Bahtsul Masail

Hukum Berhubungan Intim saat Istri Hamil

Jum, 8 September 2023 | 14:00 WIB

Hukum Berhubungan Intim saat Istri Hamil

Ilustrasi suami istri. (Foto: NU Online/Freepik)

Assalamu’alaikum wr. wb. Pengasuh bahtsul masail NU Online, saya ingin bertanya hukum berhubungan intim saat istri sedang hamil. Apakah diperbolehkan atau tidak? Terima kasih. (Hamba Allah)

 

Jawaban

Penanya yang terhormat, wanita hamil, sebagaimana ibu kita pada umumnya kadang mengalami berbagai kepayahan saat kehamilannya. Dalam Al-Qur’an Surat Luqman ayat 14 diterangkan kepayahan ibu hamil ini dengan diksi wahnan ’ala wahnin sebagaimana berikut:

 

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ 

 

Artinya, “Kami mewasiatkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. (Wasiat Kami,) “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Hanya kepada-Ku (kamu) kembali.”

 

Merujuk penafsiran Imam Al-Qurthubi, maksud kata wahnan ’ala wahnin adalah ibu yang sedang hamil setiap hari semakin lemah. (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Quran, juz XIV, halaman 63).

 

Dari sini dapat kita pahami bahwa sudah semestinya perempuan hamil diperlakukan secara lebih baik karena pada umumnya setiap hari semakin lemah.

 

Lalu apakah hal ini juga mencakup ketidakbolehan berhubungan intim dengan istri yang sedang hamil?

 

Dalam hal berhubungan intim dengan istri yang sedang hamil ulama berbeda pendapat. Sejumlah ulama memakruhkan, sedangkan mayoritas ulama membolehkannya.

 

Ulama yang memakruhkan menggauli istri saat hamil berpedoman pada hadits riwayat Asma binti Yazid bin As-Sakan:

 

عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ بْنِ السَّكَنِ قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: لاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ سِرًّا، فَإِنَّ الْغَيْلَ يُدْرِكُ الْفَارِسَ فَيُدَعْثِرُهُ عَنْ فَرَسِهِ. (رواه أبو داود

 

Artinya, “Diriwayatkan dari Asma binti Yazid bin As-Sakan, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Jangan kalian bunuh anak-anak kalian secara rahasia. Sungguh perbuatan ghail (menggauli istri saat menyusui atau hamil) menemui seorang penunggang kuda, lalu ia menjatuhkannya dari kudanya.” (HR Abu Dawud).

 

Al-Mula Ali Al-Qari menjelaskan, maksud hadits ini adalah bahwa ketika perempuan disetubuhi dalam kondisi hamil, maka air susunya rusak (tidak berkualitas), dan bila anak tumbuh dengan asupan air susu seperti itu maka akan berpengaruh buruk pada tubuhnya. Kemudian ketika ia dewasa dan naik kuda maka akan jatuh karenanya. Maka hal itu seperti membunuhnya. (Al-Mula Ali Al-Qari, Mirqatul Mafatih, juz X, halaman 137-138).

 

Sementara ulama yang membolehkannya berpedoman pada dua hadits berikut:

 

عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ أَخْبَرَ وَالِدَهُ سَعْدَ بْنَ أَبِى وَقَّاصٍ أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: إِنِّى أَعْزِلُ عَنِ امْرَأَتِى. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: لِمَ تَفْعَلُ ذَلِكَ؟ فَقَالَ الرَّجُلُ أُشْفِقُ عَلَى وَلَدِهَا أَوْ عَلَى أَوْلاَدِهَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: لَوْ كَانَ ذَلِكَ ضَارًّا ضَرَّ فَارِسَ وَالرُّومَ. (رواه مسلم

 

Artinya, “Diriwayatkan dari Amir bin Sa’ad bahwa Usamah bin Zaid mengabari ayahnya, yaitu Sa’ad bin Abi Waqqash, sungguh ada seorang lelaki mendatangi Rasulullah saw dan berkata: “Aku meng-’azl (mengeluarkan sperma di luar rahim) dari istriku”. Lalu Rasulullah saw bersabda: “Mengapa kamu lakukan itu?” Lelaki itu menjawab: “Aku menyayangi anaknya atau anak-anaknya”. Lalu Rasulullah saw bersabda: “Andaikan hal itu membahayakan, niscaya sudah membahayakan orang Persi dan Romawi.” (HR Muslim).

 

Menurut Imam Abu Ja’far At-Thahawi dalam hadits ini terdapat kebolehan menggauli para istri yang sedang hamil. (At-Thahawi, Ma’anil Atsar, juz VI, halaman  85-87).

 

عَنْ جُدَامَةَ بِنْتِ وَهْبٍ أُخْتِ عُكَّاشَةَ قَالَتْ حَضَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِى أُنَاسٍ وَهُوَ يَقُولُ: لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ فَنَظَرْتُ فِى الرُّومِ وَفَارِسَ فَإِذَا هُمْ يُغِيلُونَ أَوْلاَدَهُمْ فَلاَ يَضُرُّ أَوْلاَدَهُمْ ذَلِكَ شَيْئًا

 

Artinya, “Diriwayatkan dari Judamah binti Wahb saudari ’Ukasyah, ia berkata: “Aku mendatangi Rasulullah saw saat bersama orang banyak, saat beliau bersabda: “Sungguh Aku bermaksud melarang dari perbuatan ghilah (menggauli wanita yang sedang menyusui atau hamil), lalu aku melihatnya pada bangsa Romawi dan Persia. Kemudian mereka melakukannya pada anak-anak mereka dan itu tidak membahayakan mereka sedikit pun.” (HR Muslim)

 

Merujuk penjelasan Al-Hafidh Al-Munawi, andaikan menyetubuhi istri atau istri menyusui saat hamil membahayakan, niscaya hal itu membahayakan anak-anak bangsa Romawi dan Persia. Karena mereka telah melakukannya padahal banyak dokter di sana. Andaikan hal itu membahayakan niscaya para dokter itu akan mencegahnya. (Al-Munawi, Faidhul Qadir, juz V, halaman 357).

 

Di antara ulama mazhab Syafi’i yang membolehkannya secara terang-terangan adalah Al-Khatib As-Syirbini. Ia menegaskan:

 

ولا يحرم وطء الحامل والمرضع

 

Artinya, “Dan tidak haram menyetubuhi perempuan hamil dan menyusui.” (As-Syirbini, Mughnil Muhtaj, juz III, halaman 139).

 

Dari uraian ini dapat dipahami bahwa hukum menyetubuhi istri saat hamil ada dua pendapat, pertama makruh, dan kedua menurut mayoritas ulama adalah boleh dan tidak makruh sama sekali.

 

Pun demikian, untuk menjaga kesehatan janin dan ibunya, hendaknya suami yang ingin menggauli istri saat hamil memilih posisi yang tidak membahayakan kesehatannya. Sangat penting pula hal ini dikonsultasikan kepada dokter yang lebih paham dalam hal ini. Baik dari sisi kesehatan fisik maupun psikisnya. 

 

Ibnu Hajar Al-Haitami dan As-Syirwani menjelaskan:

 

لَا شَيْءَ مِنْ كَيْفِيَّاتِهِ حَيْثُ اجْتَنَبَ الدُّبُرَ إلَّا مَا يَقْضِي طَبِيبٌ عَدْلٌ بِضَرَرِهِ
 قوله (لا شيء من كيفياته ) أي لا يكره شيء من كيفيات الجماع من كونها مضطجعة أو مستلقية على الجنب أو قائمة أو من جانب القبل أو الدبر أو غير ذلك اه  كردي

 

Artinya, “Tidak apa-apa sedikitpun dari cara-cara bersetubuh sekira suami menghindari (mengauli isti pada) dubur, kecuali petunjuk dokter yang adil menyatakan berbahaya. Maksudnya tidak ada kemakruhan sedikitpun dari cara-cara bersetubuh, baik posisi istri tidur miring, terlentang bertumpu ada lambung, berdiri, dari arah qubul maupun dari arah dubur, atau posisi lainnya (selama tidak berbahaya menurut dokter). Demikian penjelasan Al-Kurdi.” (Ibnu Hajar Al-Haitami dan As-Syirwani, Tuhfatul Muhtaj dan Hawasyis Syirwani, juz V, halaman 217). Wallahu a’lam.

 

Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online