Bahtsul Masail

Hukum Bertawasul dengan Manusia dan Tempat Suci

Rab, 9 Desember 2020 | 02:30 WIB

Hukum Bertawasul dengan Manusia dan Tempat Suci

Sayyid Abdurrahman Ba’alawi menjelaskan secara logika sederhana bahwa tawasul dengan amal saleh yang bersifat aksidental/a’radh diperintahkan, apalagi tawasul kepada Allah melalui para nabi, wali, ulama, dan orang-orang saleh pada umumnya yang bersifat zat.

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Redaksi NU Online, masyarakat Ahlusunnah wal Jamaah terbiasa bertawasul dengan Nabi Muhammad SAW, para wali, dan ulama melalui lafal shalawat dan lafal zikir lainnya. Sedangkan sebagian orang berkeberatan atas tawasul kepada manusia. Saya mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu 'alaikum wr.wb. (Fathurrahman/Tangerang)


Jawaban

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Perintah tawasul tersebut dalam Surat Al-Maidah ayat 35 dan banyak hadits shahih seperti cerita Rasulullah terkait tiga orang Bani Israil yang terperangkap dalam sebuah gua. Adapun berikut ini adalah Surat Al-Maidah ayat 35.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ


Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah. Carilah jalan atau wasilah yang mendekatkan diri kepada-Nya. Berjihadlah pada jalan-Nya agar kamu meraih kemenangan.” (Surat Al-Maidah ayat 35).


Semua ulama bersepakat atas anjuran tawasul dengan amal saleh. Tetapi sebagian orang berkeberatan dengan tawasul kepada Allah melalui manusia (para nabi, orang saleh, ulama, atau orang tua) dan benda mati atau tempat-tempat suci (seperti Ka’bah dan tempat suci lainnya).


Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki menjelaskan dengan jernih duduk perkara keberatan sebagian orang atas tawasul dengan manusia sebagai berikut ini:


: ومحل الخلاف في مسألة التوسل هو التوسل بغير عمل المتوسِّل كالتوسل بالذوات والأشخاص... وسأبين كيف أن المتوسل بغيره هو في الحقيقة متوسِّل بعمله المنسوب إليه، والذي هو من كسبه. فأقول: اعلم أن من توسل بشخص ما فهو لأنه يحبه إذ يعتقد صلاحه وولايته وفضله تحسينا للظن به، أو لأنه يعتقد أن هذا الشخص محبّ لله سبحانه وتعالى يجاهد في سبيل الله، أو لأنه يعتقد أن الله تعالى يحبه كما قال تعالى يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ، أو لاعتقاد هذه الأمور كلها في الشخص المتوسَّل به... وبهذا ظهر أن الخلاف في الحقيقة شكلي ولا يقتضي هذا التفرق والعداء بالحكم بالكفر على المتوسلين وإخراجهم عن دائرة الإسلام، سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ 


Artinya, “Titik perbedaan pendapat ulama dalam masalah tawasul adalah tawasul dengan bentuk lain selain amal yaitu tawasul dengan benda atau orang tertentu… Saya akan menjelaskan bagaimana orang yang bertawasul dengan selain amal itu hakikatnya adalah bertawasul dengan amalnya juga yang dinisbahkan kepadanya di mana itu merupakan bagian dari upayanya. Saya mengatakan begini, pahamilah bahwa seorang Muslim yang bertawasul dengan orang tertentu itu karena Muslim tersebut mencintainya karena ia dengan baik sangka meyakini kesalehan, kewalian, dan keutamaan orang itu, atau karena ia meyakini bahwa orang tersebut mencintai Allah dan berjuang di jalan-Nya, atau karena ia meyakini bahwa Allah mencintai orang tersebut sebagai firman-Nya, ‘Allah mencintai mereka. Mereka pun mencintai-Nya,’ atau karena meyakini semua varian itu hadir di dalam orang yang dijadikan tawasul tersebut… Dari uraian ini jelas bahwa perbedaan itu hakikatnya bersifat formal. Jangan sampai perbedaan formalitas ini membawa perpecahan dan pertikaian dengan memvonis kekufuran bagi umat Islam yang mengamalkan tawasul atau bahkan mengusir mereka dari lingkungan Islam sebagai firman-Nya, ‘Mahasuci Engkau, ini merupakan bohong besar,’” (Lihat Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Hasani Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahhah, Surabaya, Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah, tanpa catatan tahun, halaman 124-125).


Adapun Sayyid Abdurrahman Ba’alawi menjelaskan secara logika sederhana bahwa tawasul dengan amal saleh yang bersifat aksidental/a’radh diperintahkan, apalagi tawasul kepada Allah melalui para nabi, wali, ulama, dan orang-orang saleh pada umumnya yang bersifat zat.


وعبارة ك: وأما التوسل بالأنبياء والصالحين فهو أمر محبوب ثابت في الأحاديث الصحيحة وقد أطبقوا على طلبه، بل ثبت التوسل بالأعمال الصالحة وهي أعراض فبالذوات أولى


Artinya, “(Satu masalah: Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi [Kaf]): adapun tawasul kepada Allah melalui para nabi dan orang-orang saleh adalah hal yang dianjurkan lagi tetap dalam hadits-hadits shahih. Ulama bersepakat atas perintah untuk bertawasul. Telah tetap tawasul dengan amal saleh. Sementara amal saleh adalah a‘radh (aksidental) belaka. Sedangkan tawasul kepada zat atau manusia tentu lebih utama,” (Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], halaman 486).


Demikian jawaban singkat kami, semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.


Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu ’alaikum wr. wb.


(Alhafiz Kurniawan)