/Bekasi)

Jawaban
Penanya yang budiman, semoga dirahmati Allah SWT. Aktivitas berselfie ria di era media sosial ini tidak dapat dihindari. Pada dasarnya, aktivitas berselfie ria merupakan hak pribadi yang dilindungi undang-undang dan syariat Islam.

Adapun aktivitas berfoto selfie ria atau membuat siaran langsung video dengan gembira di lokasi bencana yang masih dalam penanganan atau pemulihan pasca-bencana sebaiknya dihindari. Pasalnya, dalam situasi duka sebaiknya kita menunjukkan empati terhadap korban bencana dengan menjauhi ekspresi kegembiraan di media sosial.

Dalam kondisi pasca-bencana, kita sebaiknya menunjukkan empati dan solidaritas sosial serta berpartisipasi aktif bersama elemen masyarakat lainnya dalam proses pemulihan korban setelah bencana sebagaimana hadits Rasulullah SAW berikut ini.

إن المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا

Artinya, “Sungguh, hubungan orang yang beriman satu sama lain layaknya sebuah bangunan, yang sebagiannya menguatkan sebagian yang lain,” (HR Bukhari dan Muslim).

Suasana setelah bencana adalah suasana dukacita. Empati terhadap korban bencana sebaiknya tidak ditunjukkan dengan ekspresi yang biasa ditunjukkan dalam suasana sukacita. Ekspresi riang gembira dalam foto selfie sebaiknya dihindari.

Perihal empati dalam suasana dukacita dan solidaritas sosial ini  dipesan oleh Rasulullah SAW sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim berikut ini:

قوله (مثل المؤمنين) الكاملين في الايمان (في توادهم) بشدة الدال مصدر توادد أي تحابب (وتراحمهم) أي تلاطفهم (وتعاطفهم) أي عطف بعضهم على بعض (مثل الجسد) الواحد بالنسبة لجميع أعضائه وجه الشبه التوافق في التعب والراحة (اذا اشتكى) أي مرض (منه عضو تداعى له سائر الجسد) أي باقيه (بالسهر) بفتح الهاء ترك النوم لان الالم يمنع النوم (والحمى) لان فقد النوم يثيرها ولفظه خبر ومعناه أمر أي كما ان الرجل اذا تألم بعض جسده سرى ذلك الالم الى جميع بدنه فكذا المؤمنون ليكونوا كنفس واحدة اذا أصاب أحدهم مصيبة يغتم جميعهم ويقصدوا ازالتها (حم م عن النعمان بن بشير) بل هو متفق عليه

Artinya, “Perkataan (Perumpamaan orang yang beriman) dengan keimanan yang sempurna (dalam kasih sayang) mawadah (kerahiman) belas kasih (kelembutan) satu sama lain (serupa dengan) satu (tubuh) dalam kaitannya dengan seluruh anggota tubuh dalam hal keletihan dan kesenangan. (Jika menderita) mengalami sakit (satu dari anggota tubuh itu, niscaya semua anggota tubuh) angota tubuh lainnya (ikut merasakan derita dengan terjaga) karena sakit menyebabkan seseorang sulit tidur (dan demam) karena kondisi terjaga karena sakit dapat membuat seseorang demam. Meski lafalnya bersifat informatif, makna hadits ini bersifat imperatif. Ketika seseorang menderita sakit pada salah satu anggota tubuhnya, maka nyerinya menjalar ke seluruh tubuh. Sama halnya dengan orang yang beriman. Mereka seharusnya seperti satu jiwa. Bila musibah menimpa salah satu dari mereka, maka sisanya yang lain merasa bimbang dan bergerak untuk mengatasinya. (riwayat Imam Muslim dari An-Nu‘man bin Basyir) justru riwayat Bukhari dan Muslim,” (Lihat Al-Munawi, At-Taysir bi Syarhil Jami‘is Shaghir, [Riyadh, Maktabah Al-Imam As-Syafi‘i: 1988 M/1408 H], juz II, halaman 722).

Dari keterangan ini, kita dapat menarik simpulan bahwa aktivitas berfoto selfie ria di tengah suasana duka setelah bencana berkaitan erat dengan adab, akhlak, dan moralitas. Sejauh ini, aktivitas berfoto selfie ria dalam konvensi sosial hari ini dan di Indonesia ini cenderung dipahami sebagai ekspresi kegembiraan yang tidak seharusnya ditunjukkan dalam suasana duka.

Meski tidak bermaksud “menari” di atas penderitaan orang lain, aktivitas semacam ini sebaiknya dihindari karena tidak patut dilakukan dan tidak layak dilakukan oleh mereka yang beriman dengan keimanan yang sempurna.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.


(Alhafiz Kurniawan)